Di luar ruang operasi yang dingin dan steril, kami menunggu dengan penuh harap dan cemas cukup lama. Aku terus berdoa dalam hati untuk keselamatan mereka berdua, berharap keajaiban akan terjadi.
Lalu, sekelompok dokter dan tim medis keluar dengan langkah cepat yang penuh ketegangan. Wajah mereka menampilkan ekspresi campur aduk—antara lega dan duka yang mendalam. Papa, dengan sorot mata penuh keharuan dan kesedihan, menggendong bayi yang baru lahir, sosok kecil yang diam dan tampak tak berdaya di pelukan.
Aku mengamati momen itu dengan penuh rasa ingin tahu dan ketakutan; hatiku bergetar. “Papa,” tanyaku lirih, tak berani berharap banyak karena rasa takut menggerogoti pikiranku. “Bu Seana… bagaimana keadaannya? Apakah dia baik-baik saja?”
Dengan raut wajah yang muram dan penuh beban, Papa menjawab, “Seana… dia tidak bisa diselamatkan. Setelah operasi, kondisinya sangat kritis. Dia… dia telah meninggal.”
Duniaku seakan runtuh mendengar kata-kata itu yang mengguncang jiwa. Satu jam lalu, aku berjanji padanya dengan segenap hati, aku berjanji untuk menjaga putranya yang baru lahir. Namun, di dalam harapan itu, aku berharap Seana akan bangun setelah putranya lahir, lalu melihat putranya dengan gembira. Namun takdir berkata lain dan mengubah segalanya dengan cara yang tak terduga.
Saat itu juga, air mataku mengalir deras, membasahi seluruh pipiku yang penuh kesedihan. Tidak. Bukan ini yang aku mau. Aku memang menginginkan seorang anak, tapi bukan dengan cara yang begitu memilukan ini. Aku tidak ingin kebahagiaan ini dibayar dengan kehilangan yang begitu besar dan menyakitkan. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku, berusaha menahan isak tangis. Mama mengusap bahuku lembut untuk menenangkanku, tetapi rasa sakit itu tetap menyelimuti hatiku.
Bayi itu, yang seharusnya menjadi simbol harapan dan cinta yang tulus, kini terasa seperti bayangan dari kesedihan yang tak terhindarkan. Dalam pelukan Papa, ia tampak tak bersalah, tetapi hatiku dipenuhi oleh rasa kehilangan dan kekecewaan yang mendalam. Seharusnya ada senyum dan kebahagiaan, bukan rasa duka yang menyelimuti saat-saat berharga ini.
Lalu, mereka semua mengurus jenazah Seana atas perintah Papa, dengan penuh rasa hormat. Sekarang kami berada di kamar perawatan pasca persalinan.
Bayi itu masih diam, tidak menangis, apalagi bergerak, seakan mengerti betapa tragisnya keadaan ini. Papa dengan lembut mengazaninya lebih dulu, suaranya bergetar penuh perasaan. Lalu, semuanya kembali ke tempat masing-masing, menjalankan tugas masing-masing dalam kesedihan ini. Bayi itu segera dibersihkan dengan hati-hati oleh para perawat.
Setelah dibersihkan, dengan penuh ketulusan dan hati-hati, Papa memberikan bayi itu padaku. Aku menatapnya dengan sendu, penuh rasa kehilangan dan harapan yang tak terungkapkan. Air mataku menetes tak tertahankan, mengalir deras di wajahku. Aku menggendongnya dengan hati-hati, mencoba merasakan kehadiran hidup di dalam pelukanku.
Inikah cara-Mu mengabulkan doa-doaku? Kenapa harus dengan cara ini? Kenapa harus kehilangan yang begitu menyakitkan sebagai harga yang harus bayi ini bayar? Aku tidak kuat melihatnya, tidak kuat menahan semua rasa ini yang mengaduk-aduk hatiku. Di saat yang penuh kesedihan ini, aku merasa terjebak antara dua dunia—satu dipenuhi harapan akan cinta dan kasih sayang, dan satu lagi ditinggali oleh duka yang mendalam dan tak terhapuskan.
Aku tersenyum sambil meneteskan air mata ketika bayi merah itu berada dalam pelukanku yang hangat. Aku mengusap punggungnya dengan lembut, berusaha menyalurkan seluruh kasih sayang yang mengalir dalam diriku. Bayi ini tidak bergerak sedikit pun, seolah ia merasakan kesedihan yang menyelimuti kami.
"Kamu tahu, Nak," kataku dengan suara bergetar, "beberapa jam lalu ibumu sudah berjuang cukup berat demi membuatmu lahir ke dunia ini. Dia sangat kuat dan hebat, sama seperti dirimu. Ibumu menahan rasa sakit yang luar biasa akibat kecelakaan itu demi kamu bisa lahir ke dunia ini. Namun, saat terakhirnya, ibumu tidak bisa melihatmu lahir di dunia ini."
Aku menunggu sejenak, berharap ada reaksi darinya, meskipun aku tahu bayi ini masih terlalu kecil untuk mengerti. "Apa kamu hanya ingin diam saja?" tanyaku lagi, suaraku penuh harapan dan kerinduan. "Aku yakin kamu pasti seorang pejuang hebat seperti ibumu. Aku mohon... bukalah matamu, lalu menangislah dengan kencang di pelukanku ini. Berikanlah tanda bahwa kamu mendengarkan semua yang aku katakan."
"Lalu saat kamu membuka matamu," sambungku dengan penuh pengharapan, "maka akulah yang akan melanjutkan perjuangan ibumu untuk membesarkanmu dengan cinta dan kasih sayang yang tulus. Aku mohon... bukalah matamu, Nak, Mama mohon... biarkan aku melihat keindahan dunia ini melalui matamu."
Air mataku tak tertahankan, mengalir deras di pipiku. Dalam hati, aku berdoa agar sang bayi merasakan cintaku, agar ia tahu betapa besar harapan dan doa yang aku panjatkan untuknya. Setiap detik terasa berharga, dan di dalam pelukanku, aku berjanji untuk menjadi sosok ibu yang selalu melindungi dan mencintainya, apa pun yang terjadi.
Lalu, sekitar lima menit kemudian, bayi ini mengejutkanku dengan menangis cukup keras. Aku tersenyum terharu. Akhirnya, dia meresponsku. Mama dan Papa menghampiriku dan menatapku dengan terharu.
Aku menggendongnya dengan benar, lalu bayi ini berhenti menangis setelah itu tersenyum, sekalipun matanya masih menutup. Aku berdecap kecil. "Hei... akhirnya kamu meresponsku, Nak. Sekarang, kita akan berjuang bersama. Kamu adalah anakku, aku ibumu. Kamu bisa panggil aku Mama," ucapku dengan bahagia. Selama bercakap-cakap kecil, Papa mengurus semuanya dari kematian Bu Seana dan bayi ini. Bayi ini harus menginap satu malam untuk perawatan medis.
******
Keesokan harinya, kami pulang dari rumah sakit setelah memakamkan Seana dan suaminya di alamat tempat tinggalnya. Sambil menggenggam bayi yang tampan di gendonganku, aku berharap bisa menjaga dan mengasuhnya dengan baik.
Papa telah mengurus semua surat adopsi untuk bayi dari kemarin, yang melibatkan prosedur hukum dan dokumen penting. Di antaranya adalah surat kematian orang tua kandung sebagai bukti resmi, surat wasiat yang menunjuk calon orang tua angkat berupa rekaman video saat Seana mengikrarkan wasiatnya padaku, dan akta kelahiran anak. Karena Seana dan suaminya sudah tidak memiliki orang tua atau saudara kandung, kami tidak memerlukan izin persetujuan proses adopsi dari mereka.