Hidupku dipenuhi dengan kejutan yang tak terduga. Waktu berlalu begitu cepat, dan aku menjalani setiap detik dengan berbagai pengalaman yang tidak pernah aku rencanakan. Inilah takdirku. Selain Mama dan Papa yang menyaksikan seluruh perjalanan hidupku ini, Azhar juga ikut serta menjadi saksi sekaligus obat dari seluruh lukaku.
Saat aku menunggu keputusan pengadilan tentang pengesahan Azhar sebagai anak angkatku, itu menjadi salah satu momen paling menegangkan sekaligus membahagiakan dalam hidupku. Di samping itu, keberadaan Mama dan Papa yang selalu mendampingiku merupakan hal yang tidak bisa aku ucapkan hanya dengan rasa terima kasih.
Aku juga berhasil melakukan induksi laktasi, meskipun hasilnya tidak sempurna seperti ibu menyusui lainnya, karena tidak sepenuhnya alami. Namun, semua usaha itu terbayar, kini Azhar bisa kusebut sebagai mahramku dari air susu.
Aku mencatat setiap detail perjalanan ini dalam buku yang kuterbitkan setahun lalu, bertepatan dengan ulang tahun pertama Azhar. Perkembangannya begitu pesat: pada usia sebelas bulan, dia sudah aktif berbicara, dan pada usia dua belas bulan, sudah mulai berjalan. Setiap momen berharga kutangkap dalam foto, yang kemudian kutempatkan dalam bingkai di kamarnya dan di kamarku.
Namun, kedua orang tuaku tidak lagi mengizinkanku tinggal sendiri bersama Azhar. Mereka berpendapat bahwa pindah rumah akan menjadi kurang seru jika kami tidak melakukannya bersama-sama. Akhirnya, aku pun mengikuti keinginan mereka. Sebenarnya, Mama masih memiliki trauma yang begitu besar atas kecelakaan yang aku alami dulu. Di tengah semua ini, aku berhasil menyelesaikan pendidikan profesi psikologku.
Kini, aku merasa sangat bersyukur bisa menyaksikan perkembangan Azhar di masa emasnya. Aku juga berhasil menggelar pameran lukisan sekaligus mendirikan gedung untuk pameran itu bernama Rekata Laila, yang aku selenggarakan ketika Azhar baru berusia tiga bulan.
Rekata Laila merupakan sebuah gambaran dari perjalanan perjuanganku yang menjadi pahlawan dari kisahku sendiri. Mereka menyebutku dengan wanita kursi roda, itu karena aku selalu menggunakan kursi roda kemana pun aku pergi.
Lily Shine juga masih berdiri tegap dan berkembang pesat. Aku terus berkontribusi penuh dalam yayasan itu sekaligus sebagai aktivis LSM. Beberapa kali, Azhar mengunjungi kedua tempat itu, dan aku mengenalkan lingkungan itu dengan baik.
Akun YouTubeku semakin banyak diminati oleh semua kalangan, bahkan ditonton oleh jutaan orang, bukan hanya di negeri sendiri, tetapi juga internasional. Kini Azhar sudah memasuki usia tujuh tahun. Aku tersenyum menutup laptop, merasa semua lembaran kelam itu sudah habis. Namun, hari ini aku merasa perlu untuk memberitahu Azhar bahwa aku bukan ibu kandungnya.
Sebenarnya, aku takut saat mengatakan hal itu, tetapi aku tidak ingin dia mendengarnya dari orang lain, karena itu akan lebih menyakitkan. Aku khawatir jika nantinya Azhar akan meninggalkanku. Mama menghampiri Azhar di taman agar anak itu menemuiku.
"Mungkin ini saat yang tepat untuk mengatakannya. Lagi pula, Azhar itu sangat cerdas sekaligus bijaksana. Tapi Mama pikir, jangan sampai Azhar mencari tahu sendiri kenapa dia tidak memiliki seorang ayah atau hal lainnya. Mama tidak mau jika nantinya akan terjadi kesalahpahaman. Itu juga akan membuat kamu menyesal, Laila," ungkap Mama semalam dengan suara lembut untuk meyakinkanku.
Setelah semalam memikirkannya, akhirnya aku membuat keputusan untuk mengatakan hal itu pada Azhar. Ketika dia datang berlari menghampiriku, aku merasakan detak jantungku berdebar.
"Azhar, ada sesuatu yang ingin Mama bicarakan sama kamu, Nak," kata Mama mewakiliku.
"Baik, Oma. Sekarang Mama di mana?" tanya Azhar penasaran.
"Ada di ruang luang. Mama ingin bicara penting dengan Azhar."
"Baik, Oma." Tak lama kemudian, Azhar datang dengan berlari menghampiriku. Dia mengetuk pintu lebih dulu sebelum aku mempersilakannya masuk.
"Loh, kenapa Mama malah menangis? Apa Mama baik-baik saja? Mama sakit, ya?" tanya Azhar dengan cemas.
"Tidak, Mama tidak sakit, Azhar," jawabku sambil mengusap air mata dengan cepat. Azhar mendengus kesal melihatku.
"Baiklah. Tadi Oma bilang ada sesuatu yang ingin Mama bicarakan, sepertinya serius sekali," kata Azhar, mencoba menyelidik, berlagak pura-pura tidak peduli. Entah kenapa gengsinya Papa dan Mama bisa menurun ke Azhar.
"Apa setelah Mama mengatakan ini, Azhar akan marah atau kecewa sama Mama?" tanyaku dengan hati-hati.
"Tergantung," jawabnya santai, menggugah rasa khawatir dalam diriku. Aku menghela napas, berusaha menenangkan diri.
"Sebenarnya, Azhar bukan anak Mama. Maksudku, aku ini bukan ibu kandungnya Azhar. Mama baru siap mengatakan sekarang. Sebelumnya, Mama ragu mengatakan semuanya sama kamu, Nak, karena Mama takut kamu akan meninggalkan Mama."
Azhar diam, mencerna semuanya. Lalu, dia menatapku dengan lekat sebelum memelukku erat. Aku membalas pelukannya, mengusap punggungnya dengan lembut.
"Aku tidak akan pernah meninggalkan Mama. Sekalipun Mama bukan ibu kandungku, tapi bagiku, Mama adalah ibu angkat terbaik di dunia ini yang sengaja Allah kirim untuk Azhar," ujarnya penuh keyakinan dalam pelukanku.
Azhar melepaskan pelukannya dariku dengan perlahan dan tersenyum. Tangannya mengusap pipiku. "Mama tidak perlu menangis. Aku akan tetap menjadi anak Mama, apa pun keadaannya. Kalau boleh tahu, siapa orang tuaku? Apa mereka masih hidup? Apa mereka mengenal Mama dengan baik? Mereka tinggal di mana? Apa aku bisa menemuinya?"
Aku menggeleng perlahan. "Mereka sudah tidak ada, Azhar. Mama tidak mengenalnya begitu baik. Saat itu Opa dalam perjalanan pulang, lalu tiba-tiba di tengah jalan, Opa menghentikan mobilnya untuk menolong semua korban kecelakaan itu, termasuk kedua orang tua kandung kamu."
"Sayangnya, orang tua kandung Azhar tidak bisa di selamatkan. Ayah kandungmu bernama Ziyan. Dia meninggal dalam kecelakaan massal tujuh tahun lalu, tepat di hari kamu lahir. Begitu juga ibumu, Seana. Ibu Seana meninggal setelah melahirkan kamu. Dia menitipkan kamu ke Mama sebelum ajalnya menjemput, saat itu dalam keadaan kritis."
"Mama bisa memberikan bukti video saat Ibu Seana mempercayakan Mama untuk menjadi orang tua angkat Azhar. Mama masih menyimpannya dengan baik. Jika suatu waktu kamu ingin melihatnya, Mama akan memperlihatkannya. Tapi, kamu tidak memiliki kakek atau nenek dari dua pihak ibu dan ayah kandungmu," jelasku. Aku harap Azhar mengerti.
"Aku tidak akan marah hanya karena aku sudah tahu kalau Mama bukan ibu kandungku. Bukankah seharusnya aku berterima kasih pada Mama karena sudah mengambilku sebagai anak Mama?" kata Azhar, suaranya begitu bijaksana. Usianya baru tujuh tahun, tetapi pemikirannya sangat dewasa.
"Terima kasih, Azhar. Kamu bisa mengerti situasi ini dengan sangat baik. Sungguh, tadi Mama sempat berpikir kamu akan marah kepada Mama setelah mendengar hal ini dan mungkin bahkan meninggalkan Mama," ucapku lega. Azhar justru berdecap.
"Aku tidak akan marah kepada Mama hanya karena kebenaran ini. Bukankah aku satu-satunya anak yang paling beruntung bisa diambil sebagai anak angkat Mama?" tanyanya dengan penuh keyakinan, membuatku mengerutkan dahi, seolah mempertanyakan pernyataannya.
"Siapa yang tidak ingin memiliki ibu seperti Mama Lail? Semua anak pasti menginginkannya, Ma," jawabnya dengan nada percaya diri.
"Bahkan teman-teman sekolahku bilang seperti ini, Azhar, boleh tidak, kamu tukar ibu kamu denganku saja." Aku tertawa mendengarnya.
"Lalu Azhar jawab apa?"
"Tidak, aku tidak ingin menukarnya. Lagian, Mama aku hanya ingin punya satu anak baik sepertiku saja, tidak lebih atau lain," aku tertawa lagi.
Setelah itu, aku terdiam sejenak, terharu oleh ucapannya yang tulus. "Tapi Mama merasa tidak sempurna seperti ibu yang lainnya. Mama tidak bisa berjalan tanpa bantuan kursi roda. Apa yang bisa kamu banggakan dari Mama, Nak? Apa Azhar tidak malu memiliki Mama sepertiku?" tanyaku, suaraku sedikit bergetar karena campuran rasa takut dan khawatir.
Dia malah tertawa lepas, ekspresinya penuh keceriaan. "Mama memang tidak bisa berjalan menggunakan kaki Mama. Tapi otak Mama yang brilian mampu menjalankan semuanya. Mama bisa mengurusku dengan baik, menyayangiku, Oma, dan Opa dengan tulus. Mama juga bisa melakukan berbagai hal lainnya, bahkan semua pekerjaan yang biasa dilakukan oleh semua orang, Mama juga mampu melakukannya."
"Lalu, siapa yang tidak kenal dengan Mama Laila Shazhara, seorang pelukis terkenal di negeri ini? Karyanya juga sudah terjual ratusan ribu dalam kurun waktu tujuh tahun, sekaligus seorang aktivis, dan inspirator bagi banyak orang. Mama tidak perlu merasa kurang percaya diri hanya karena kaki Mama tidak bisa berjalan. Lagi pula, aku yang akan menjadi pengganti kaki Mama," ujarnya dengan penuh rasa kagum.
"Tapi aku yakin, suatu saat nanti, Mama pasti bisa berjalan lagi. Aku yakin itu. Mama tidak boleh patah semangat. Mama bisa, percayalah," katanya penuh semangat, membuatku tersenyum lebar menanggapi kata-katanya yang bijaksana.
"Ma, bolehkah aku menanyakan sesuatu?" Azhar membuka pembicaraan lagi, suaranya lembut dan penasaran.
"Silakan, Nak. Apa yang ingin kamu tanyakan?"
"Setiap hari Jumat, kita selalu ziarah ke makam. Apakah itu makam ayah dan ibuku?" tanyanya, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
Aku mengangguk, merasakan hangatnya kasih sayang di dalam hati. "Iya, Azhar. Itu adalah makam ayah dan ibumu," jawabku. Sejak Azhar berusia tiga tahun, setiap hari Jumat, aku selalu mengajaknya ke makam orang tua kandungnya untuk berziarah, mengenang mereka dengan penuh rasa syukur.
"Terima kasih," ujarnya sambil mencium punggung tanganku dengan tulus, yang membuatku merasa lega dan bahagia. Kemudian, dia memelukku erat, dan aku membalas pelukannya dengan penuh kasih.