Sesuai janjiku beberapa hari lalu kepada Lavender untuk bertemu Pak Safran, hari ini aku datang ke rumah sakit tempat di mana Lavender bertugas sebagai koas, ditemani oleh Pak Nas. Aku menghubungi Lavender lebih dulu beberapa menit yang lalu. Dia bilang jam shiftnya mau habis sekitar satu jam lagi. Itu artinya, tepat ketika aku sudah sampai di sana, aku tidak mengganggunya.
Aku sengaja berangkat ke sana satu setengah jam lebih awal sebelum Lavender pulang. Biasanya, satu jam sebelum Magrib itu rawan sekali berhadapan dengan kemacetan, karena di mana-mana semua orang baru menyelesaikan aktivitas besarnya, seperti baru pulang bekerja atau hal lainnya.
Sekarang kami sedang dalam perjalanan. Mungkin sekitar setengah jam lagi, kami sampai di rumah sakit itu. Sepanjang perjalanan, aku hanya diam. Azan Magrib berkumandang. Aku minta Pak Nas untuk mencari masjid terdekat lebih dulu untuk melaksanakan salat Magrib lebih dulu. Aku sengaja membawa makanan dan beberapa baju yang kemarin baru aku beli di mal untuk Pak Nas dan juga Pak Safran.
"Sepuluh menit lagi kita sampai di masjid terdekat," kata Pak Nas memberikan informasi. Pak Nas ini sudah lama bekerja dengan Papa, bahkan sejak aku kecil. Beliaulah yang mengantar-jemputku ke sekolah atau ke tempat les. Anak Pak Nas, dua-duanya sudah menikah. Aku mengenal anak-anaknya dengan baik.
"Kadang aku kangen sekali menyetir sendiri, Pak. Tapi sekarang keadaannya berbeda; harus selalu bawa Pak Nas ke mana pun aku pergi," kataku sambil menyandarkan bahuku di kursi penumpang.
"Itu pasti, Mbak. Mbak Laila kan sukanya ke mana-mana selalu sendiri. Kita juga tidak tahu kalau kecelakaan itu akan menghampirimu, Mbak. Ngomong-ngomong, apa Mbak Laila mau melanjutkan kuliah lagi?" tanya Pak Nas menghindari keheningan.
"Insya Allah, Pak. Mungkin tahun depan baru bisa mendaftar. Ngomong-ngomong, Rara sudah punya anak atau belum?" tanyaku. Rara itu anak sulungnya Pak Nas.
"Alhamdulillah, sudah, Mbak. Setelah menunggu sampai tujuh tahun, akhirnya Rara mendapat amanah juga. Anaknya kembar non-identik, perempuan dan laki-laki. Sekarang sudah setahun."
"Masya Allah," kataku pelan. Pak Nas menghentikan mobil tepat di area parkir masjid.
Dengan cekatan, Pak Nas membantuku keluar dari mobil untuk berpindah ke kursi roda. Perlahan, ia mendorong kursi rodaku menuju tempat wudu. Setelah aku selesai berwudu, Pak Nas membantuku masuk ke masjid, lalu ia kembali ke tempat wudu untuk bersuci. Aku memilih shaf paling belakang agar tidak mengganggu jamaah lain yang khusyuk salat Magrib. Duduk di kursi roda, aku mulai melaksanakan salat dengan penuh ketenangan.
Sepuluh menit berlalu. Setelah selesai salat, aku sengaja memutar kursi rodaku untuk menunggu Pak Nas di teras masjid. Tak lama kemudian, kulihat ia keluar dari masjid sambil berbicara sebentar dengan seorang pria paruh baya seusianya. Setelah mereka berpisah, Pak Nas segera menghampiriku.
Kami pun kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan ke rumah sakit. Lampu-lampu kendaraan terus berlalu lalang di sepanjang jalan. Sesekali, aku melirik jam tangan, berharap kami tiba tepat waktu.
Malam mulai merayap ketika kami melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit. Lampu-lampu jalan mulai menyala, menambah suasana tenang yang menggantung di langit hampir masuk waktu Isya. Jalanan yang semula padat sedikit demi sedikit mulai longgar, meski masih ada beberapa kendaraan yang melaju di samping kami. Aku duduk tenang di kursi penumpang, memperhatikan lampu kota yang mulai berkilauan dari kejauhan, sementara pikiran mulai melayang pada pertemuan yang sebentar lagi terjadi.
Pak Nas tetap setia mengemudi dengan konsentrasi penuh, sesekali melirik ke arahku untuk memastikan aku baik-baik saja. Di sela-sela suara mesin mobil yang terdengar lembut, aku hanya bisa berdoa dalam hati semoga pertemuan ini berjalan lancar dan membawa kabar baik untuk semuanya.
Saat kami sampai di rumah sakit jiwa itu, suasana terasa tenang namun sedikit mencekam. Bangunan tua yang megah berdiri dengan lampu temaram di lorong-lorongnya, menyisakan bayangan panjang dan kesan misterius. Udara dingin menyusup, dan sayup-sayup terdengar suara azan Isya di kejauhan, menciptakan atmosfer yang syahdu dan penuh refleksi.
Kebetulan, Lavender sedang berdiri di luar gedung bersama ketiga temannya. Mereka terlihat berbincang santai di bawah lampu yang berkelap-kelip lemah, menambah kesan bahwa hari sudah mulai gelap. Aku tersenyum dan melambaikan tangan pada Lavender, yang segera menyapaku dengan antusias. Dia dan teman-temannya tampak baru saja menyelesaikan tugas, terlihat dari wajah mereka yang lelah tapi senang.
Lavender menghampiriku dan berkata dengan ceria, "Halo semuanya, ini Laila, sahabatku. Dan Lail, kenalin, mereka bertiga sahabatku juga yang sama-sama lagi koas di sini."
Aku tersenyum ramah dan mengangguk. Hanya Riana, teman perempuan Lavender, yang kujabat tangannya. Sementara dua laki-laki lainnya, aku hanya menempelkan tangan di dadaku sebagai tanda salam.
"Riana Oryza," ucapnya sambil tersenyum hangat, memperkenalkan diri.
"Laila Shazhara," jawabku dengan anggukan.
Lalu, seorang pria yang berdiri di samping Riana mengulurkan tangan sedikit sambil tersenyum, "Ali Asyraf," katanya percaya diri. Senyum lebarnya membuat matanya terlihat hilang sejenak, seakan seluruh perhatian tertuju padanya.
Aku tersenyum dan membalas, "Laila."
"Aku Amar Ahmar," pria kedua menyapaku dengan suara lembut.
Aku tersenyum lagi. "Laila," kataku masih memperkenalkan diri. "Maaf ya, kedatanganku ini mengganggu jam tugas kalian?" tanyaku sambil melirik Lavender dengan sedikit cemas.
Ali tertawa kecil dan menggeleng. "Ah, tidak sama sekali. Shift kami sudah selesai, kok." Dia memandangku dengan penasaran. "Maaf, Laila, apa benar kamu anaknya Profesor Shazhar?" tanyanya, matanya membelalak sedikit.
Aku tersenyum sambil mengangguk. "Iya, benar."