Pagi ini, aku pergi ke yayasan yang kami dirikan beberapa bulan lalu untuk kunjungan dan memulai mengajar di sana. Setelah semuanya membaik, aku ingin membuat hidupku menjadi lebih bermanfaat.
Aku duduk di kursi roda, merasakan mobil melaju cepat meninggalkan Pondok Indah. Suster Lima setia menemaniku kemanapun aku pergi, sementara Pak Nas mengemudikan mobil menuju yayasan disabilitas Lily Shine milik kami. Akhir-akhir ini mereka berdua sering pergi bersamaku untuk menemaniku. Pemandangan kota berlalu di luar jendela, diiringi suara mesin mobil dan musik lembut yang menciptakan suasana tenang.
Sebeneranya, aku tidak memiliki pengalaman mengajar, itu membuatku merasa gugup. Sepanjang perjalanan, aku menghafalkan kata-kata yang akan kuucapkan pada mereka semua. Kadang. aku selalu cemas berada di tempat baru, aku belum pernah mengunjungi yayasan itu.
Setelah satu jam berlalu, kami tiba di yayasan yang dikelilingi taman asri, dengan anak-anak bermain dan tertawa. Hatiku berdebar saat Pak Nas memarkirkan mobil. Aroma segar taman dan suara ceria anak-anak menyambutku, meningkatkan semangatku untuk memberikan yang terbaik.
Aku turun dari mobil, dibantu Suster Lima dan Pak Nas. Kemudian, perlahan Suster Lima membantuku mendorong kursi rodaku. Setelah memasuki pelataran yayasan, aku merasa senang melihat Bu Lava berdiri menanti di depan pintu masuk. Senyumnya lebar, membuatku merasa disambut dengan hangat. Kata Lavender usianya sudah menginjak lima puluh tujuh tahun.
“Mbak Laila! Selamat datang kembali!” sapanya dengan suara ceria. Bu Lava berjalan menghampiriku.
“Bu Lava, terima kasih! Senang sekali bisa kembali ke sini. Panggil Laila saja, Bu,” jawabku, berusaha mengontrol rasa gugup yang masih ada.
Bu Lava mendekat, berjabat tangan, tangannya mengusap lembut bahuku. “Baiklah, Laila. Aku sangat bangga padamu, Nak. Mendengar kabar baik ini dari Mbak Lavender katanya kamu ingin mengajar di sini, itu kabar yang sangat baik, langkah yang sangat berarti, bukan hanya untuk kamu sendiri, atau untuk semua anak yanga ada di sini juga. Apa yang membuatmu terinspirasi untuk mulai mengajar, Nak?”
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menyampaikan perasaanku. “Aku ingin berbagi pengalaman dan memberikan sebuah harapan seperti yang Lavender minta. Aku ingin mereka tahu bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk meraih impian. Seperti yang pernah kita bicarakan, kita semua bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat.”
Bu Lava tersenyum lagi, matanya berbinar. “Betul sekali! Dan dengan semangatmu, aku yakin anak-anak akan merasakannya. Mereka membutuhkan sosok seperti dirimu untuk menjadi sosok inspirasi.”
Aku tersenyum tipis, kecemasan di dadaku sedikit mereda mendengar kata-kata Bu Lava. “Terima kasih, Bu. Namun, aku masih merasa belum siap,” aku mengakui dengan tertawa kecil, meremas tangan di pelipis kursi roda, mengurangi rasa gugupku. Bu Lava tertawa kecil melihat reaksiku.
“Siapa yang pernah siap, Nak? Yang terpenting adalah niat dan hati yang tulus. Anak-anak akan menghargai kehadiranmu, dan itu yang paling penting,” jawabnya dengan penuh keyakinan.
Aku mengangguk, berusaha mengumpulkan keberanian. “Aku berharap bisa membuat perbedaan sekaligus perubahan, meskipun presentasenya kecil.”
“Itu pasti terjadi, Nak. Setiap langkah kecil adalah kemajuan. Ayo, biar Ibu menunjukkan ruangan anak-anak yang harus kita perkenalkan,” ajak Bu Lava dengan ramah.
Dengan lembut, Suster Lima mendorong kursi rodaku untuk mengikuti Bu Lava yang berjalan di depan. Ketika kami masuk ke salah satu ruangan, pemandangan anak-anak yang antusias menyambutku membuat jantungku berdegup kencang.
“Anak-anak, perkenalkan, ini Kak Laila, pengajar baru kita!” seru Bu Lava.
Senyum lebar terpancar dari wajah anak-anak yang menyambutku. Di sinilah aku duduk di hadapan mereka semua, aku akan memulai lembaran baru dalam hidupku.
"Halo semua, assalamulaikum," sapaku dengan ramah sekaligus antusias. Mereka menjawab salamku dengan kompak.
"Waalaikum salam."
"Kakak mau memperkenalkan diri dulu boleh?"
"Boleh?" Mereka menjawabnya dengan semangat. Energi itu menular, aku mulai nyaman berada di sini. Lalu mereka sangat ramai bertanya-tanya tentangku.
"Ok semuanya, tolong harap tenang." Mereka akhirnya diam menuruti titahku. "Namaku Laila Shazhara, kalian bisa panggil aku, Kak Laila, aku sahabatnya Kak Lavender. Kalian pasti kenal beliau, bukan?" Mereka mengiyakan dengan kompak.
“Kak Lavender juga sering cerita tentang kalian padaku!” lanjutku dengan semangat. “Aku sangat senang bisa bertemu kalian hari ini. Kira-kira, ada yang mau ditanyakan tentang Kak Laila?”
Salah satu anak laki-laki, mengangkat tangan. “Kak, Kak Laila bisa apa saja?”
Aku tertawa kecil mendengar rasa antusiasnya. “Hmm, bolehkah kamu sebutkan dulu siapa namamu, dan tolong berdirilah." Lalu anak laki-laki itu berdiri dengan rasa percaya diri yang tinggi.
"Namaku, Elio Lalio, usiaku tujuh tahun. Kak Laila, bisa apa saja?"
Aku tersenyum melihat antusias mereka. Mereka anak-anak yang hebat. Ketika ada banyak hal yang aku keluhkan, namun mereka tidak melakukannya, itu hebat sekali. Beberapa anak juga sama sepertiku, kehilangan kakinya, kehilangan fungsi kakinya, kehilangan tangannya, dan beberapa di antara mereka terlihat ada yang mengalami autisme.
"Aku suka sekali melukis, menulis dan bercerita. Apakah di antara kalian di sini ada yang suka melukis atau bercerita?” dengan kompak mereka mengatakan iya.