Rekata Laila

FAKIHA
Chapter #13

13. Milo, Si Bijak

Setiap sore, aku suka sekali duduk di balkon lantai dua. Di sini banyak sekali bunga anggrek beraneka warna, memancarkan aroma manis yang lembut. Beberapa pohon ringan bergetar lembut, seolah merespons angin sepoi yang berbisik. Suara daun-daun yang saling bergesekan memberi nuansa damai.

Di tengah ketenangan itu, burung beo putihku, Milo, hinggap di pangkuanku. Aku masih tetap duduk di kursi roda. Mungkin aku akan terjebak di kursi roda ini seumur hidupku. Dengan lembut, aku mengusap bulu kepalanya yang halus dengan tangan kiri, sementara tangan kananku memegang buku yang belum selesai kubaca.

"Halo, Milo, bagaimana kabarmu?" tanyaku sambil tersenyum, merasakan kehangatan dalam hubungan kami.

"Hai, La. Aku baik. Sepertinya kamu tidak terlihat baik-baik saja. Kamu tampak banyak pikiran. Mau bercerita?" Milo memiringkan kepalanya, lalu mengibaskan bulu dan menundukkan kepalanya agar aku bisa mengusapnya di area yang tidak dapat dijangkaunya sendiri.

Aku mengangguk. Suaranya yang ceria membuatku tersenyum. Aku bisa merasakan betapa cerdasnya burung ini, seolah-olah dia bisa membaca perasaanku. "Semakin hari, kamu sok tahu sekali, seperti Lavender, sahabatku," kataku.

"Sepertinya kamu lupa, La. Aku sudah menemanimu sejak kamu berusia tujuh tahun. Apa pun yang kamu resahkan, aku selalu tahu. Aku ini kan burung yang cerdas," katanya, membuatku tertawa kecil. Lalu, ia menceritakan sesuatu yang lucu. Milo selalu bisa menghiburku.

Setelah mendengarnya, aku tersenyum lebih lebar. "Iya, kamu memang burung yang cerdas, Milo," kataku, masih mengusap kepalanya dengan lembut.

Milo berkicau lagi, "Aku tahu kamu sedang memikirkan sesuatu. Mau cerita padaku?"

Aku menatap Milo sejenak, terdiam, kemudian menghela napas pelan. "Kadang aku merasa... terjebak dalam kursi roda ini, Milo. Sepertinya aku harus berdamai dengan kursi roda ini selamanya. Tapi, aku ingin sekali bisa berjalan lagi, seperti dulu," ucapku lirih, hampir berbisik.

Milo menatapku dengan kedua matanya yang tajam, lalu mendekatkan kepalanya padaku. "Kamu pasti kuat, La. Aku tahu itu. Dan aku yakin, kamu pasti bisa melalui semua ini dengan baik. Kamu juga punya mimpi besar, bukan? Aku yakin kamu akan mencapainya, meski dengan kursi roda ini. Ingatkah kamu kata-kata Kak Ibra dulu yang sering ia ucapkan?" Aku mengangguk.

"Kita tidak perlu mencari-cari alasan atas kekurangan kita. Selama kita masih mampu melakukan sesuatu, maka kita harus berani mencobanya. Mengenai hasil, itu adalah langkah akhir yang akan kita hadapi nanti," jawabku, berhasil mengingat ucapan Kak Ibra sebelas tahun lalu.

Aku menghela napas panjang, kali ini sedikit lebih lega. Kadang aku merindukan momen bersama Kak Ibra, sosok yang selalu memberiku kekuatan saat aku merasa lemah. Seharusnya dia masih ada di sini; mungkin segalanya akan terasa lebih mudah bagiku. "Kamu benar, Milo. Terima kasih. Kadang aku hanya butuh diingatkan bahwa aku tidak sendiri."

"Tidak masalah, La. Aku akan selalu ada di sini untuk mengingatkanmu sebagai teman, dan tentu saja untuk mendapatkan usapan di kepala ini!" jawab Milo sambil mengedipkan mata jenaka, membuatku tertawa lagi.

Aku mengusap bulu putih di lehernya dengan penuh kasih sayang. "Kamu teman terbaikku, Milo."

"Dan kamu, La, adalah manusia terbaik yang pernah aku kenal," balasnya dengan suara ceria.

Aku menatap ke depan. Aku masih ingat jelas bagaimana keluargaku mengalami banyak hal. Sepuluh tahun yang lalu, kebahagiaan itu sempat pudar ketika Kak Ibra, kakak laki-lakiku yang sangat kucintai, pergi dengan cara yang tak terduga. Usianya saat itu baru tujuh belas tahun ketika kecelakaan kereta itu terjadi. Kenangan akan senyumnya, tawa riangnya, dan kebersamaan kami menjadi bayangan kelam.

Setiap kali angin bertiup, aku sering teringat Mama dan Papa, betapa hancur hati mereka saat mendengar kabar buruk itu. Milo, si burung beo ini, menjadi saksi bisu atas perubahan dalam hidupku. Usiaku dan Kak Ibra yang terpaut lima tahun membuat hubungan kami sangat dekat, namun kehilangan yang kami alami seakan membentuk kekuatan tersendiri dalam keluarga kami. Berkali-kali, kami harus menghadapi kehilangan orang-orang yang kami cintai.

"Ketika Kak Ibra baru berusia empat tahun, Mama mengalami keguguran karena terpeleset di kamar mandi. Hal itu membuat kami sangat sedih karena kehilangan keluarga untuk pertama kalinya."

"Lalu, setahun kemudian, kamu lahir, Lail. Kami merasa bahagia atas malam kelahiranmu itu, berharap malam yang indah itu bisa membuat keluarga kita selalu bahagia."

"Lalu, Papamu memberimu nama Laila Shazhara, yang berarti keindahan malam yang bercahaya. Dengan nama itu, dia berharap Allah menakdirkanmu menjadi cahaya kebahagiaan dan keberkahan bagi keluarga kita."

"Tapi, sayang, kebahagiaan itu hanya berlangsung sementara, Lail. Memang, kakek dari pihak Papamu sudah tiada sejak Papamu masih berusia lima tahun. Namun, kesedihan semakin dalam ketika nenek dari Papamu meninggal karena penyakit kelenjar getah bening, tepat satu bulan setelah kamu lahir," ucap Mama, menahan air mata. "Setiap kehilangan meninggalkan luka yang tak pernah benar-benar sembuh, tapi kami harus belajar untuk tetap bertahan, meski perihnya terasa."

Mama selalu menjadi pilar kekuatan yang tak tergoyahkan. Dalam enam tahun terakhir, kami mulai merasakan sedikit kelegaan, tetapi takdir kembali menguji kami. Kecelakaan itu merenggut kemampuan kakiku, dan ketika aku terbaring koma, Iman—yang kini mantan suamiku, menjatuhkan talak tiga di hadapan Mama dan Papa. Semua ini baru kuketahui setelah aku sadar.

Aku memejamkan mata, berharap cobaan kami selesai sampai di sini. Keberanian yang tersisa seolah lenyap saat menyadari betapa banyaknya yang telah kami hilangkan. "Ya Rabb, aku tidak kuat lagi," bisikku dalam hati, mengingatkan diriku untuk berjuang meski beban ini terlalu berat.

Musibah memang terasa jauh lebih berat ketika datang tanpa disangka, dan sering kali meninggalkan luka yang lebih mendalam—kutipan dari buku Filosofi Teras yang relevan denganku.

Lihat selengkapnya