Mantra ajaib yang sering aku ucapkan pada diri sendiri adalah berhenti mencemaskan sesuatu. Hal-hal yang telah hilang dariku, tidak akan menjadi milikku. Orang-orang yang ditakdirkan bersamaku akan tetap ada di sampingku. Itulah takdir.
Terkadang, ketidakhadiran seseorang justru membuatku menjadi pribadi yang lebih kuat. Aku harus belajar menghargai ketidakhadiran itu, menganggapnya sebagai keberkahan tersembunyi yang membimbingku menuju kedewasaan. Hidupku harus tetap berjalan, dengan atau tanpa mereka yang pernah mengisi ruang di hatiku. Penerimaan adalah kunci, menjalani hidup sepenuhnya dan berbaik hati pada diri sendiri adalah keharusan. Aku yakin, pada akhirnya semua akan baik-baik saja.
Semua keluhan telah terucap, air mata yang mengalir deras hingga mataku sembab sudah aku lalui. Tak ada lagi yang perlu aku tangisi. Kini, saatnya untuk bangkit dan melangkah maju. Untuk apa aku terus menyimpan perasaan kepada seseorang yang jelas-jelas mengkhianati kepercayaan dan hatiku? Aku harus membuang perasaan itu, seperti membuang serpihan kaca yang sudah tak bisa disatukan lagi.
Waktu terus bergerak tanpa henti, dan tanpa kusadari, aku telah melalui begitu banyak hal. Setiap bulan aku masih harus kontrol ke dokter, tetapi aku bersyukur karena hidupku perlahan kembali normal, meskipun sekarang aku harus menjalani kehidupan di atas kursi roda. Ada banyak penyesalan yang menghantui pikiranku, tetapi yang paling besar adalah ketika aku tidak pernah menghargai fungsi kakiku sebelum kecelakaan itu terjadi. Sebelumnya, aku tak pernah memikirkan betapa pentingnya sepasang kaki yang sehat. Baru setelah kehilangannya, aku benar-benar merasakan betapa besarnya nikmat Allah yang pernah Dia berikan. Namun sayangnya, semua itu sudah terlambat. Aku hanya bisa menyesali, mengambil hikmah dari kejadian tersebut, dan berusaha untuk terus melangkah meski tanpa kakiku.
Malam ini terasa begitu panjang. Aku duduk di hadapan kanvas yang masih putih bersih. Sejam sudah berlalu, namun aku tak kunjung menemukan ide untuk dituangkan dalam lukisan. Tanganku masih memegang kuas, tetapi pikiran dan inspirasiku seolah tersumbat. Di tengah kebingungan, aku memutuskan untuk mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Lavender melalui panggilan video.
Setelah beberapa kali aku mencoba memanggil dengan panggilan video call, akhirnya Lavender mengangkatnya.
"Hai Lail, aku baru saja mandi, maaf baru bisa angkat panggilanmu," ujar Lavender sambil menyeka rambut basahnya, wajahnya tampak lelah dan letih.
"Baru pulang dari rumah sakit lagi?" tanyaku. Lavender mengangguk sambil memasukkan permen cokelat ke dalam mulutnya, terlihat menikmati sedikit manis di tengah rasa lelah yang melanda.
"Aku ingin cerita sesuatu, Lail," katanya, sembari menghela napas berat. Nada suaranya terdengar seolah ingin meluapkan segalanya, tapi ragu apakah aku siap mendengarnya.
"Silakan. Tapi apa kamu yakin mau cerita sekarang? Kamu kelihatan sudah lelah sekali, Lav. Atau, ceritanya nanti saja? Biar kamu bisa istirahat dulu." Aku mencoba memberi alternatif, khawatir Lavender terlalu lelah.
"Tidak apa-apa, Lail. Kalau aku tunda, yang ada nanti malah lupa semua ceritanya," katanya sambil tertawa kecil menghilangkan rasa lelahnya. Lavender minum dari botol air mineralnya dengan satu tegukan besar. Anak ini, meski sedang video call, selalu saja tak bisa diam. Lalu dia menarik napas dalam dan menegakkan bahunya, bersiap bercerita.
"Hari ini aku sudah tujuh hari di stase psikiatri, Lail. Dari hari pertama sampai sekarang, pasien-pasien yang kutemui benar-benar… unik. Semua tingkahnya itu ajaib. Tapi aku belum cerita sesuatu yang menarik ini, mau dengar?" Ada nada ragu di ujung kalimatnya, seolah bertanya-tanya apakah aku cukup kuat untuk mendengar cerita yang mungkin menguras emosi.
Aku tersenyum dan mengangguk antusias. "Ceritakan saja, Lav. Aku siap mendengar dengan sisa energimu, lagi pula aku butuh amunisi untuk otakku, siapa tahu setelah mendengar ceritamu aku mendapatkan ide yang bagus," kataku diakhiri dengan tertawa kecil. Lavender hanya mengangkat dua ibu jari tangannya, pertanda dia siap melanjutkan.
"Ngomong-ngomong, Lail, kamu lagi ngapain?" tanyanya. Aku menggeser layar ponsel menunjukan kain kanvas yang ada di depanku yang masih kosong agar dia bisa melihatnya.
"Oh… kamu mau melukis, ya?" Dia tersenyum.
"Tidak."
"Terus, apa yang mau kamu lakukan?"
"Tadinya memang mau melukis, tapi otakku sudah buntu, Lav. Jadi aku cuma duduk di sini, menatap kanvas kosong sambil berharap mendapat inspirasi untuk melukis. Siapa tahu ada angin kecil membawakan sebuah inspirasi yang bagus."
Lavender tertawa renyah mendengar jawabanku. "Lalu inspiarasinya sudah dapat?"
Aku menggeleng kepala. "Jelaslah, belum. Pakai bertanya lagi."
Lavender hanya menggeleng kepala sambil tertawa kecil. "Lail, lalu dari kapan kamu duduk di situ, menunggu ilham yang belum tentu datang?"
"Mungkin sekitar satu jam yang lalu," jawabku santai.
"Satu jam? Lail, kamu membuat punggungmu sakit sendiri dengan menunggu sesuatu yang tidak pasti!" katanya sambil melotot, khawatir. Tapi akhirnya, Lavender segera melanjutkan ceritanya sebelum lupa, tanpa memberi ruang jeda.
"Baiklah, kembali ke ceritaku tadi. Pasien pertama yang kutemui hari ini… sumpah, dia benar-benar aneh sekali. Dia bilang, dia seorang penyihir." Lavender menatapku serius, tapi di wajahnya tersirat kelelahan bercampur kebingungan.
"Penyihir? Serius, Lav? Memangnya ada orang yang benar-benar mengklaim dirinya penyihir?"