Aku tahu, setiap aturan harus ditaati dan tak boleh dilanggar, tak ada celah untuk mencari jalan pintas demi keinginan pribadi. Terkadang, mengikuti aturan adalah harga kecil yang harus dibayar demi ketenangan hati.
Namun, entah kenapa rasanya sangat menyakitkan. Usiaku juga belum cukup untuk mengadopsi anak, mungkin aku harus menunggu sampai dua tahun lagi. Selain itu, aku juga belum menikah lagi, dan aku tidak mungkin memanipulasi keadaan demi memperlancar apa yang menjadi keinginanku.
Rasanya sakit sekali, bukan hanya karena usia, status pernikahan, atau keuangan yang menjadi kendala penolakan itu. Hal yang paling melukai hatiku adalah penolakan pihak panti asuhan karena aku cacat. Mereka meragukan kemampuan dan ketulusan niatku, seolah cacat fisik ini menutup semua pintu harapan. Itulah yang benar-benar membuatku sakit hati.
Kalimat penolakan itu terus terngiang di kepalaku, melukai lebih dalam setiap kali aku mengingatnya. Aku hanya bisa duduk di kursi roda memandangi langit yang kelabu. Langit itu warna tidak secantik biasanya, sama seperti isi pikiranku saat ini. Aku datang bersama Mama ke panti asuhan atas panggilan dari pihak panti asuhan itu agar kami segera datang ke sana.
Lalu kami bertemu dengan seorang berusia yang menjabat sebagai kepala yayasan panti asuhan, awalnya wanita berusia itu menyambut kami dengan senyuman dan keramahan. Kami duduk berhadapan dengannya, mereka juga memberikan jamuan minuman dan makanan untuk kami.
Namun, saat aku mengutarakan niatku untuk mengadopsi seorang bayi yang katanya membutuhkan orang tua, ekspresinya perlahan berubah, dan kata-kata yang keluar berikutnya adalah belati bagi hatiku.
“Saya minta maaf, tetapi saya rasa kami harus membatalkan penawaran adopsi ini,” ucapnya dingin. “Dengan melihat kondisi Bu Laila saat ini, saya ragu apakah Anda akan mampu memberikan kasih sayang dan perawatan yang dibutuhkan oleh bayi itu."
"Kami takut, jika nanti anak itu tersebut tumbuh besar, ia mungkin tidak akan menyukai Bu Laila… karena keadaan fisiknya. Atau nantinya ketika anak itu sudah besar diejek oleh teman-temannya karena memiliki ibu sepertinya. Saya tidak mau terjadi, bukankah kita harus menjaga mental anak itu dengan baik?” katanya, sambil melirik kedua kakiku dengan pandangan yang tak lagi ramah.
Mama yang berdiri di sampingku tersentak, tapi suaranya tetap tenang saat menjawab. “Terima kasih atas kecemasan Anda dengan sesuatu yang belum terjadi. Menjaga mental semua orang memang baik, tapi merendahkan orang yang Anda lihat sebagai kecacatan juga tidak dibenarkan."
"Saya sangat menghargai keputusan Anda sebagai kepala yayasan. Namun, sekalipun Anda meragukan kemampuan anak saya untuk mengasuh bayi itu dengan baik, sepertinya Anda tidak perlu merendahkan anak saya seperti itu. Cacat fisik bukan berarti ia tidak memiliki hati dan kemampuan untuk mencintai serta merawat anak tersebut,” ujar Mama, dengan ketenangan yang tetap terlihat elegan meski penuh luka.
“Kalau begitu, terima kasih atas undangan Anda karena telah menghubungi kami. Kalau begitu kami permisi,” kata Mama, sebelum mendorong kursi rodaku dan meninggalkan ruangan itu tanpa menunggu jawaban lagi dari kepala yayasan.
Aku tahu Mama sangat kecewa. Kalimat yang seharusnya disampaikan dengan sopan oleh kepala yayasan justru meninggalkan luka mendalam bagi seorang ibu, yang harus menerima kenyataan bahwa kondisi fisik anaknya yang tidak sempurna inu dijadikan sebagai alasan untuk merendahkannya.
"Lail..." aku menoleh ke sumber suara itu. Mama sudah berada lantai dua, entah sejak kapan Mama sudah sampai di sini. Perasaan sedari tadi aku sendirian.
"Iya Ma?"
"Tolong jangan dipikirkan lagi perkataan orang itu. "Ini hanya menyakitkan, Lail." Mama menghela napas, lalu duduk di sofa di sebelahku. Kami berada di ruang santai di lantai atas, di mana dinding ruangan ini didominasi kaca besar yang tebal, sengaja dipasang agar bisa menikmati pemandangan langit dengan jelas dan indah.
"Mungkin jalan untuk mengadopsi anak lewat panti asuhan itu bukanlah rezekimu. Mungkin saja Allah sudah menyiapkan sesuatu yang lebih baik dari ini. Kadang kita merasa kecewa atas sesuatu yang tidak sesuai harapan, tetapi rasa kecewa itu sebenarnya adalah bagian dari kebaikan yang belum kita ketahui," jelas Mama dengan bijak. Mama selalu bisa menenangkanku apa pun kondisinya.
Aku menyandarkan kepalaku di bahu Mama. Lalu mengusap rambut kepalaku yang tidak tertutup hijab.
"Apa Mama sudah beritahu Papa tentang ini?"
"Sudah, baru saja Mama menjelaskan ini pada Papamu."
"Apa yang Papa katakan?"
"Papa hanya bilang, mungkin kita bisa mencoba di panti asuhan yang lain, siapa tahu rezekinya di tempat lain."
Aku menarik napas dalam, mencoba meredakan kekosongan dan luka di hatinya. Kata-kata Mama selalu menghangatkan, meski untuk kali ini, rasanya butuh waktu untuk menerima kenyataan ini.
“Apa Lail ingat tentang cerita menarik yang pernah dialami oleh Sayyida Nafisa?” aku menggeleng, sepertinya aku tidak benar-benar mengingatnya dengan lengkap.
"Siapa itu Sayyida Nafisa, Ma?'
Mama tersenyum, menyadari arah pikiranku. Lalu Mama mulai mengingatkan cerita itu padaku. “Sayyida Nafisa merupakan seorang tokoh muslimah yang terkenal sepenjuru negeri Islam, yang memiliki kisah hampir serupa denganmu, Lail." Aku diam. Aku masih mencoba mengingat cerita itu. Rasanya buntu, tidak bisa mengingat sesuatu itu.