Rekata Laila

FAKIHA
Chapter #21

21. Gift

Lalu, malam hari berikutnya, aku mendengar suara Lavender di luar perpustakaan. Anak itu sedang bercengkerama hangat dengan Mama. Sepertinya dia baru datang. Aku berada di dalam perpustakaan, membuka lembaran buku yang belum selesai kubaca. Aku mengambil pembatas buku, lalu menepikannya. Setelah itu, aku membawa buku tersebut keluar, memutar roda kursi rodaku dengan kedua tanganku.

“Lav…” sapaku dari kejauhan sambil tersenyum ramah. Lavender menghampiriku lalu memelukku. “Aku lihat wajahmu berbinar sekali. Sepertinya ada sesuatu yang membuat wajahmu tidak sekusut biasanya,” ujarku. Lavender hanya tersipu.

“Tante, terima kasih sudah mengizinkan aku menumpang mandi,” katanya.

“Sama-sama, Lav. Ayo makan dulu. Tante sudah memasak beberapa menu, ada kepiting saos Padang juga. Siapa tahu kamu mau mencicipinya,” balas Mama.

“Wah, kedengarannya enak sekali, Tante. Boleh kita makan sekarang?” tanyanya malu-malu. Aku dan Mama hanya tertawa kecil.

“Lebih baik sekarang, Lav, biar tidak terlalu malam,” jawab Mama.

Kami pun berjalan menuju ruang makan, dan Lavender mendorong kursi rodaku. Sejak tadi, aku memperhatikan Lavender, sepertinya ada yang ingin dia bicarakan. Perlahan, kami memasuki ruang makan yang cukup luas, dengan jendela-jendela besar berwarna hitam yang menghadap ke taman. Tanaman hijau menghiasi sudut-sudut ruangan, sementara lantai marmer yang berkilau dan lampu gantung elegan menggantung di atas meja panjang yang tertata sempurna. Meja makan dan kursi-kursi putih membuat ruangan terlihat lebih cerah.

“Hai, Lav. Apa kabar, Nak?” tanya Papa dengan ramah, yang sudah duduk di kursi di samping Mama. Lavender duduk di sampingku, dan aku duduk berhadapan dengan Papa, sementara Lavender, duduk berhadapan dengan Mama.

“Alhamdulillah, baik, Om,” jawabnya singkat. Kami bergantian mengambil nasi serta lauk yang sudah Mama sajikan di meja makan.

“Bagaimana dengan koasmu, Lav? Apa semuanya lancar?”

“Alhamdulillah, lancar, Om. Meski harus menghadapi puluhan pasien yang unik-unik,” Lavender menghela napas panjang.

Papa tersenyum kecil mendengarnya. Papa pernah melalui masa koas dalam stase psikiatri saat menempuh pendidikan sebagai dokter umum, jadi Papa mengerti situasi yang dihadapi Lavender. Wajah Lavender pun menggambarkan pengalaman yang dialaminya di rumah sakit jiwa sebagai bagian dari pendidikan profesinya tanpa harus menjelaskn secara detail.

“Jadi, setelah lulus dan mendapat gelar dokter, apakah kamu sudah punya gambaran tentang spesialisasi yang akan kamu ambil ke depannya, Lav?” tanya Mama santai.

Aku teringat ketika Lavender mengatakan padaku, “Keluargamu seperti dokter konsulen di rumah sakit kami, Lail. Aku tahu keluarga kita juga sama-sama dokter, tetapi entah kenapa, aku selalu merasa tegang saat berada di meja makanmu.” Aku tertawa kecil mendengarnya.

“Insya Allah, aku akan melanjutkan sebagai dokter anak saja, Om, Tante. Bunda juga merekomendasikan itu. Untuk sampai di posisi sekarang saja, rasanya ingin selalu sujud syukur, Tante. Rasanya lelah sekali,” jawab Lavender cukup dramatis. Kami hanya tertawa kecil menanggapinya.

“Begitulah, Lav, menjadi seorang dokter. Perjalanannya panjang. Jika kita tidak suka belajar, mungkin kita tidak cocok di bidang ini. Menjadi dokter berarti terus belajar sepanjang hidup. Itu harga yang harus di bayar selain waktu dan uang. Jika tidak cukup kuat, terkadang kita bisa mengalami tekanan yang sangat besar.” Lavender mengangguk-anggukkan kepala, menyimak nasihat Papa. Lavender juga merupakan pasien Mama yang tidak tercatat dalam data.

“Intinya, jangan terlalu dipikirkan, meskipun terkadang terus kepikiran. Seperti kata anak-anak zaman sekarang, jalani saja meskipun sambil menangis.”

“Itu beratnya, Om. Makanya, saat Bunda dan Ayah sudah menyerah menghadapi aku, akhirnya mereka menyerahkanku pada Tante Aster. Mereka berharap aku bisa menjadi lebih terarah atas arahanya, walaupun sekarang malah jadi merepotkan Tante Aster.” Lavender terlalu terang-terangan mengatakan itu, lalu menatap Mama dengan memohon. “Tante Aster, aku harap Tante tidak menyerah menghadapi pasien sepertiku. Harapanku pada dokter psikiatri hanya Tante Aster, tidak ada yang lain.”

“Tenang saja, Lav. Lagi pula, Tante tidak menganggapmu sebagai pasien Tante. Tante lebih menganggapmu sebagai anak Tante, itulah kenapa Tante sangat memperhatikan kamu, seperti Tante memperhatikan Lail. Itu juga yang dilakukan bundamu pada Lail.”

“Terima kasih banyak, Tante. Ngomong-ngomong, aroma kepiting saus Padangnya enak sekali. Boleh aku coba, Tante?” kata Lavender, tampak kelaparan. Mereka bertiga asyik berdiskusi, sampai lupa makanan yang sudah Mama sajikan di meja makan. Berbeda denganku dan Papa, kami sudah menikmatinya sepanjang obrolan berlangsung. Piring kami pun sudah bersih, hanya tersisa cangkang kepiting.

“Ya ampun… maaf, Lav, sampai lupa karena keasyikan mengobrol. Ayo, silakan makan. Kamu menginap di sini, Lav?”

“Tidak, Tante. Besok tidak ada shift pagi, jadi aku mau tidur sampai siang. Mumpung lagi datang bulan.”

“Ya sudah, tidak apa-apa. Tapi, ya ampun… itu makannya sedikit sekali, Lav. Tambahkan saja, jangan malu-malu. Nanti kalau masih lapar, tidurnya tidak nyenyak,” kata Mama dengan antusias. Aku hanya memperhatikan kehebohan Mama. Lalu, Lavender menambahkan sedikit nasi lagi, kemudian mereka melanjutkan makan.

Lima belas menit berlalu, makan malam selesai. Aku dan Lavender meninggalkan dapur dan menuju kamarku.

Di kamarku, kombinasi warna putih dan au-abu tua membuat Lavender sangat antusias bercerita. Lavender menceritakan bahwa Pak Safran sudah menerima kado itu.

Lihat selengkapnya