“COPET! COPET! COPET!”
Teriakan seorang perempuan menggema, memecah keramaian jalanan. Tasnya dirampas dan sang copet melarikan diri secepat mungkin, menyusuri trotoar dengan gesit.
Ronald Kobayashi, lelaki berdarah Amerika-Jepang, tengah duduk santai di depan sebuah ruko pertokoan, memainkan ponselnya. Dahinya mengernyit mendengar teriakan permintaan tolong yang jelas berasal dari dekat situ. Matanya yang tajam seperti elang segera menangkap sosok pria bersweter hitam yang berlari dengan sebuah tas putih di tangan.
Tanpa pikir panjang, Ronald berdiri dan melesat mengejar. Langkahnya besar dan cepat, mengejar sang copet yang berusaha kabur.
“WOY! JANGAN LARI KAMU!” serunya lantang, suaranya menggema di antara hiruk-pikuk jalan.
Berbekal kekuatan fisik dan kecepatan yang ia asah sejak lama, Ronald berhasil mendekati pria itu. Dalam satu gerakan cepat, dia meraih sweter sang copet, menariknya hingga terhenti. Namun, situasi berubah drastis ketika si copet menghunuskan pisau, mengacungkannya ke arah Ronald.
“Mau apa kamu?! Maju kamu! Atau kamu mau dibacok!” ancam copet itu dengan mata liar.
Ronald mundur selangkah, menjaga jarak, tetapi seringai kecil muncul di wajahnya. Bukannya gentar, dia justru terlihat menikmati momen ini, seperti menemukan hiburan baru.
“Menarik juga,” ujarnya santai, matanya memancarkan sorot percaya diri. “Kamu mau melawan saya? Oke.”
Dengan gerakan tenang, Ronald memasang kuda-kuda yang kokoh, kedua tangannya siap bertarung. Dia mengenang kembali pelajaran bela diri yang ia tekuni selama bertahun-tahun saat tinggal di Jepang. Wajahnya tetap dingin, tetapi gerakannya penuh perhitungan.
Copet itu menyerang lebih dulu, mengayunkan pisaunya dengan liar, hampir saja menyayat wajah Ronald. Namun, dengan mudah Ronald menghindar, tubuhnya bergerak lincah seperti air, membuat serangan tersebut meleset. Dalam hitungan detik, dia menangkap pergelangan tangan lawannya, memelintirnya hingga pisau jatuh ke tanah.
“Kena juga kamu.” Ronald tertawa kecil, mempererat kunciannya pada lengan copet tersebut. “Jatuhkan tasnya!” perintahnya dengan nada tegas.
“Tolol! Kamu pikir ….” Copet itu mencoba memberontak, tetapi sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, Ronald menambah tekanan pada kuncian di lengannya.
“AARRGH! Oke! Aku nyerah, aku nyerah!” jeritnya kesakitan, tas putih akhirnya terjatuh dari genggamannya.
Setelah tas dijatuhkan, Ronald mendorong tubuh copet hingga tersungkur, menggelepar di tanah. Kini, ia menatap copet itu dengan tajam.
“Apa kamu lihat-lihat saya, hah?! Mau saya pelintir lagi tanganmu?!” ancamnya, membuat copet itu lari terbirit-birit tanpa berani menoleh ke belakang.