Rekata Laila

FAKIHA
Chapter #20

20. Refleksi sebuah Harapan

Aku benar-benar merasa bosan selalu duduk di kursi roda, dan sekarang aku harus menerima kenyataan, aku akan duduk di kursi itu untuk seumur hidupku, demi menjalankan aktivitas normal. Siapa yang betah lama-lama duduk di benda mati itu? Aku sengaja memindahkan diri dengan bantuan kedua tanganku, beralih duduk di sofa, duduk diam tanpa melakukan apa pun. Ingin sekali aku menangisi nasib ini, tapi sudah terlalu bosan mengeluarkan cairan bening dari mataku.

Terdengar suara Seseorang menuruni anak tangga. Perkalah kepalaku menoleh, melihat Papa sedang menuruni anak tangga dan menghampiriku, lalu duduk di sebelahku. Hari ini Papa tidak ada jadwal praktik di rumah sakit, jadi akan mengisi waktu luangnya bersama Mama dan aku. Kami jarang memiliki waktu bersama, jadi ketika ada kesempatan seperti ini, kami benar-benar menyempatkannya sebaik mungkin.

Papa mengambil remote, lalu menyalakan televisi. Kemudian, Papa mengatakan sesuatu yang menarik. "Sekarang ini, televisi bukan lagi barang berharga yang diidamkan banyak orang, Lail," kata Papa, sambil mengganti saluran favoritnya. "Dulu, saat Papa kecil, televisi adalah barang paling berharga. Banyak orang menginginkannya, bahkan rela berkumpul di rumah tetangga hanya untuk menonton acara kesayangan mereka. Lalu zaman itu berganti menjadi zaman yang serba canggih, saat ini televisi hanya sebagai pemanis di ruang keluarga atau ruangan lain." Aku mengangguk, setuju dengan pernyataan Papa.

Setelah kuresapi, memang benar kenyataan itu. Orang-orang sudah mulai meninggalkan alat elektronik itu dan beralih ke barang elektronik lain, misalnya telepon genggam, yang setiap tahunnya keluar versi terbaru dengan harga melejit sesuai pasarnya.

"Sekarang zamannya ponsel canggih dengan berbagai seri terbaru yang muncul setiap tahun," kata Papa, berhenti sejenak. "Dulu, televisi juga begitu, menjadi alat elektronik luar biasa yang mampu menyatukan banyak orang untuk berkumpul dan menonton acara bersama."

"Lalu sekarang, kita hidup di zaman modern, orang-orang lebih memilih menonton di ponsel mereka secara pribadi. Alasannya, acara televisi saat ini dianggap monoton dan kurang menarik. Bahkan, banyak acara yang ditayangkan tidak begitu penting. Jika kita ingin menonton tayangan berkualitas, kita harus membayarnya terlebih dahulu."

"Akibatnya, hidup di zaman modern ini membuat orang cenderung malas berinteraksi, karena apa pun yang kita butuhkan kini ada dalam genggaman. Ini bukan kesalahan perangkatnya, tetapi pada penggunanya yang mungkin tidak mampu membagi waktu atau justru memilih bermalas-malasan dengan alat canggih tersebut."

"Tahukah kamu, Lail, setiap sesuatu di dunia ini selalu ada masanya. Kadang, saat kita berada dalam masa emas, kita tak pernah resah memikirkan kesulitan di luar sana. Namun, saat berada di masa suram, otak kita berpikir keras mencari cara untuk keluar dari masa itu." Aku menyandarkan kepala di bahu Papa. Rasanya tenang sekali. Papa mengusap lembut punggung tanganku dan mengatakan sesuatu lagi.

"Itu juga berlaku untukmu, Nak. Kamu selalu berpikir akan selamanya terjebak dalam kursi roda karena vonis yang sudah ditetapkan. Namun, kita lupa pada persentase kemungkinan kecil bahwa kakimu bisa sembuh total meski butuh waktu panjang. Ingatlah, Lail, semua hal di dunia ini ada masanya." Aku tidak sepenuhnya menolak pernyataan Papa, tetapi berharap pada sesuatu yang mustahil juga tidak selalu baik.

"Tapi, Pa, bukankah memberikan harapan yang tak akan pernah terjadi juga menyakitkan seperti vonis yang telah ditetapkan?" Papa mengangguk, menyetujui pendapatku.

"Itu benar. Tapi Papa tidak berniat memberikan harapan kosong. Meskipun banyak jurnal yang kami pelajari saat sekolah menunjukkan kemungkinan kakimu tidak sembuh, Papa masih percaya pada persentase kecil itu. Jangan menyerah untuk sembuh, Lail. Papa dan Mama selalu berusaha mencari solusi agar kamu bisa sembuh."

"Terima kasih, Pa. Maaf sudah banyak merepotkan."

"Tidak, Papa tidak pernah merasa direpotkan. Kamu adalah tanggung jawab Papa dan Mama, jadi tak ada kata ‘merepotkan,’" kata Papa tulus. "Semalam Mama dan Papa mendiskusikan tentang anak adopsi untuk menawarkan ini padamu. Itu baru diskusi dan perencanaan. Bagaimana pendapatmu? Apa Mama sudah membicarakan ini?"

Aku mengangguk. "Benar, tadi pagi Mama sempat membahasnya, tapi belum matang."

"Lalu, apa kamu sudah membuat keputusan?"

"Aku memutuskan untuk mengadopsi anak. Apa Papa dan Mama tidak keberatan?" Aku sudah memikirkan ini selama berada di rumahnya Lavender. Saat Mama dan Tante La bertemu, mereka seakan lupa pada orang di sekitarnya, jadi saat itu aku mencari beberapa penjelasan ilmiah tentang anak adopsi untuk meyakinkanku.

"Papa dan Mama sudah memikirkannya. Kami tidak keberatan, Lail. Asalkan nantinya, kamu benar-benar bertanggung jawab seumur hidupmu."

"Aku sudah memikirkannya, Pa."

"Bagus kalau begitu. Tapi Papa ingin mengajukan beberapa pertanyaan padamu tentang keputusanmu ini. Apakah masih ada keraguan atau memang sudah yakin dengan keputusanmu? Seperti yang kita tahu, memiliki anak merupakan tanggung jawab yang besar; kita harus siap akan hal itu." Aku mengangguk setuju dengan pendapat Papa.

"Jadi kamu sudah siap?" Aku mengangguk dengan yakin.

"Insyaallah, aku sudah siap, Pa."

"Baiklah, sekarang Papa ingin mengajukan pertanyaan awal untukmu, lalu pertanyaan lainnya akan menyusul setelah jawaban pertanyaan meyainkan Papa." Aku mengangguk, siap.

Aku menelan ludah, merasa gugup. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Papa melakukan sesi wawancara ini. Dari kecil, aku selalu diberi pertanyaan pendapat atau apa pun. Tapi kali ini rasanya benar-benar menegangkan.

Papa mulai melakukan sesi wawancara padaku. "Apa alasan utamamu ingin mengadopsi anak, Lail? Apakah ini keputusan yang sudah matang?"

"Alasan ini mungkin terlalu klise. Tapi aku sudah memikirkannya dengan matang. Alasan utamaku yang paling dasar adalah keinginan untuk memberi kehidupan yang lebih baik bagi anak yang membutuhkan, sambil mewujudkan mimpiku menjadi seorang ibu. Aku sudah mempertimbangkan ini dengan matang, memahami tanggung jawab besar yang menyertainya, dan siap memberikan komitmen seumur hidup untuk anak yang kuadopsi."

"Apakah kamu sudah siap secara emosional dan finansial untuk membesarkan anak?"

Lihat selengkapnya