Rekata Laila

FAKIHA
Chapter #25

25. Bukan Waktu Yang Tepat

Kami tiba di kantor LSM setelah menempuh jarak sekitar tiga puluh menit. Aditya turun lebih dulu membantuku dengan melepas jaketnya untuk melapisi tangannya agar tidak bersentuhan langsung dengan kulitku. Lalu, dia membantuku ke kursi roda. Aku mengucapkan terima kasih atas bantuannya. Kami memakai pakaian yang santai. Aditya membantu mendorong kursi roda yang aku pakai.

Kami berjalan masuk ke bangunan itu, sebuah bangunan sederhana yang sudah lama tidak kunjungi. Bangunan ini penuh dengan aktivitas. Di dalam, para staf tampak sibuk mengurus dokumen dan berdiskusi mengenai program-program yang akan dijalankan. Suasana ruangan terasa dinamis, dengan poster-poster tentang hak asasi manusia dan lingkungan terpajang di dinding. Kami disambut oleh seorang staf yang ramah, yang langsung mengajak kami menuju ruang pertemuan untuk memulai diskusi.

Saat aku masuk ke ruang resepsionis, mereka semua benar-benar mengejutkanku. Flower membawa balon warna-warni untuk menyambutku, Iris membawa buket bunga dan kemudian mengatakan, "Surprise," kata mereka kompak. Aku tersenyum terharu dengan penyambutan itu.

Aku pikir dua anak ini akan terlambat datang karena itu adalah kebiasaan buruknya. Sepertinya mereka semua sengaja melakukan surprise ini dengan cara Aditya menjemputku. Seorang pria yang tampak asing dalam ingatanku berjalan menghampiriku. Dia membawa buket bunga ke arahku, lalu saat berada tepat di hadapanku, pria itu melutut, menatapku lekat-lekat. Apa maksudnya pria ini melutut padaku? Ini tidak seperti di drama romantis, kan?

"Selamat datang kembali di LSM, Lail." Aku mengerutkan dahi saat dia menyebut namaku, Lail. Memangnya pria ini siapa, akrab sekali memanggilku Lail, padahal panggilan itu hanya untuk orang terdekatku saja. Sisanya, mereka memanggilku Laila.

"Apa kamu tidak ingat aku, Lail?" Aku menatap Aditya seolah bertanya, siapa pria ini, kenapa dia memanggilku Lail. Mungkin seperti itukah kalimat yang aku ajukan pada Aditya tanpa mengatakannya.

"Ya ampun... Lail, jadi benar, kamu tidak mengingatku? Sepertinya satu setengah tahun membuat dirimu melupakanku, Lail."

"Memangnya Anda siapa? Apa aku mengenalnya?" Pria di depanku mendengus kesal. Otakku benar-benar buntu, tidak bisa mengingat apa pun tentang pria ini. Alis tebal yang rapi, garis wajah yang tegas, dan senyuman yang manis. Memangnya dia siapa? Semua orang tertawa kecil.

"Durhaka sekali kamu, Lail. Aku Selim Arashar, masih tidak ingat?" Saat itu aku menutup mulutku tidak percaya.

"Benarkah? Ini Kak Selim?" Aku menatap semua orang. Iris dan Flower mengangguk, mengiyakan.

"Maaf, pangling sekali, Kak. Sampai aku tidak mengenalimu, Kak."

"Apakah setampan itu sampai kamu tidak mengenaliku, Lail?" Dia menjawabnya dengan tertawa, begitu juga dengan yang lainnya.

"Apa Kakak melakukan operasi plastik?" tanyaku. Entah kenapa kalimat itu yang keluar sebagai pertanyaan. Kak Selim mendengus lagi.

"Sembarang sekali kamu, Lail. Itu haram..." katanya dengan nada jenaka. Kami semua tertawa lagi.

"Aku melakukan diet dari dua tahun lalu, hanya saja enam bulan pertama hasilnya tidak begitu terlihat. Awalnya aku ingin menyerah, tapi saat mengingat tujuan awalku ingin sehat, maka aku kembali bersemangat melakukan diet sekaligus memperkuat masa otot di gym. Sekarang, hasilnya sangat memuaskan. Bonusnya, aku lebih mempertimbangkan apa saja yang aku konsumsi dan memilih gaya hidup yang lebih sehat."

"Itu perubahan baik yang sangat bagus, Kak. Aku harap, Kakak bisa mempertahankan hal ini seumur hidupmu, Kak," aku memujinya dengan tulus.

Aku mengingatnya dengan baik saat dua tahun lalu, Kak Selim mengatakan ingin diet karena berat badannya mencapai sembilan puluh lima kilo, itu juga sampai mengalami gejala diabetes. Kak Selim selalu menghubungiku untuk konsultasi, padahal aku bukan dokter ahli gizi. Tapi pria itu sangat mempercayaiku. Lalu aku merekomendasikan dokter ahli gizi atas arahan Mama.

Pada satu minggu awal, Kak Selim masih semangat dengan aksi dietnya itu. Dia melakukan diet sehat yang dibarengi dengan olahraga angkat beban dan kardio. Namun, saat mulai memasuki dua bulan pertama, dia hampir menyerah.

Saat itu kami sedang jam istirahat, berkumpul di ruangan dengan makan di meja masing-masing. "Lail, jujur saja, aku tersiksa dengan dietku ini. Sampai kapan aku akan diet seperti ini terus? Menu makanannya banyak yang hambar lagi. Oh lihatlah... dua temanmu itu, Lail, suka sekali menggodaku dengan banyak makanan di meja kerja. Imanku yang tipis semakin terkikis, Lail." Aku menoleh pada Iris dan Flower, menatapnya dengan tajam.

Dua anak itu benar-benar keterlaluan. Mereka makan dengan porsi yang lumayan mengenyangkan perut sampai dua kali jam makan. Bahkan mereka memakan makanan yang banyak mengandung glukosa dari tepung dan juga lemak.

"Fla, Iris, bisakah kalian memberikan rasa toleransi kalian pada orang yang sedang berjuang melakukan diet? Memangnya kalian tidak kasihan dengan kakak kita ini? Dia hampir mati kelaparan melihat kalian makan sebanyak itu?" Mereka berdua malah tertawa kecil.

Lalu dengan kurang ajarnya, Flower mengatakan dengan santai, "Maaf Kak Selim, ini enak sekali. Kalau Kak Selim mau mencoba sedikit, sepertinya tidak akan membuat Kakak mati penasaran. Lagi pula, mencicipi sedikit tidak akan membuat berat badanmu naik sampai lima kilo."

Aku yang naik pitam, menatapnya dengan tajam. Semua usaha Kak Selim selama satu bulan ini akan hancur gara-gara Flower. "Fla..." peringatku.

"Maaf Lail, aku tidak bermaksud menggodanya. Tapi serius, ini enak sekali." Flower malah menyuap churros dengan saus coklat ke dalam mulutku.

"Tidak baik menolak makanan, Lail. Ada banyak orang di luar sana yang kelaparan. Jadi nikmatilah makanan yang menjadi rezeki kamu." Ya ampun, anak kerasukan apa sih, menyebalkan sekali.

"Kunyah saja, Lail, itu sangat enak. Lagian, kamu pikir setelah churrosnya masuk ke dalam mulutmu, dia bisa mengunyah sendiri?" Aditya malah menertawakanku.

Lihat selengkapnya