Kami duduk di ruang keluarga, suasananya tenang meskipun terasa sedikit suram. Setelah lahap memakan puding dan bercerita panjang lebar tentang berbagai hal, Isabella tertidur pulas di pangkuan ayahnya.
"Kak, tidurkan saja di kamarnya Laila. Kasihan kalau badannya sampai pegal," kata Papa dengan suara lembut namun penuh perhatian. Dengan hati-hati, Kak Syabana menggendong Isabella yang sudah terlelap, sementara Mama mendampingi mereka menuju kamar.
Aku melihat Isabella yang terlelap dengan tenang. Sesuatu di dalam hatiku tersentuh. Anak sekecil itu sudah harus merasakan kehilangan ibunya. Di saat Isabella masih sangat membutuhkan kasih sayang dan pelukan ibunya, ia kini harus berjuang tanpa itu. Sedangkan aku? Kehilangan suami dan kemampuan untuk berjalan dengan normal. Kami sama-sama mengalami kehilangan, hanya dalam bentuk yang berbeda.
Ketika mereka kembali ke ruang tamu, Papa segera bertanya, "Isabella sudah benar-benar tertidur?"
"Sudah, Om. Isabella sekarang gampang sekali tidur. Dulu, setelah kepergian almarhumah Anna, dia sering sekali terjaga sepanjang malam, tapi alhamdulillah sekarang sudah mulai terbiasa tidur tanpa ibunya," Kak Syabana menjawab dengan nada yang tenang, meskipun ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan di matanya.
"Kasihan sekali anak itu," kata Mama penuh simpati. "Tapi Bella baik-baik saja kan kalau kamu tinggal ke rumah sakit?"
Kak Syabana tersenyum tipis. "Alhamdulillah, dia baik-baik saja. Selalu ada suster yang menjaga ketika aku bekerja, dan sore hari aku sudah kembali untuk bersamanya."
Papa menatap Kak Syabana dengan kagum. "Kamu hebat, Nak. Di usia muda, kamu sudah menjadi sosok ayah yang tangguh. Mengurus Isabella sendirian di negeri orang bukan hal mudah."
"Alhamdulillah, Om. Dulu memang sulit, tapi lama-lama aku terbiasa. Bunda ingin aku menikah lagi, tapi aku belum siap, Om," Kak Syabana mengakui dengan jujur, nadanya seolah mengadu pada Papa sebagai omnya.
"Mungkin bundamu hanya ingin memastikan Isabella mendapatkan kasih sayang yang lebih penuh, apalagi dia masih kecil," kata Mama dengan bijak. "Tapi semua tergantung pada kamu, Kak. Kamu yang tahu apa yang terbaik untuk hidupmu dan Isabella."
Obrolan kami beralih saat Papa menawarkan kue yang baru saja dibuatnya. "Cobain deh, Kak. Ini buatan Papa, walaupun Laila bilang rasanya lumayan untuk pemula mencoba membuat kue."
Kak Syabana mengambil sepotong kue dan mencicipinya. "Enak, Om," katanya sambil tersenyum, menambah potongan kue ke piringnya. Kami semua tertawa saat Papa terlihat bangga dengan hasil kue buatan dirinya.
"Kamu sama saja seperti Laila, suka sekali mengapresiasi orang lain untuk menghargai. Padahal, itu kue bantet, Kak," kata Papa dengan jujur. Kak Syabana hanya tersenyum tipis, sementara aku dan Mama tertawa kecil. Papa memang tidak berbakat memasak apalagi membuat kue. Kata Mama lebih baik Papa mengerjakan sesuatu dibidangnya saja daripada hasilnya kurang meyakinkan.
Namun, tawa itu berhenti saat Kak Syabana tiba-tiba bertanya, "Ngomong-ngomong, di mana suaminya Laila? Sepertinya dari tadi tidak terlihat, apa masih di kantor?"
Ruangan terasa membeku sejenak. Aku memilih diam, membiarkan Mama atau Papa yang menjawab.
"Mereka sudah bukan suami istri lagi, Kak," Mama akhirnya menjawab dengan hati-hati. "Iman menceraikan Laila saat dia masih koma. Dan sekarang, dia sudah menikah lagi."
Kak Syabana menoleh ke arahku, wajahnya penuh keterkejutan dan kebingungan. Aku hanya mengangguk pelan, mencoba bersikap seolah semuanya baik-baik saja, meski di dalam hatiku terasa menyakitkan.
"Lail, kenapa kamu tidak bilang apa-apa?" tanyanya, suaranya penuh rasa tidak percaya.
"Bagiku, itu bukan hal yang perlu disampaikan, Kak, " jawabku singkat, mencoba menahan emosi.
"Ini penting sekali, Lail. Aku juga keluargamu, dan seharusnya aku tahu hal ini."
"Maaf," kataku pelan. Kak Syabana hanya menghela napas kasar.
Mama mencoba menenangkan situasi dengan lembut, suaranya penuh kesabaran, "Mungkin memang bukan jodohnya Laila, Kak. Kita tidak bisa memaksakan sesuatu yang sudah retak. Lagi pula, jika dipertahankan, tapi Iman sudah tidak mau berjuang, untuk apa? Belum tentu juga Iman akan sabar menunggu Laila sampai sembuh. Tante takut kalau dipaksakan, malah bisa muncul KDRT atau kekerasan lain. Meski selama ini, Laila tidak pernah mengalami kekerasan fisik atau verbal darinya."
"Hanya saja, kesabaran orang ada batasnya. Tante khawatir kalau Iman tidak bisa sabar, emosinya akan dilampiaskan. Bukannya sembuh, Laila justru bisa semakin tertekan. Tante hanya ingin melindungi Laila dari kemungkinan terburuk."
"Sebenarnya itu hanya ketakutan Tante saja. Tapi jika nantinya terjadi, Tante juga tidak bisa berbuat apa pun lagi selain melindungi Laila," Ucapannya terdengar bijak, meski aku tahu di dalam hatinya, Mama juga merasakan kepedihan.