Ronald berdiri terpaku, memandangi sebuah rumah megah yang tampak seperti istana kerajaan. Rumah itu berdiri tegak di tengah perumahan elit Nusantara, dengan desain yang memukau dan bangunan tinggi yang menjulang. Namun, di balik tatapannya yang kosong, ada kesedihan yang menyelip di matanya, seolah bangunan besar itu menyimpan kenangan pahit yang tak bisa diungkapkan.
Dengan langkah pelan, Ronald mendekati pintu gerbang rumah. Ia melihat beberapa tukang kebun sedang sibuk menata halaman, membersihkan daun-daun kering yang berguguran dari pohon mangga besar di dekatnya. Tanpa suara, ia melangkah lebih dekat lagi, menyembunyikan dirinya di balik dinding pembatas halaman, berharap tak ada yang melihatnya.
Namun, tanpa sadar, sebuah mobil hitam yang sangat elegan melaju dan berhenti tepat di depan gerbang rumah. Mobil itu tampak begitu mewah, hampir mencolok di antara suasana yang tenang di sekitar. Ronald, yang sudah mulai merasa canggung, mencoba mengalihkan pandangannya ke arah lain, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang mulai muncul.
Tiba-tiba, seorang pria bermata sipit keluar dari mobil itu. Dengan langkah tegas, pria itu berdiri, dan kedua matanya yang tajam langsung tertuju pada Ronald. Tatapannya begitu tajam, hampir seperti sebuah tantangan yang tanpa kata-kata mengisyaratkan ketidaksenangan.
Pria itu, yang sebagian rambutnya sudah memutih, terdiam beberapa saat, menatap Ronald dengan intensitas yang membuat udara seolah menjadi lebih tegang. Lalu, dengan suara yang terasa menahan amarah, pria itu akhirnya membuka mulut.
“Saya tidak menyangka kamu akan muncul di hadapan saya lagi,” katanya, nada suaranya keras, dengan alis yang terangkat tajam, memberikan kesan yang semakin menambah aura kejam di sekelilingnya. Kejam dalam arti yang tidak bisa dijelaskan, hanya terasa.
Ronald, yang tampaknya tak terpengaruh oleh perasaan pria itu, hanya mengangkat bahu dan menjawab acuh. “Alah. Saya nggak bermaksud apa-apa, Pak. Cuma kebetulan lewat aja,” jawabnya dengan nada santai, masih enggan menatap pria itu.
Pria tersebut menatapnya dengan mata penuh peringatan. “Sekarang juga, kamu pergi dari sini. Saya tidak sudi melihatmu berada di tanah rumah saya,” ucapnya tegas, mengusir Ronald tanpa ampun.
Ronald perlahan menoleh dan menyeringai. Senyum sinis itu adalah bentuk penahan emosinya yang semakin memuncak. “Saya akan pergi. Tenang saja, Anda nggak perlu repot-repot mengusir saya. Saya punya kaki, saya bisa berjalan sendiri,” jawabnya dengan nada yang sedikit lebih tinggi, mencoba menyembunyikan ketegangan di dalam dirinya.
Pria itu hanya memberikan tatapan yang semakin tajam, seolah mengancam tanpa kata-kata. Tanpa mengatakan apa pun lagi, pria itu berbalik dan masuk kembali ke dalam mobil, yang langsung melaju setelah gerbang dibuka oleh petugas keamanan.
Ronald hanya bisa berdiri diam, merasakan amarah yang sudah lama tertahan mulai mereda sedikit demi sedikit. Ia mengembuskan napas berat, berusaha menenangkan dirinya, meski perasaan yang campur aduk masih membekas di hatinya.
“Tua bangka,” kata Ronald dengan geram, mulutnya menyunggingkan senyum sinis. “Kalau saya nggak nunggu Darius, saya nggak akan sudi berdiri di tanah rumah Anda.”
Beberapa detik setelahnya, seorang pria berbaju tuksedo keluar dari rumah dan mendekat ke Ronald, membawa sebuah gitar.
“Tuan,” ucap pria itu dengan suara tenang, “maaf, saya sempat dihadang oleh Tuan Kobayashi.” Ia pun menyerahkan gitar yang sebelumnya diminta Ronald.
Ronald menyeringai sambil menerima gitar itu. “Apa yang dikatakan tua bangka itu? Apa dia mengancammu, Darius?”