Rela Miskin Demi Cinta

Marion D'rossi
Chapter #7

Pencinta Kucing

“Indri, maaf, kita harus mengakhiri hubungan ini. Saya nggak mau kamu terluka hanya karena tahu latar belakang saya,” ujar Ronald dengan suara berat, seolah-olah kata-kata itu terasa begitu sulit untuk diucapkan.

Indri terdiam, kalimat itu bagai petir yang menyambar ulu hatinya. Ronald, lelaki yang selama ini ia cintai, mengucapkan kata-kata yang tidak pernah ingin didengarnya. Semua pengorbanannya, uang yang dia habiskan, dan segala yang telah dia lakukan untuk Ronald kini terasa sia-sia. Tidak ada hasil pasti yang bisa ia dapatkan.

“Kenapa, Ronald?” tanya Indri, suaranya tertahan, seolah air mata sudah siap jatuh kapan saja.

“Seperti yang saya katakan, Indri. Saya nggak cocok untukmu. Saya hanya seorang lelaki miskin yang berlagak kaya. Maaf, karena saya terlalu menghambur-hamburkan uangmu. Saya memerasmu dengan dalih cinta. Saya nggak punya apa-apa untuk dipersembahkan,” jawab Ronald, tatapannya kosong, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Indri menelan ludahnya dengan sulit. Kata-kata Ronald kini semakin menghancurkannya. Ternyata, semua yang ia pikirkan tentang cinta dan pengorbanannya hanya sebuah kebohongan. Ronald tidak mencintainya. Dia hanya memanfaatkan kebaikan Indri, menguras uangnya, dan tidak pernah berniat untuk memberi kembali.

“Ronald! Aku nggak mau kamu putus sama aku. Aku udah tahu kalau kamu punya pacar banyak di luar sana. Tapi, please! Aku akan buktikan kalau aku yang terbaik buat kamu.” Suara Indri bergetar, tapi matanya menunjukkan tekad yang tak bisa dipadamkan.

Ronald menunduk, mencoba memaksakan sebuah senyum yang terasa sangat pahit. “Saya tahu kamu orang baik, Indri. Justru karena kebaikanmu, saya nggak tega menyakitimu lebih dari ini. Saya mulai sadar dengan apa yang saya lakukan. Saya harus menyudahi semuanya sebelum terlambat. Maaf, tapi bukan cuma kamu aja. Semua pacar yang sudah saya peras hartanya, akan saya putuskan. Saya akan jujur pada mereka.”

Indri terdiam, tak tahu lagi harus berkata apa. Dari semua kekasih Ronald, dialah yang paling pendiam, yang paling sabar, dan yang paling berusaha memahami. Namun, kini semua itu terasa terlalu berat. Indri sudah tahu bahwa Ronald tidak punya apa-apa. Semua yang dia dapatkan hanya berasal dari usaha memanfaatkan orang lain, dari setiap pacarnya yang dengan tulus memberinya apa yang dia butuhkan.

Ronald meraih tangan Indri dengan lembut, tatapannya penuh penyesalan. “Saya nggak bisa lagi menyakiti perempuan. Saya takut kena karma. Kamu terlalu berharga untuk terus-menerus disakiti. Kamu harus mengerti, Indri. Ini demi kebaikanmu.”

Indri hanya bisa menatap Ronald dalam diam. Semua yang mereka alami kini harus berakhir, dan meskipun hatinya hancur, dia tahu bahwa keputusan ini adalah yang terbaik.

Akhirnya, air mata yang selama ini tertahan jatuh juga. Indri tidak bisa lagi menahan perasaan yang membuncah. Setiap tetesan yang jatuh terasa seperti pukulan yang semakin dalam, menembus hatinya yang rapuh. Dia sangat mencintai Ronald—cinta yang tulus, bukan cinta sementara yang hanya berlangsung semalam, lalu dilupakan. Kata-kata putus itu bagai petir yang menghancurkan harapannya.

Namun, Ronald pun merasakan hal yang sama. Dia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk mengakhiri hubungan ini, untuk berhenti menyakiti perempuan-perempuan yang telah memberi segalanya. Dia ingat perkataan Citra yang menyadarkannya tentang pentingnya perubahan. Ronald ingin berubah. Dia tidak ingin lagi menjadi Ronald Kobayashi yang manja, serakah, dan sombong. Dia ingin melepaskan segala beban dari nama besar keluarganya dan menjalani hidup yang lebih sederhana, jauh dari segala kemewahan dan pengaruh orang tua.

Meskipun semua orang mengira Ronald adalah lelaki miskin yang tinggal di sebuah kos kecil dan menganggur, itulah yang sebenarnya dia inginkan. Tanpa identitas sebagai anak orang kaya, dia tidak lagi harus menanggung ekspektasi orang lain dan bisa menjalani hidupnya sesuai dengan keinginannya. Perjuangan untuk melepaskan diri dari masa lalu itu akhirnya mencapai titik puncaknya. Dan kini, ia hanya ingin fokus pada satu hal, satu perempuan yang sangat ia dambakan.

Dengan senyum yang perlahan mengembang, Ronald mengeluarkan ponsel dari saku jaket kulitnya dan memberikannya pada Indri. "Saya kembalikan ponsel pemberianmu, Indri. Ponsel ini sudah banyak membantu saya. Tapi, saya nggak bisa menerimanya lagi karena saya mendapatkannya dengan cara yang salah."

Indri berusaha tersenyum, meskipun itu sangat sulit. Dia tidak ingin mengutuk keadaan atau perasaannya yang mulai tumbuh lebih dalam. Ronald selalu berhasil membuatnya tersenyum dan tertawa, dan kini, semua itu harus berakhir. "Aku nggak mau menganggap hubungan kita palsu, Ronald. Aku mohon, kamu simpan ponsel ini. Kamu anggap aja sebagai hadiah terakhir dariku."

Dengan penuh keteguhan, Indri menghapus air mata yang menetes di wajahnya dan bangkit untuk pergi. Namun, langkahnya terasa sedikit goyah, seperti ada beban tak terlihat yang membuatnya tersendat.

Lihat selengkapnya