Dulu, aku pernah menertawakan Lavender saat dia merindukan seseorang. Ternyata, kita memang hanya benar-benar memahami sesuatu setelah mengalaminya sendiri. Sekarang, aku baru merasakan betapa perihnya merindukan seseorang yang tak lagi menjadi milikku. Rasa itu semakin menyakitkan karena kepergiannya disertai pengkhianatan.
Hatiku selalu resah setiap kali mengingat bagaimana semuanya berakhir tanpa persiapan. Bangun dari koma, aku mendapati kabar dari Mama, bahwa orang yang kucintai, Iman, telah mengkhianatiku dengan menceraikanku sekaligus menikahi orang lain. Seharusnya, perasaan ini mudah kuhapus, tapi ternyata sangat sulit menghilangkannya karena begitu banyak kenangan manis yang tersimpan di dalamnya.
"Sus, boleh tolong tinggalkan saya sendiri? Saya butuh waktu sendiri, mungkin sekitar satu atau dua jam ke depan," kataku lembut. Suster Lima, yang setia menjagaku selama dua pekan terakhir ini, mengangguk paham. Setiap minggu aku kontrol ke rumah sakit, ditemani bergantian oleh Papa atau Mama.
"Baiklah, Laila. Kalau kamu butuh bantuan, telepon saya," jawabnya sambil tersenyum sebelum keluar dari kamar. Setelah pintu tertutup, aku segera membuka laptop. Tidak ada maksud apa pun, aku hanya ingin mengirim pesan pada Iman. Nomornya masih kuhafal, dan aku berharap nomornya masih aktif. Jari-jariku bergerak cepat mengetik pesan yang singkat namun sarat makna.
Halo Iman, selamat pagi.
Ini aku, Laila Shazhara. Aku mengirim pesan ini tanpa maksud apa pun, hanya ingin mengucapkan selamat atas pernikahan barumu, semoga bahagia. Dan terima kasih atas akta perceraian kita.
Salam hormat,
Laila Shazhara.
Pesan yang kukirim memang terkesan terlalu formal, seperti surat untuk seorang atasan. Setelah menekan tombol kirim, aku hanya duduk diam, menutup wajah dengan kedua tanganku. Aku tak benar-benar yakin mengirim pesan itu. Pada kenyataannya, aku tidak sekuat yang kuinginkan.
Detik berikutnya, ponselku berbunyi. Jantungku berdebar, berharap itu dari Iman. Namun saat kulihat layar, harapanku pupus. Bukan Iman, melainkan pesan dari Lavender. Kenapa aku terlalu berharap jika yang mengirim pesan itu Iman? Apa rasa rinduku membuatku menjadi tidak waras. Sebelum sempat menjawab, Lavender langsung memanggilku lewat video call. Aku menghela napas, lalu mengangkatnya. Wajahnya tampak berbinar saat layar memperlihatkan wajahnya, dia seperti baru menemukan harta karun milik Nabi Sulaiman.
“Mukamu kusut sekali, Lail. Belum mandi, ya?” tanyanya dengan senyum jahil. Aku mendengus. Menyebalkan sekali anak ini.
"Jangankan mandi, menyentuh air pun belum," jawabku asal. Mata Lavender langsung melotot.
“Serius? Jadi selama setahun ini kamu belum mandi? Jorok sekali! Aku menyesal dua pekan lalu memelukmu, Lail.” komentarnya, membuatku tertawa kecil.
"Aku hanya dibersihkan pakai lap, tapi kemarin akhirnya bisa mandi juga. Itu perjuangan berat, Lav. Punggungku belum sembuh sempurna." Lavender mengangguk paham.
Detik berikutnya, Lavender menatapku curiga, "Ngomong-ngomong, aku lihat kamu seperti sedang menunggu pesan dari seseorang. Siapa? Paket atau..." Dia sengaja menggantung ucapannya.
Padahal dia tahu isi pikiranku. Dia bukan peramal, hanya saja kami sangat dekat dari kecil, itu membuat kami tahu satu sama lain. Bahkan tanpa aku katakan saja, Lavender sudah paham apa yang aku pikirkan, begitu juga sebaliknya. Aku hanya memutar bola mata malas.
"Kamu sedang menunggu pesan dari Iman, ya?" tebakannya langsung tepat sasaran. Aku menegang, tetapi mencoba mengabaikan.
Dia langsung terkejut. "Jadi benar? Kamu menunggu pesan dari dia? Lail, sungguh, tidak bisa ditebak," katanya sangat dramatis.
"Tidak, Lav. Kamu salah paham," jawabku, berusaha mengelak.
Lavender menghela napas panjang. "Lail, aku tahu melupakan seseorang yang kita cintai itu sulit. Tapi dia sudah mengkhianatimu. Untuk apa kamu berharap lagi? Itu tidak akan sama seperti dulu lagi, kamu harus ingat itu, Lail."
"Kamu tahu, Lail? Aku selalu berharap kamu bisa tetap fokus dengan kesembuhanmu, itu jauh lebih penting daripada memikirkan si pengkhianat itu," katanya dengan nada kesal. Sepertinya menyebut namanya sangat horor.
"Itu yang sedang kulakukan," gumamku, mencoba meyakinkan diri. "Ngomong-ngomong, kapan kamu akan datang ke sini?" tanyaku, mengalihkan pembicaraan.
"Aku malah mau jalan ke rumahmu. Boleh menginap?"
Aku tersentak sedikit. "Tentu saja boleh. Tapi... kamu tidak sedang mendapat masalah, kan? Aku tidak siap menjadi penampung masalahmu, Lav."
Dia tertawa. "Tenang, semuanya aman. Ayah sama Bunda shift malam, jadi aku bebas. Daripada di rumah sendirian, lebih aku menginap di rumahmu, Lail. Bosan sekali tidak ada yang bisa diajak bicara."
"Aku baru pulang dari rumah sakit, melelahkan sekali. Kamu tahu, Lail, pasien yang aku tangani semuanya ajaib. Aku pikir lebih baik menumpang di rumahmu untuk mencari udara segar. Pasti Tante Aster tidak keberatan kan, kalau aku ikut makan dan tidur?" Padahal itu kebiasaan buruknya.
Aku menggeleng sambil tersenyum tipis. Lavender memang tamu tak terduga yang selalu muncul di saat yang aneh. "Silakan saja, Lav," jawabku.
"Baiklah, aku siap-siap dulu. Bye, Lail."
"Bye, Lav," balasku sebelum panggilan terputus.