Rekata Laila

FAKIHA
Chapter #19

19. Menapaki Luka

Aku terbangun dari tidur karena azan Subuh telah berkumandang. Tanpa menunda, aku segera melaksanakan salat subuh. Akhir-akhir ini, tanpa menyalakan alarm, aku sudah terbiasa bangun sendiri lebih awal sebelum Mama membangunkanku.

Aku masih salat dalam keadaan duduk di kursi roda, yang mungkin akan berlangsung seumur hidupku. Aku hanya bisa menerima hal ini, dan dengan memakan waktu yang lumayan, akhirnya aku sudah mulai terbiasa melakukan semua aktivitasku di atas kursi roda tanpa bantuan siapa pun. Terkadang, Mama masih membantuku.

Tanganku sudah cukup kuat untuk membantu menopang tubuhku saat aku harus berpindah dari tempat tidur ke kursi roda, hasil dari latihan yang lumayan lama. Namun, ketika bepergian dengan mobil, aku masih memerlukan bantuan Pak Nas. Suster Lima sudah tidak bekerja membantuku lagi, sekarang ia membantu Mama.

Di dalam hati, aku mengingatkan diriku, ketika Allah telah menakdirkan sesuatu, maka hal itu akan terjadi. Jika aku harus menjalani hidup di atas kursi roda, aku akan menjalaninya. Aku percaya, Allah sangat mengetahui jika aku cukup kuat untuk menghadapi hal ini. Rencana Allah pastinya lebih baik daripada semua rencanaku.

Sekalipun aku cacat fisik, aku tidak ingin terus-menerus menangisi atau mencaci diri karena takdir ini. Aku harus melalui semua ini, apa pun yang terjadi nanti. Menurutku, tak ada alasan untuk berhenti melakukan kebaikan hanya karena keterbatasan fisik. Aku masih punya kedua tangan untuk melakukan banyak hal.

Setelah selesai melaksanakan salat subuh, aku berhenti sejenak membaca Ratib Al-Hadad. Mungkin sekitar lima belas menit aku menyelesaikan bacaan itu. Lalu, notifikasi panggilan masuk di handphoneku berbunyi, membuatku sedikit terkejut.

Dengan cepat, aku memutar roda kursi menghampiri handphone yang terletak di atas nakas. Nama Lavender muncul di layar. “Kenapa dia menelepon sepagi ini?” gumamku dalam hati, sedikit heran. Tidak biasanya Lavender menghubungiku sepagi ini, meskipun jadwalnya memang tidak menentu.

Seingatku, Lavender baru memulai aktivitasnya menuju rumah sakit sekitar pukul enam atau tujuh pagi, tapi tidak selalu tentu juga. Jam tugasnya selalu pindah-pindah menurut pergantian shift. Para tenaga medis itu seperti memiliki kalender dan jamnya sendiri, yang tidak bisa ditentukan atau ditebak kapan waktu senganggangnya.

Aku segera menelepon balik, panggilanku langsung diangkat.

"Assalamualaikum, Lail," sapanya lebih dulu saat panggilan baru berlangsung.

"Waalaikumsalam, Lav, iya, kenapa?" tanyaku.

"Kamu masih tidur, ya? Aku sudah ada di depan rumah kamu, nih. Jadi, mau nitip barang, tidak?" katanya langsung pada intinya.

"Aku sudah bangun dari tadi, Lav. Aku jadi nitip barang, kok. Tunggu sebentar, ya. Aku tutup teleponnya dulu," jawabku cepat. Lavender mengiyakan, lalu panggilan terputus.

Aku menggenggam erat tiga bingkisan yang telah kusiapkan dari semalam. Setelah menarik napas, aku segera duduk di kursi roda, kemudian, memutarnya dengan hati-hati menuju gerbang, tempat Lavender menunggu.

Saat hendak keluar kamar, aku melihat Pak Nas lewat. "Pak, sebentar," panggilku, suaraku menggema di depan musala rumah, sepertinya Pak Nas baru selesai salat.

"Ya, Mbak Laila?" jawab Pak Nas, menatapku dengan ramah.

"Pak, tolong bukakan gerbang, ya. Lavender ada di depan, saya mau menemuinya untuk mengantar barang ini." Aku menunjukkan bingkisan yang kubawa pada Pak Nas, ia mengangguk mengerti.

"Tentu, Mbak. Tunggu sebentar, ya," sahutnya sebelum berjalan cepat ke gerbang.

Aku memutar roda kursi, karena menunggu di sini sepertinya bukan ide yang baik. Lagi pula, jarak gerbang ke kamarku cukup jauh.

Tak lama kemudian, kurang dari sepuluh menit, aku melihat Lavender berjalan mendekat. Wajahnya terlihat lelah, tetapi matanya berbinar ketika melihatku. "Lail!" serunya sambil segera memelukku. Aku membalas pelukannya. Lavender memang suka sekali memeluk orang terdekatnya.

"Hai, Lav! Ini barangnya untuk Pak Safran. Maaf ya, merepotkan."

"Tidak ada yang merepotkan, Lail." Lavender mengambil alih barang tersebut.

"Kalau yang ini buat kamu," kataku, tersenyum lebar sambil menyerahkan dua paper bag berisi oleh-oleh dari Jogja.

"Terima kasih, aku dapat juga? Ini bukan sebuah tip, kan, Lail?" candanya. Aku hanya menggeleng kepala. "Tapi, apa ini, Lail?" tanyanya agak bingung. Namun, Lavender tetap menerima bingkisan itu. Pak Nas masih berdiri di hadapan kami.

"Pak Nas, tolong bantu bawakan bingkisan ini ke mobilnya Lavender ya, Pak," kataku. Pak Nas segera mengambil bingkisan di tangan Lavender.

"Terima kasih, Pak," kata kami serempak. Kemudian, kami tertawa. Humorku dan Lavender memang receh. Pak Nas melenggang ke arah mobil Lavender.

Lavender sudah rapi sekali pagi ini. Dia terlihat selalu cantik dan stylish. Kami memang sama-sama punya selera feshion yang tinggi. Bahkan untuk tidur pun kami selalu memperhatikan outfit serta parfum yang nyaman kami pakai. Kalau diperhatikan, kami seperti sedang menjadi artis di dalam sinetron yang sedang memerankan perannya, bedanya kami tidak memakai makeup tebal saat tidur. Paling kami memakai skincare dan body care.

Hari ini, Lavender memakai kemeja garis-garis vertikal biru muda, celana kulot putih, dan pashmina senada dengan kemejanya. Kemejanya dilipat rapi di pergelangan lengan. Sementara aku masih memakai piyama cokelat tua.

"Itu juga ada bakpia kukus, buat kamu semua. Sekalian bawa saja ke rumah sakit, siapa tahu mereka juga ingin mencobanya. Untuk Tante La dan Om Syanan sudah kusiapkan. Nanti rencananya aku dan Mama mau ke rumahmu. Kemarin, kami belum sempat datang karena Mama harus ke kantor."

"Benar-benar kamu ya? Tapi terima kasih, Lail. Pasti enak sekali bakpianya. Memangnya siapa yang baru pulang dari Jogja?"

"Kakaknya Mama tadi malam datang ke sini. Anak mereka baru tunangan. Mereka mengundang kami satu bulan lagi untuk pernikahan anaknya itu," jelasku. Lavender hanya mengangguk, dia mulai makan tugu bakpia itu, tampaknya Lavender lebih fokus menikmati bakpia yang sudah masuk ke mulutnya itu.

"Lav, kamu dengar tidak?" tanyaku lagi. Lavender hanya mengangguk sambil mengangkat ibu jarinya.

Setelah mengunyah, Lavemder baru bisa mengatakan, "Enak sekali, Lail." Tiba-tiba matanya melotot. Aku hanya menggeleng kepala melihat tingkahnya.

"Ada apa, Lav, tersedak ya?" tanyaku panik. "Pak Nas, tolong ambilkan minum untuk Lavender," seruku cemas. Pak Nas buru-buru mengambilkan minum.

Tak lama kemudian, Pak Nas kembali membawa air minum untuk Lavender, lalu memberikan gelas itu padanya. Dengan cepat Lavender menegaknya hingga tandas.

"Lav, kamu baik-baik saja, kan?" tanyaku lagi. Lavender hanya mengangguk.

Lihat selengkapnya