Kami berdua masih terjebak di tengah kemacetan. Mobil-mobil berbaris seperti deretan kotak yang tak bergerak, hanya sesekali ada sedikit pergerakan. Suara klakson yang membahana dari segala arah semakin membuat suasana terasa gerah. Lavender, yang duduk di kursi pengemudi, tiba-tiba memegang ponselnya erat-erat. Wajahnya berubah pucat dan matanya membelalak, membuatku langsung merasa panik.
"Ada apa?" tanyaku buru-buru, ikut panik, padahal aku belum tahu siapa yang meneleponnya. Lavender hanya diam sejenak, masih fokus pada layar ponselnya. Kalau ekspresinya sehoror itu, pasti ada kabar buruk dari rumah sakit, pikirku.
Namun, detik berikutnya, Lavender tertawa kecil. "Tante Aster yang menelepon, Lail," katanya sambil cengengesan, seolah menertawakan kepanikanku yang barusan. Aku mendengus kesal, merasa tertipu oleh reaksinya. Dengan santainya, Lavender menyodorkan ponselnya padaku.
"Lucu sekali melihat wajahmu berubah panik, Lail," tambahnya, tanpa rasa bersalah. Aku mengambil ponselnya dengan sebal, lalu menggeser ikon hijau untuk mengangkat panggilan. Lavender minta agar aku mengaktifkan pengeras suara. Faktanya, kami suka sekali saling meledek, suka sekali mengambek kita diledek.
Suara Mama terdengar setelah salam, dan dengan cepat aku merespons panggilannya. "Waalaikum salam, Ma. Iya, ada apa?"
"Handpone kamu kenapa tidak aktif?" tanya Mama terdengar cukup khawatir. Aku memejamkan mata, aku baru ingat batrainya habis.
"Maaf Ma, aku lupa mengisi daya," jelasku.
"Tidak apa-apa, lain kali hubungi Mama lewat Lavender. Kamu masih di rumah Lavender atau sudah di jalan?" tanya Mama dari ujung telepon.
"Kami masih di jalan, Ma. Macet sekali di depan, entah ada acara apa sampai begini," jawabku sambil melirik kemacetan yang tak kunjung usai.
"Ya sudah, kalian hati-hati. Hari ini Mama tidak masak, jadi kamu beli makan saja ya. Sekalian traktir Lavender."
Aku tertawa kecil mendengar permintaan Mama. "Tenang saja, Ma. Pasti aku traktir."
"Tidak Tante, masa Laila yang terus mentraktirku?"
"Tidak perlu gengsi, Lav," kataku menahan diri untuk tidak tertawa. Dari seberang telepon malah tertawa puas.
"Tidak baik menolak rejeki," itu kata Mama. Lavender bersikap malu-malu. Aku hanya membulatkan mata.
"Ini macetnya benar-benar tidak punya otak."
Lavender, yang mendengarkan percakapan itu, tiba-tiba menyahut, "Macet memang tidak punya otak, Lail. Yang punya otak itu makhluk hidup, terutama manusia." Dia melontarkan komentarnya sambil tersenyum jahil. Aku hanya bisa menggeleng sambil tertawa pelan.
"Ya sudah, kalian hati-hati di jalan, ya. Mama sama Papa ada keperluan di luar sebentar. Lavender, maaf Tante merepotkan, titip Laila ya," suara Mama terdengar lebih lembut sekarang, penuh kekhawatiran.
Lavender menjawab dengan nada santai, "Siap Tante, aku jaga Lail dengan baik, Tante. Setelah makan nanti, aku antar pulang sampai selamat."
"Terima kasih, Lav," kata Mama.
"Sama-sama, Tante. Ya sudah, kita lanjut dulu ya, Tante. Kita harus cari jalan biar keluar dari macet ini," Lavender menutup percakapan dengan nada ceria, lalu menatapku dengan senyum penuh arti. Aku hanya bisa menghela napas panjang. Sepertinya perjalanan ke kafe kali ini akan lebih panjang dari yang direncanakan.
Aku tidak bisa membayangkan berapa menit lagi kami sampai, entah berapa lama lagi Lavender menahan laparnya itu. Biskuitnya sudah habis. Mobil hanya bisa berjalan merayap. Sudah jam satu siang, Lavender belum melaksanakan salat Dhuhur, sementara aku sedang mengalami tamu bulanan.
"Lav, kamu sedang salat, tidak?" tanyaku serius.
"Aku sedang mengemudi, Lail." Aku mendengus sebal dengan jawabannya itu. Memang benar, dia sedang mengemudi, pertanyaanku yang kurang tepat.
"Maksudku, kamu mau salat tidak?" Dia menggeleng kepala. Apa lagi yang akan dikatakannya.
"Aku lagi datang bulan, Lail. Kamu mau mengajakku salat, kan?" Aku mengangguk. "Kita cari masjid terdekat dulu aja ya, makannya nanti saja habis salat. Kamu mau salat, kan?" Jalan raya mulai lenggang. Lavender menggunakan kesempatan itu dengan baik.
"Baiklah, tolong carikan Masjid terdekat dulu." Dia ber-oh ria. Dengan perlahan, mobil kami mulai melaju lebih cepat setelah terbebas dari kemacetan. Lavender melirik GPS di ponselnya yang tergantung di dashboard. Kami menuju Masjid dulu, aku akan melaksanakan salat.
_________
Setelah selesai melaksanakan salat di Masjid, mobil berjalan menuju kafe.
"Kafe yang kita tuju ini hanya sekitar lima menit lagi. Semoga parkirnya gampang," katanya dengan menghela napas lega. Kesabarannya mulai terkikis. Rasa lapar membuatnya menjadi orang yang paling tidak sabaran.
Aku menatap keluar jendela, memperhatikan bangunan-bangunan bergaya vintage yang menghiasi daerah Menteng. Jalan-jalan yang lebih lebar dan trotoar yang lebih rapi mulai terlihat, menciptakan suasana yang lebih tenang dibandingkan hiruk-pikuk sebelumnya. Udara di sini terasa sedikit lebih baik meski masih diliputi panasnya siang hari. Aku bersandar, mencoba menikmati momen ini, meskipun perutku sudah mulai bernyanyi minta diisi.
"Kita parkir di sini saja, ya," Lavender berkata, sambil mengarahkan mobilnya ke tempat parkir kafe yang tampak nyaman dan teduh oleh rindangnya pepohonan.