Sudah beberapa hari berlalu sejak Ronald mulai mengulik gitar, mencoba menguasai dasar-dasar petikan yang diajarkan dalam video dan teks tutorial. Namun, sepertinya hal itu lebih sulit daripada yang dia bayangkan. Tak memiliki bakat musik sama sekali membuatnya merasa terjebak dalam kebingungannya.
“Kenapa susah banget, sih?!” keluh Ronald, mengacak rambutnya frustrasi setelah berulang kali mencoba mengikuti langkah-langkah dalam tutorial tanpa hasil yang memuaskan. Meski begitu, dia tetap meyakinkan dirinya sendiri bahwa bermain gitar itu sebenarnya gampang, dan dia pasti bisa melakukannya dengan sempurna.
Tiba-tiba, ponselnya berdering, mengalihkan perhatiannya. Sebuah pesan masuk, dan ketika membacanya, Ronald menghela napas panjang. Dia cepat-cepat memasang jaket kulit kesayangannya dan bergegas keluar dari rumah kos.
“Sialan, motor pasti udah diambil sama si Rendi,” gerutunya kesal. Seperti biasa, motor yang biasa dipinjamnya tak ada lagi di tempat semula. Kecewa, Ronald akhirnya memutuskan untuk berjalan kaki menuju kafe.
Sesampainya di kafe, dia langsung mencari Kirana, pacarnya yang selalu jadi pelampiasan sementara. Saat menemukan perempuan itu yang sedang duduk dengan gelas jus jeruk di tangan, Ronald menyapa dengan santai, “Hai, Kirana. Udah lama nunggu?”
Namun, Kirana hanya melirik sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Wajahnya datar, tanpa ekspresi.
“Ada apa, kamu?” tanya Ronald, sedikit khawatir dengan sikapnya yang dingin.
Dengan suara datar dan tanpa emosi, Kirana mengeluarkan kata-kata yang mengubah suasana. “Ronald, mulai sekarang, kita nggak ada hubungan apa-apa lagi.”
Ronald terkejut, matanya membelalak. “Kenapa? Bukannya kamu cinta sama saya?”
Kirana hanya menatapnya sejenak dengan tatapan kosong. “Ronald, kamu udah banyak bohong sama aku. Kamu bilang kamu orang kaya, hidup mewah, padahal cuma orang miskin yang ngekos di rumah kecil. Aku udah tahu semuanya. Jadi, aku mutusin kalau kamu bukan pacarku lagi. Sebaiknya kamu cari cewek yang selevel.”
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Kirana, membuat Ronald terdiam sesaat. Meskipun yang dikatakan Kirana ada benarnya, tapi tidak ada rasa sakit yang menghinggapinya. Rasanya lebih seperti sebuah kenyataan yang harus diterima.
Ronald menghela napas dan menatap Kirana dengan tatapan yang sedikit kasihan. “Saya kasihan sama kamu, Kirana.”
“Hah?! Kasihan sama aku?!” Kirana langsung menatap Ronald dengan mata membelalak, suara tingginya menunjukkan betapa marahnya dia. “Hei! Kamu sadar diri, dong! Harusnya yang kasihan itu aku!”
Ronald hanya diam, tidak berniat melawan atau memperpanjang perdebatan. Dia sudah terbiasa dengan kata-kata tajam seperti itu, dan baginya, hubungan ini sudah selesai sejak lama, meskipun tidak pernah diungkapkan secara gamblang.
Ronald hanya mengangkat kedua bahunya, tampak tidak peduli. “Ya sudah. Saya pergi dulu. Nggak masalah kalau mau putus atau nyambung,” ucapnya sambil berlalu. Tidak ada emosi yang terlukis di wajahnya. Kirana, yang selalu tampak kuat dan bisa menyembunyikan kesedihannya, menatap punggung Ronald yang menjauh. Begitu lelaki itu benar-benar pergi, barulah air mata Kirana jatuh deras, menahan isak tangis yang tak bisa lagi disembunyikan.
Setelah kejadian itu, Ronald memutuskan pergi ke kafe tempat Angela sering mengisi acara live music. Hari ini, ia berniat menunjukkan kemampuan gitarnya dan membuktikan bahwa keseriusannya tidak bisa dianggap enteng. Ia ingin menunjukkan pada Angela bahwa dia berbeda dari yang perempuan itu kira.
Setelah beberapa saat dibonceng motor ojek, Ronald tiba di kafe yang tampak sepi, hanya beberapa pengunjung yang terlihat. Meski begitu, dia tahu bahwa Angela akan datang lebih awal sebelum acara dimulai, dan ini kesempatan yang ia tunggu-tunggu. Ronald berharap bisa berbicara lebih banyak dengan Angela, mengenalnya lebih dekat, meskipun dia tahu wanita itu tidak pernah menganggap serius apa yang dilakukannya.