Rekata Laila

FAKIHA
Chapter #17

17. Kehilangan Yang Tak Terucap

Malam ini, kamar terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar. Aku berbaring di ranjang, memandang langit-langit kamar, mencoba menenangkan pikiranku yang tiba-tiba merasa cemas berlebihan. Tanganku berkeringat dingin. Padahal kemarin-kemarin pikiranku sudah lebih baik dari sekarang.

Namun hari ini ada sesuatu yang lebih menggangguku, entah apa itu, perasaanku tidak enak. Aku selalu seperti ini ketika akan terjadi sesuatu yang tidak baik. Aku memejamkan mata, menutup wajahku dengan kedua tanganku, berharap semuanya akan baik-baik saja, tidak akan terjadi sesuatu yang menakutkan. Pintu kamar perlahan diketuk.

"Lail... boleh Mama dan Papa masuk?" Suara Mama terdengar lembut, namun ada ketegangan di balik nadanya.

Aku menoleh ke arah pintu, "Silakan, Ma," jawabku dengan lembut.

Daun pintu perlahan terbuka, memperlihatkan dua sosok yang selalu ada dalam hidupku. Mama dan Papa masuk dan berjalan pelan ke arahku. Tanpa berkata apa-apa, Mama duduk di tepi tempat tidurku, seolah-olah sedang menyiapkan diri untuk sesuatu yang berat. Papa berdiri di sampingku, lalu mencium keningku, matanya menatapku dengan lekat.

"Ada yang ingin Mama sama Papa sampaikan padamu, Lail," katanya pelan, Mama menundukan pandangannya, meraih tanganku, dan mencium punggungku. Mama dan Papa selalu melihatku seperti anak kecil.

Aku mencoba tersenyum, meski di dalam hati mulai ada perasaan tidak enak. Aku harap Mama tidak mengatakan kabar buruk, lima bulan lalu aku merasakan situasi seperti ini, lalu aku menerima kabar buruk itu.

"Apa itu, Ma? Sepertinya penting sekali," tanyaku, mencoba membuat suasana lebih ringan. Namun, Mama hanya terdiam. Waktu terasa melambat, dan keheningan semakin menusuk. Aku masih menunggu Mama berbicara, namun Mama tampak ragu untuk melanjutkan.

Dua menit berlalu, Mama belum juga membuka suara. "Ada apa, Ma?" tanyaku, kali ini lebih serius. Aku mulai cemas melihat ekspresi Mama yang begitu tegang.

Mama menghela napas panjang dan kembali menatapku sebelum akhirnya berbicara, "Ini tentangmu, Nak." Suaranya bergetar, dan aku bisa merasakan ada sesuatu yang sangat berat yang ingin Mama katakan.

Jantungku berdegup lebih cepat. Mama mengusap keringat dingin yang membasahi dahiku. "Katakan saja, Ma. Aku akan mendengarnya," desakku, berusaha untuk tetap tenang meskipun dalam hati ada kegelisahan yang kian membesar, dalam hati aku berdoa, semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk.

Mama menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, "Dengan berat hati, Mama harus mengatakan ini, Lail..." suaranya mulai bergetar, membuat perasaanku semakin tidak enak.

Aku mencoba menguatkan diri. "Silakan, Ma," jawabku, walau di dalam hati aku mulai takut dengan apa yang akan Mama katakan.

"Terserah, kamu mau marah atau tidak, Nak. Tapi sepertinya ini waktu yang tepat untuk kami menjelaskan. Kami tidak ingin menutupi apapun lagi padamu, Lail," katanya perlahan, sambil menatapku penuh keraguan. Suasana tiba-tiba terasa sangat mencekam, seperti ada sesuatu yang akan mengubah hidupku selamanya. Aku mencoba tetap sabar, meskipun rasa penasaran bercampur kecemasan semakin mendesak.

Mama akhirnya melanjutkan, "Saat kakimu nanti sembuh, ada satu hal yang tidak bisa dikembalikan lagi, Lail."

Perasaanku tiba-tiba menjadi kacau. "Apa maksud Mama?" tanyaku dengan suara bergetar. Sesuatu di dalam diriku mengatakan bahwa apa yang akan Mama sampaikan bukanlah hal yang bisa aku terima dengan mudah. Mata Mama berkaca-kaca, menahan diri untuk tidak menjatuhkan air bening itu.

Mama menundukkan wajah, seolah mencari kekuatan untuk mengatakan hal ini. "Saat operasi besar itu... kamu tidak akan bisa hamil, Nak. Rahimmu harus diangkat karena beberapa alasan medis..."

Aku terdiam. Menciba mencerna apa yang baru saja Mama katakan. Mungkin telingaku salah mendengar. Dunia terasa berhenti sejenak. "Mama bicara apa? Mama tidak serius, kan, mengatakan ini?" Aku berharap ini hanya salah mendengara atau hanya mimpi buruk, sesuatu yang tidak nyata.

Namun, tatapan Mama yang sendu membunuh semua harapanku. "Mama serius, Lail, Kamu tidak salah dengar. Apa yang Mama katakan, itu kebenaran yang Mama dan Papa coba sembunyikan. Kami baru siap untuk mengatakan hal besar ini." Mama masih memegang kedua tanganku. Aku menelan ludah, mataku memanas, aku menggelengkan kepala.

"Itu tidak mungkin, Ma, Pa?" Aku menatap mereka dengan bergantian. Mencari sesuatu bahwa mereka sedang bergurau, namun sayangnya, wajah mereka mengisyaratkan bahwa yang Mama katakan itu benar adanya. Kenapa itu terjadi, kenapa Mama membiarkan mereka, dokter spesialis obstetri dan ginekologimengangkat rahimku, Ma? Kenapa Mama membiarkan itu?" Lagi-lagi aku tidak percaya dengan jalan takdirku. Kenapa semua yang aku miliki harus diambil semua?

Aku tidak bisa menahan diri untuk mengeluarkan air mata. Aku masih menatap Mama, berharap Mama hanya bergurau.

"Lail, tolong maafkan Papa," kata Papa kemudian duduk di sampingku. Meraih kedua pipiku, menatapku dengan lekat. "Kami sangat terpaksa menerima langkah itu. Kecelakaan besar itu menyebabkan cedera yang sangat serius, termasuk tulang belakangmu. Akibatnya, kamu mengalami kelumpuhan sementara, dan cedera itu juga mempengaruhi organ dalammu, termasuk rahim. Dokter Mirzan memutuskan untuk melakukan histerektomi untuk menyelamatkan hidupmu, Nak."

"Kami sangat bingung, jika kami mempertahankan rahimmu, kami juga harus siap kehilanganmu, Lail. Mama dan Papa hanya punya kamu, kami tidak punya sesuatu selain kamu. Kami tidak ingin kehilangan orang kuta cintai untuk kesekian kalinya. Kalau kamu mau marah, silakan, marahlah sama Papa, karena Papa yang mengizinkan mereka melakukan tindakan ini," kaya Papa dengan bergetar. Air matanya jatuh. Aku menundukan wajahku.

Air mata mulai membasahi pipiku. "Tidak, kenapa semua terjadi padaku Pa, Ma? Apa salahku, kenapa harus mengalami banyak cobaan sebesar ini? Aku ingin bahagia." Papa memelukku saat emosiku mulai memuncak. Aku menangis sejadi-jadinya. Air mataku keluar semakin deras, dan aku tidak bisa menahan tangisku.

Rasanya sakit sekali menerika kabar buruk untuk kesekian kalinya. Dari kecelakaan membuatku kehilangan fungsi kaki, suami, dan seluruh orang yang aku kenal karena mereka semua meninggalkanku kecuali Mama, Papa dengan keluarganya Lavender. Lalu sekarang, rahimku sudah diangkat. Apa yang bisa aku pikirkan secara positif.

Rasanya benar-benar menyakitkan sekali. "Aku tidak mau hal ini... Ma, Pa, aku juga ingin menjadi seorang ibu," kataku di sela-sela tangisku. Papa mengusap bahuku, memberikan kekuatan dengan memelukku.

Sampai satu jam berlalu, hidungku terasa perih, mataku terasa sembab, pandangan mataku kosong. "Ma, Pa, tolong tinggalkan... aku sendiri. Aku mohon..." pintaku dengan suara parau.

Mama menolaknya dengan lembut. "Tapi sayang..."

"Aku mohon... tolong tinggalkan aku sendiri." Mama dan Papa saling tatap, Papa meyakinkan pada Mama bahwa aku memang perlu waktu sendiri.

"Baiklah, kami tinggal. Tapi jangan melakukan hal yang tidak-tidak, Nak. Papa mohon..." aku mengangguk, meyakinkan. Saat itu aku melihat Mama mengusap air matanya, lalu dengan cepat Mama menyembunyikan pisau dan gunting. Aku tersenyum tipis, padahal aku tidak senekat itu mengakhiri hidup. Aku hanya kecewa dengan jalan takdirku. Aku hanya ingin bahagia seperti manusia normal lainnya.

Mama dan Papa keluar dari kamarku, menutup pintu dengan pelan. Aku menyandarkan bahu. Lalu berteriak kencang ketika Mama dan Papa keluar dari kamarku. Aku menangis sejadi-jadinya.

Apa yang aku harapkan dengan masa depanku nanti. Aku tidak bisa berjalan, aku tidak bisa memiliki anak karena rahimku diangkat, aku tidak bisa melakukan apapun, aku tidak memiliki harapan apa pun lagi. Pantas saja, sudah lima bulan ini aku tidak mengalami datang bulan, seharusnya aku mencurigai hal itu. Harapanku selanjutnya hanya ingin kakiku sembuh. Aku tidak i gin selamanya terjebak dalam kursi roda.

Detik berlalu berganti menit, sampai beberapa jam kemudian aku masih menangis. Tenagaku habis, kepalaku pusing sekali, lalu aku memilih untuk memejamkan mata untuk tidur.

________

Lihat selengkapnya