Aku sudah terjun ke dunia aktivisme sejak awal memasuki kuliah. Aktivisme ini menjadi salah satu bagian paling penting dalam hidupku, dan aku sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari komunitas itu. Aku juga bersyukur memiliki sahabat-sahabat dari kampus, seperti Aditya, Iris, dan Flower, yang sejalan dengan visi serta tujuanku. Kebetulan, komunikasi kami pun terjalin kembali dengan baik setelah sekian lama lost contact.
Kami semua satu jurusan di Psikologi, dan meskipun aku telah lulus sekitar satu setengah tahun lalu, aku sangat bangga mendengar bahwa mereka sedang melanjutkan studi di program Profesi Psikologi S2.
Sementara itu, aku belum sempat melanjutkan program profesi psikologiku karena masih dalam tahap pemulihan akibat kecelakaan besar yang hampir merusak tubuhku total. Bagiku, aktivisme bukan hanya sekadar memperjuangkan hak-hak orang lain, tetapi juga tentang memahami dan mendalami psikologi manusia—sesuatu yang sangat penting dalam dunia penuh tantangan ini.
Aditya, Iris, dan Flower tetap sama seperti dulu, selalu mendukungku tanpa pamrih, selalu antusias untuk melakukan banyak kegiatan. Mereka berencana untuk terus melanjutkan aktivitas sebagai aktivis setelah lulus dari program mereka, mengisi waktu luang untuk membantu orang lain.
Mereka ingin memperjuangkan isu-isu kesehatan mental dan kesetaraan akses pendidikan, dengan harapan dapat membantu lebih banyak orang. Tawaran untuk bergabung kembali dalam aktivitas mereka menggugah semangatku, meskipun aku masih merasa ragu dengan kondisiku saat ini.
Butuh waktu dua hari untuk meyakinkan diri sendiri dan mempertimbangkan tawaran yang Aditya berikan dua hari lalu itu. Aku telah berdiskusi dengan Mama dan Papa mengenai hal ini, dan mereka memberikan dukungan penuh. Meskipun fisikku belum sepenuhnya pulih, aku merasa terdorong untuk kembali berkontribusi dalam dunia aktivisme.
Tadi siang, aku sengaja menghubungi ketiga sahabatku melalui pesan WhatsApp. Mereka membalas bahwa mereka sedang sibuk dan akan membicarakan hal ini nanti malam.
Sekitar pukul sembilan malam, aku menerima notifikasi pesan dari mereka di grup WhatsApp, menyatakan bahwa mereka siap membahas hal itu. Semua kamera panggilan WhatsApp sudah dinyalakan, memperlihatkan wajah mereka yang antusias, menunggu kabar dariku.
"Hai, Lail," Iris menyapaku dengan antusias saat panggilan video baru dimulai. Flower dan Aditya menyusul menyapaku. Aku membalas sapaan mereka dengan semangat yang sama.
"Jadi, apakah kamu sudah membuat keputusan? Aku harap kami mendengar keputusan yang memuaskan," kata Iris langsung ke inti percakapan dengan nada penuh harap. Aku menghela napas, memasang wajah seolah ragu. Ekspresi mereka pun langsung berubah, seolah sudah bersiap menerima kekecewaan.
"Jadi, kamu memutuskan untuk tidak kembali ke komunitas aktivis kita, Lail? Sayang sekali," tanya Flower, berusaha memastikan dengan nada tenang.
Aku mengangguk pelan sebelum akhirnya mengungkapkan keputusanku yang sebenarnya, "Tidak. Aku memutuskan untuk kembali bergabung dalam komunitas aktivis kita." Wajah mereka yang tadinya murung berubah cerah seketika. Aku tersenyum, meyakinkan mereka.
"Oh ya ampun, Lail… kamu hampir membuat kami kecewa," kata Iris sambil tertawa lega.
"Lail, selamat datang kembali! Dua hari lagi, kami akan berkumpul di kantor lembaga swadaya masyarakat. Aku harap kamu bisa ikut. Kalau mau, aku bisa menjemputmu," tawar Aditya dengan tulus.
"Terima kasih banyak, Aditya, Iris, dan Flower. Aku sangat senang bisa bergabung lagi. Tapi sepertinya, aku akan berangkat sendiri bersama Pak Nas," jawabku sambil menolak tawaran Aditya dengan halus. Aku tidak ingin merepotkan siapa pun lagi.
Namun, tiba-tiba Flower merajuk. "Aditya, kalau kamu mau jemput Lail, kamu juga harus jemput kami berdua. Itu tidak adil ya kalau hanya menjemput Lail saja." Aditya hanya tertawa kecil melihat tingkah Flower yang begitu manja. Kami sudah terbiasa dengan hal seperti ini.
Aditya hanya menyilangkan tangan di dada dengan santai, sementara aku tersenyum melihat interaksi mereka yang seolah tak pernah berubah. Aditya selalu menanggapi Flower dengan santai, sementara Flower sering kali kesal dengan sikap santainya itu.
"Fla, rumah kita beda arah, jadi aku tidak bisa menjemputmu. Maaf ya," kata Aditya ringan. Dua sahabat ini seperti Tom and Jerry yang selalu berdebat.
"Alasan saja! Jarak rumahmu ke rumah Lail malah lebih jauh. Kalau mau menjemputku lebih dulu, itu lebih dekat!" bantah Flower dengan ekspresi kesal. Aku dan Iris hanya menonton, menikmati perdebatan mereka. Iris bahkan dengan santainya memakan kuaci sambil mendengarkan.
"Fla, kamu punya sopir pribadi. Kenapa tidak berangkat dengan Pak Sam saja?"
"Diam kamu! Lail juga punya sopir pribadi. Alasan saja kamu," sergah Flower dengan nada seperti orang cemburu. Dia selalu tidak mau mengalah. "Bilang saja kalau kamu sebenarnya suka sama Lail, Aditya! Kamu bisa mengakuinya sekarang," katanya sambil melirikku. Aku langsung terkejut.
Ini tidak mungkin serius, kan? Mereka hanya bercanda, pikirku. Melihat respons Iris yang biasa saja, aku menjadi yakin bahwa yang diucapkan Flower hanyalah candaan mereka. Karena jika terjadi sesuatu seperti yang diucapkan Flower, Iris pasti akan bereaksi lebih berlebihan.
"Apa maksudnya, Aditya? Flower hanya bercanda, kan?" tanyaku memastikan. Aku di sini jadi merasa aneh. Aditya malah tertawa santai.
"Kamu percaya Flower kalau aku suka padamu, Lail?" tanya Aditya sambil tersenyum. Aku terdiam, tidak tahu harus merespons apa.
"Lail, ada hal yang tidak kamu ketahui. Tapi kami bertiga mengetahuinya," kata Flower tiba-tiba, membuatku penasaran akan maksudnya.
"Apa maksudnya? Kalian hanya sedang bercanda, kan?" tanyaku memastikan kepada mereka berdua. Namun, tiba-tiba, semua panggilan malah keluar. Mereka memutuskan sambungan panggilan video kami secara bersamaan, meninggalkanku sendirian dalam kebingungan.
*****
Keesokan harinya, aku sudah bersiap dengan memakai trench coat warna putih tulang yang dipadukan dengan dress hitam, sepatu sneakers putih, dan pashmina senada dengan dress yang kupakai. Aku juga membawa berkas-berkas yang akan kubawa ke kantor LSM. Sedari tadi, aku duduk di kursi roda sambil merapikan pashmina yang kupakai di depan cermin. Mama masuk ke kamarku; wajahnya tampak cerah, dan ia tersenyum lembut.
"Lail, sudah siap belum? Aditya sudah di ruang tamu menunggumu," katanya lembut. "Aditya ke sini, kenapa kamu tidak bilang sama Mama, Lail? Sudah lama sekali Mama tidak melihat anak itu. Kalian janjian berangkat bareng?" tanyanya dengan nada ingin tahu.