Bukan sekadar rencana, Lavender benar-benar merealisasikan semua yang kami rencanakan menjadi nyata. Hari ini, tepat tujuh belas hari sejak kami mulai menjalankan apa yang telah kami susun. Kami menunggu momen yang tepat untuk merealisasikannya, selain itu, aku juga harus menunggu Lavender mendapatkan waktu luang. Akhir-akhir ini, Lavender sibuk sekali, sering menjalani jaga hingga tiga puluh enam jam di rumah sakit karena sedang berada dalam stase besar, yaitu stase bedah.
Sebenarnya, aku masih agak trauma ketika naik mobil. Waktu pergi sama Papa, saat mengantarku untuk kontrol ke rumah sakit, juga mengalami hal yang sama, hanya saja aku berusaha keras untuk menyembunyikan rasa cemas berlebihan itu. Sayangnya, Lavender terlalu perasa.
"Ada apa, Lail? Apa kamu baik-baik saja? Mukamu pucat sekali," katanya disela-sela perjalanan menuju rumah lamanya Lavender di daerah Menteng. Kami sengaja melakukan perjalanan ini dari pagi, supaya nanti siangnya Lavender bisa istrirahat. Dari kemarin malam dia belum tidur. Semenjak menjadi koas, jam tidurnya Lavender tidak menentu. Lavender harus bisa mencuri waktu untuk tidur disela-sela kesibukannya. Biasanya dia berada di rumah sakit sekitar tiga puluh enam jam, lalu setelah itu dia pulang untuk istirahat, begitu juga esok harinya sampai stasenya selesai.
"Lail, tolong jangan diam saja. Apa perlu aku telpon Tante Aster, kalau kamu tidak baik-baik saja?" Aku mennggeleng lemah.
"Aku tidak apa-apa. Boleh berhenti dulu sebentar? Perutku agak mual." Lavender cepat-cepat mencari jalan yang sepi. Lima puluh meter kemudian, mobil berhenti di jalan yang sepi. Dia menatapku tidak percaya.
"Lail, sejak kapan kamu naik mobil bisa mual? Bukannya kamu tidak pernah mabuk perjalanan?" Aku menggeleng lemah. Lavender segera memberikan aku minum dari botol yang utuh, membuka tutupnya lebih dulu baru memberikannya padaku. Aku segera meminumnya.
"Atau kita putar balik saja? Belum jauh kok," tawarnya. Aku menggeleng, menolaknya. Tiba-tiba Lavender menatapku horor.
"Ada apa?" tanyaku tidak mengerti apa arti tatapannya itu.
"Kamu tidak hamil, kan?" tanyanya asal. Aku balik menatapnya dengan tajam.
"Menurutmu?"
"Aku hanya bertanya, Lail, tidak perlu sensitif seperti itu."
"Tidak ada kemungkinan aku hamil, Lav. Rahimku sudah lama tidak dibuahi. Jadi tidak ada kemungkinan aku sedang hamil." Lavender mengangguk mengerti.
"Apa sekarang sudah membaik?" Aku mengagguk.
"Alhamdulillah, oh ya ampun..." Lavender berhenti mengatakan sesuatu, ia kembali menoleh ke arahku.
"Kenapa kamu berteriak?"
"Aku lupa, Lail. Aku minta maaf," katanya. Aku masih setia mendengar perkataannya. "Tante Aster bilang, kemungkinan besar kamu akan mengalami trauma karena kecelakaan itu. Apa pun yang menyebabkan kecelakaan itu, maka kamu akan merasa cemas berlebihan atau mual. Aku minta maaf, Lail. Tidak seharusnya aku membawamu dalam perjalanan rencana kita ini."
"Seharusnya..."
"Lavender, bisakah kamu bicara tanpa dijeda-jeda terus?" tanyaku agak kesal. Lavender memasang wajah memelas.
"Seharusnya aku tidak membawamu menggunakan mobil, Lail," katanya, membuang napas dalam-dalam. Dia menyandarkan bahunya di kursi pengemudi.
"Lalu mau membawaku dengan apa? Kereta kencana atau jet pribadi?" tanyaku serius. Lavender malah tertawa.
"Kalau memakai kereta kencana, yang ada kelamaan sampainya, Lail. Tapi kalau mau memakai jet pribadi, itu ide yang baik. Sayangnya aku belum punya jet pribadi itu untuk membawamu, Lail." Seketika aku tertawa mendengar jawabannya yang abstrak itu. Lavender juga tertawa.
"Mungkin aku harus usahakan untuk punya jet pribadi, Lail," katanya, menghentikan tawanya.
"Baik sekali, kamu Lav, sampai mau membeli jet pribadi hanya untuk membawaku ke rumah lamamu," kataku. Lagi-lagi kami tertawa. Sinar matahari mulai muncul dengan sempurna. "Lav, kita lanjutkan saja perjalanan kita. Bukannya setelah selesai dari rumahmu kamu ingin istirahat?"
"Memangnya, kamu sudah baikkan?" Aku mengangguk meyakinkan.
"Baiklah. Kita jalan sekarang." Mobil melaju cukup cepat melanjutkan perjalanan ke daerah Menteng. Perutku tidak mual lagi. Sepertinya aku harus tetap tenang agar mual lagi karena cemas berlebihan.
Perjalanan dari Pondok Indah ke Menteng memakan waktu lebih lama dari yang kami perkirakan, tetapi suasana di dalam mobil tidak terasa canggung. Selama perjalanan kami mendengarkan beberapa podcast menarik yang sering kami dengarkan saat mood sedang tidak baik. Kami tidak selalu mendengarkan podcast yang bersifat serius, kami bukan hanya mendengar podcast yang membahas tentang medis atau psikolog saja, tetapi berbagai genre, salah satunya genre komedi. Itu sangat menyenangkan.
Jalanan mulai dipadati kendaraan, tetapi Lavender sengaja mengambil rute yang lebih sepi untuk menghindari kemacetan. Lavender bukan hanya cerdas dibidang medis saja, dia juga bisa menghafal dengan cepat setiap rute sekali klik pada google maps. Mungkin karena terbiasa menghafal banyak hal di fakultas kedokteran, itu yang membuat dirinya bisa menghafal cepat semua hal.