Langit senja terlihat jelas dari jendela ruang luangku, memancarkan cahaya oranye yang hangat. Cuaca di luar sangat bersahabat, membuat suasana di dalam ruangan semakin damai.
Sudah cukup bagiku untuk menangisi keadaanku ini, pikirku sambil menatap tanganku yang kuat mendorong roda kursi rodaku. Semua yang telah terjadi tidak akan bisa diubah. Empat bulan telah berlalu, dan sekarang punggungku benar-benar sembuh, meskipun kadang masih terasa nyeri. Aku sudah mulai terbiasa duduk dalam waktu yang lama. Tanganku pun terlatih untuk mendorong kursi roda ini sendiri, berkat pelatihan yang kulalui dengan penuh ketekunan. Setiap kali aku berniat untuk melakukan sesuatu, aku selalu berusaha sekuat tenaga, karena aku yakin semangat dan tekadku akan membawaku menuju kesembuhan.
Tiga bulan yang lalu, aku minta tolong pada Mama agar memanggilkan kontraktor cat profesional untuk mengganti warna cat di ruang luang. Lalu, warna temboknya sudah diubah sesuai dengan harapanku dari tiga bulan lalu itu. Kombinasi warna putih, biru tua, dan biru muda menciptakan perpaduan yang sesuai dengan perubahan yang aku inginkan.
Aku baru saja selesai melukis beberapa kanvas, lalu beralih ke laptopku untuk menulis. Ruangan ini kini telah kuubah menjadi tempat kerjaku, bukan hanya sekadar ruang untuk menumpahkan segala isi pikiranku. Lebih dari itu, ruang luang ini telah menjadi saksi transformasiku. Bahkan, puluhan lukisanku telah terjual, baik secara online melalui Instagram dan media sosial lainnya, maupun secara offline. Jujur saja, aku tidak pernah menyangka hal ini bisa terjadi.
Pada awalnya, kalian pasti tahu alasan mengapa aku membuat ruang luang ini, itu karena aku hanya ingin meluapkan semua kesedihanku di atas kanvas. Namun, kini semuanya telah berubah menjadi karya seni yang memiliki makna. Lukisanku bukan lagi sekadar lukisan abstrak, tapi berbagai macam lukisan yang semakin hari semakin berkembang. Aku sedang mengumpulkan dana untuk membuat galeri pameran karena banyak orang yang tertarik dengan karyaku.
Rencananya, tahun depan aku akan mewujudkan galeri tersebut, sekaligus melanjutkan pendidikanku.
Sekarang, aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda—menulis. Meski aku tidak berharap banyak dari tulisanku, aku tetap ingin menuangkan setiap pikiran yang memenuhi isi kepalaku ke dalam kata-kata. Setiap kalimat terasa seperti cermin dari apa yang aku rasakan saat ini.
Setelah menulis sekitar seratus kata, tiba-tiba layar laptopku bergetar, menandakan notifikasi panggilan video yang masuk. Itu dari Lavender. Dengan cepat, aku menggeser ikon hijau dan menyambut panggilannya.
"Hai, Lail!" Lavender menyapaku dengan semangat. Senyumnya lebar, dan wajahnya terlihat segar, seperti baru selesai mandi. Rambutnya masih sedikit basah.
"Halo," jawabku dengan antusias yang sama. Senyumku mengembang, begitu juga dengan Lavender.
Meskipun akhir-akhir ini kami jarang bertemu atau memberikan kabar lewat media sosial atau WhatsApp, namun setiap kali kami mulai berbicara, obrolan bisa berlangsung dua hingga tiga jam tanpa terasa. Rasanya ada begitu banyak yang harus diceritakan, seolah tak ada habisnya. Namun, setelah itu, biasanya kamu hanya akan duduk diam di kamar sendirian, untuk mengisi kembali energi yang sudah terkuras akibat banyak berbicara. Kalau tidak segera menyendiri, maka besoknya sudah bisa dipastikan akan langsung demam.
"Lail... kamu masih di ruang luang?" Tiba-tiba suara Mama terdengar lantang dari luar, seolah memastikan aku masih di sana.
"Iya, Ma. Aku masih di ruang luang," sahutku sambil sedikit mengangkat suaraku agar terdengar jelas. Setelah itu, keheningan kembali mengisi ruangan. Tak ada lagi panggilan dari Mama, dan aku tahu, Mama pasti sudah beranjak melanjutkan kegiatannya.
"Lail, aku sangat bangga padamu karena kamu sudah melangkah sejauh ini. Selamat atas lukisanmu yang berhasil terjual begitu banyak dalam dua bulan terakhir ini," kata Lavender dengan penuh semangat, senyum itu terukir di wajahnya.
"Terima kasih, Lav. Oh iya, ada satu lukisan spesial untukmu. Aku mau memberikannya, tapi belum sempat. Biar aku ambil sekarang." Dengan cepat, aku memutar roda kursi rodaku menuju sudut ruangan di mana lukisan itu tersimpan. Setelah mengambilnya, aku kembali ke laptop dan mengangkat lukisan itu agar Lavender bisa melihatnya.
"Lail, itu indah sekali! Memangnya kamu tidak sayang untuk memberikannya padaku secara gratis? Buatnya pasti susah sekali," ujarnya dengan nada pura-pura menolak secara halus, tapi dari matanya, aku bisa melihat betapa senangnya dia ketika aku menawarkan salah satu lukisan terbaik untuknya.
Aku tersenyum hangat, memahami keraguannya. "Nanti aku kirimkan lewat jasa pengiriman online, bagaimana? Mau tidak?"
"Tidak. Tidak perlu, Lail. Aku bisa ambil sendiri," balasnya dengan cepat, membuatku tertawa kecil.
"Tadi bilangnya tidak mau," godaku sambil tersenyum lebar. Lavender memasang ekspresi malu-malu, lalu menutupi wajahnya, mencoba menyembunyikan senyum lebarnya.
"Itu kan cuma basa-basi, Lail. Tidak mungkin kan, aku langsung menerimanya begitu saja tanpa sungkan," dia tertawa. Aku hanya menggeleng, berdecak pelan saat mendengarnya.
"Lail..."
"Ya?" jawabku lembut, merasa ada yang ingin dia sampaikan.
"Aku senang melihat kamu sudah banyak tertawa. Aku harap kamu selalu bahagia seperti ini," katanya dengan tulus.
"Semoga kamu juga selalu bahagia, Lav," balasku, mengucapkan doa yang sama untuknya.