Lavender selalu total dalam mengerjakan segala sesuatu, dan jika hasilnya tidak sesuai harapan, dia sering merasa bersalah berlebihan. Setelah melaksanakan salat Isya, kami berjalan memasuki perpustakaan pribadiku. Dengan lembut, Lavender mendorong kursi rodaku, aku mengenakan piyama warna putih tulang dengan corak bulat halus, tidak mengenakan hijab, membiarkan rambut gelombangku terurai. Begitu juga dengan Lavender, ia tidak mengenakan hijab saat berada di rumahku atau saat Papa tidak di rumah, rambutnya diikat asal. Lavender mengenakan piyama berwarna brainstorm bronze—perpaduan coklat dan abu-abu.
Saat pintu perpustakaan terbuka perlahan, cahaya lampu kuning dan putih yang berpadu menyinari ruangan dengan hangat. Aku segera menyalakan AC agar tidak merasa pengap.
Menurutku, perpustakaan ini merupakan salah satu bagian yang cukup istemewa di rumah kami. Dinding-dinding putih bersihnya menciptakan kesan luas dan terang. Rak buku yang tertata rapi membentang tinggi hingga ke lantai dua, penuh dengan koleksi buku dari berbagai genre yang ditulis oleh penulis ternama dari berbagai negeri. Lemari putih berukir halus menambah nuansa klasik di perpustakaan ini.
Di tengah ruangan, beberapa sofa empuk dan meja coklat muda ditempatkan untuk duduk santai sambil membaca, bersebelahan dengan jendela kaca setinggi dinding yang menghadap taman. Dari jendela besar di ujung ruangan, taman yang luas terlihat, menghubungkan antara perpustakaan dengan kamarku yang saling behadapan terbagi oleh taman. Papa sengaja memasang lampu yang terang supaya tidak terasa horor.
Sewaktu aku masih kecil, mungkin saat aku baru berusia enam tahun, lampu taman di depan dipasang dengan warna tamaram supaya kesannya hangat. Sayang sekali, hal itu tidak sesuai rencana. Setiap masuk waktu Maghrib, dulu aku selalu berteriak sambil menangis. Lalu tengah malamnya, selalu mengalami demam. Mungkin karena aku merasa ketakutan ketika melihat seseorang yang wajahnya agak horor. Hal itu terjadi terus menerus, akhirnya, Papa minta seorang elektrisi untuk mengganti lampunya menjadi terang.
Baru setelah lampunya terpasang, besok hari sampai ke depannya aku tidak pernah berteriak atau pun sakit-sakitan lagi. Saat itu aku juga tidak pernah melihat hal yang horor lagi.
Taman di depan ini dipenuhi bunga kertas yang merambat di sepanjang pagar, anggrek dan beberapa tanaman lain yang berpadu dengan hijau rerumputan dan pepohonan kecil, sungguh menyejukkan mata. Cahaya bulan yang temaram malam ini menambah suasana damai, sempurna untuk menikmati keheningan sambil ditemani buku-buku di perpustakaan pribadiku.
Lavender buru-buru menutup pintu. "Lail, sudahkah kamu membaca semua buku ini? Aku lihat, ada banyak sekali buku baru dan lama," kata Lavender, matanya menyapu rak-rak penuh buku di perpustakaan itu. Kami sering menghabiskan waktu di perpustakaan ini sekalipun Lavender tidak begitu suka membaca.
"Hampir tiga perempat dari buku di sini sudah aku baca, Lav," jawabku. Sungguh, aku tidak berniat untuk sombong. "Mau pinjam buku apa? Kalau ingin, aku bisa rekomendasikan Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease oleh Kumar, Abbas, dan Aster sebagai salah satu buku paling menarik yang aku baca dan hafal. Bahkan semalam aku baru selesai membaca sekaligus menghafal poin-poin penting dalam buku itu."
Lavender berdecak kesal. "Diam, kamu, Lail. Jangan meledekku seperti itu. Aku datang ke sini bukan untuk bertengkar atau meledakkan isi kepalaku dengan semua teori itu," jawab Lavender dengan nada agak kesal. Aku tertawa melihat ekspresinya. Lucu sekali anak itu ketika sedang kesal. Kami berteman cukup lama, tidak heran jika kami sering berdebat satu sama lain karena berbeda pendapat karena sesuatu yang kami sukai.
Kadang aku merasa heran, kami bisa berteman selama dua puluh dua tahun dengan segala perbedaan sesuatu yang kami sukai. Apa pun yang aku suka, Lavender tidak pernah sukai, begitu juga denganku. Meski banyak perbedaan, kami tetap memiliki satu tujuan yang sama, sama-sama menginginkan impian yang besar.
"Padahal, Lav, itu buku bagus. Papa bilang, buku itu sangat bermanfaat untuk persiapan spesialis bedah, kebetulan kamu lagi di stase bedah bukan? Siapa tahu, nanti kamu bisa mengambil spesialis bedah, seperti Papaku. Ya walaupun sekarang kamu belum ada niatan untu ke sana. Bukankah takdir biasanya terjadi tanpa rencana?" kataku sambil tersenyum nakal. Lavender memandangku tajam, membuat aku tertawa lagi. Senang sekali mengerjai anak ini.
"Diam, kamu Laila. Aku tidak ada niatan menjadi seorang dokter bedah. Kamu tahu itu, kan? Kalau kamu terus meledek seperti itu, aku akan..." Lavender mencoba melanjutkan ancamannya, tetapi aku cepat memotongnya.
"Ah, hanya bercanda, Lav. Ayo, kita bahas yang lebih penting," ujarku sambil tersenyum. "Bukankah kita ke sini untuk perencanaan matang tentang yayasan disabilitas?" Dia mengangguk kesal. Aku menahan diri supaya tidak menertawakannya.
Percayalah, hidupku tidak semenonton yang kalian pikirkan. Sayangnya, takdir melakukan hal lain yang membuat diriku menjadi tidak baik-baik saja dengan mengambil fungsi kedua kakiku. Dalam beberapa hari setelah terbangun dari koma yang panjang, aku baru bisa bercanda seperti ini lagi. Sesaat aku diam menyadari kesalahanku. Aku tahu, Lavender tidak suka dibuat bercandaan seperti itu. Lalu aku menatapnya serius.
"Aku minta maaf, Lav. Aku hanya bergurau. Tolong, jangan kesal seperti itu, Lav," ucapku dengan tulus. Lavender diam, lalu dia menghela napas panjang. "Aku minta maaf, Lav. Tolong jangan marah, ya?"
"Dimana papan tulis warna putihnya? Kenapa tiba-tiba menghilang?" tanyanya asal mencari celah untuk mengalihkan rasa kesalnya itu.
"Dari dulu perpustakaan ini tidak menyediakan papan tulis putih, Lav. Kamu bisa gunakan proyektor untuk presentasi menjelaskan semuanya," kataku sengaja menahan diri untuk tidak meledeknya kembali.
"Jangan tertawa mengejekku, Lail. Aku tahu kamu sedang mencoba menahan diri untuk tidak menertawakanku." Sensitiv sekali anak ini.
"Tidak ada yang tertawa, Lavender Stavia Syanan." Lavender menghela napas kembali.
Lavender selalu kesal ketika aku membahas soal membaca buku. Dia agak trauma dengan hal itu. Mungkin bagi sebagian orang, itu hanya alasan belaka, tapi bagi sebagian orang lagi, itu benar-benar dirasakannya tanpa rekayasa dari suatu alasan.
Dari kecil, Lavender memang tidak menyukai buku. Om Syanan dan Tante La Sativa Na sering berusaha membujuknya dengan mengatakan bahwa membaca itu sangat amat menyenangkan, tapi Lavender berlaku sebaliknya, dia selalu menolaknya dengan tangisan keras.