“Aku nggak mau kamu pergi dari hidupku, Ronald! Kenapa, sih, kamu harus melakukan ini? Apalagi setelah aku benar-benar jatuh cinta sama kamu?” Carla berseru, suaranya serak penuh emosi. Matanya yang merah menyiratkan luka yang sulit terobati.
Ronald menunduk sejenak sebelum perlahan berjongkok di hadapannya. Dia mengulurkan tangan, sebuah senyum tipis menghiasi wajahnya. “Carla, saya minta maaf. Saya nggak mau kamu terus terluka karena saya. Kamu layak mendapatkan seseorang yang benar-benar mencintaimu. Saya hanya akan mengecewakanmu lebih dari ini. Izinkan saya membantu kamu berdiri.”
Carla terdiam, menatap tangan Ronald dengan perasaan yang bercampur aduk. Namun, hatinya yang lelah memilih untuk menerima uluran itu. Dia menggenggam tangan Ronald, membiarkannya membantu dirinya bangkit.
“Tapi nggak harus kayak gini, Ronald. Kita bisa bicarakan semuanya baik-baik,” katanya dengan nada lirih. “Apa pun kekuranganmu, aku pasti bisa terima. Aku bisa bantu kamu berubah.”
Ronald menggeleng perlahan. “Nggak ada yang perlu dibicarakan, Carla. Saya harus jujur. Selama ini, saya membohongimu. Saya nggak pernah benar-benar mencintaimu. Yang saya lakukan hanyalah menguras uangmu.”
Pernyataan itu menusuk hati Carla. Ronald tahu, kata-katanya adalah pukulan berat, tapi dia tak ingin menyisakan kebohongan. Kepergiannya harus dilandasi kejujuran, meskipun itu akan semakin menyakitkan. Dia tidak mau menutup kebohongan lama dengan kebohongan baru.
“Maafkan saya, Carla,” lanjutnya, suaranya terdengar tulus. “Kamu sudah terlalu baik. Kamu membantu saya, memberikan saya makanan, bahkan uang. Tapi saya cuma lelaki miskin yang nggak bisa bertahan sendiri. Pada akhirnya, saya menjadikanmu, dan perempuan lain, sebagai cara untuk bertahan hidup.”
Ronald menatap Carla dengan mata yang tidak berpaling. Dia ingin menghadapi semuanya—rasa bersalah, kebohongan yang terungkap, dan amarah yang mungkin akan datang. Namun Carla, justru menghindari tatapannya. Dia memalingkan wajah, air matanya mulai mengalir lagi. Tanpa sepatah kata, perlahan ia melangkah menjauh, meninggalkan Ronald sendirian.
Ronald mengembuskan napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang juga diliputi rasa pedih. Dia menatap punggung Carla yang semakin menjauh, kemudian berbisik pelan, “Carilah kebahagiaanmu, Carla. Semoga suatu hari nanti saya bisa mengganti semuanya—uang, waktu, dan semua yang telah kamu korbankan.”
Dia berdiri dalam diam, membiarkan perasaan yang bergolak di dadanya perlahan mereda. Ketika akhirnya dia melangkah pergi, dia tidak tahu ke mana tujuannya. Langkah-langkah itu terasa hampa, tetapi hatinya bergumam mencari sesuatu—sebuah rumah yang nyaman, sebuah tempat di mana dia bisa merasa damai. Apakah tempat itu benar-benar ada?
Di kejauhan, di bangku panjang di seberang jalan, sosok perempuan berambut setengah pirang duduk dengan kepala tertunduk. Ronald berhenti sejenak, memperhatikannya dari kejauhan. Angela. Perempuan itu masih ada di taman. Mengapa dia belum pergi? Bukankah seharusnya dia sudah meninggalkan tempat ini?
Pikirannya berkecamuk. Ia tak yakin apakah ini kebetulan atau takdir yang mempertemukan mereka kembali. Namun, satu hal yang pasti, Ronald tidak bisa mengabaikan kehadirannya.
Satu sudut bibir Ronald terangkat, membentuk senyum percaya diri. “Sepertinya kamu menunggu saya, ya, Angela. Kamu memang perempuan yang sangat sulit ditebak. Semakin lama, kamu semakin menarik.”
Langkahnya menjadi lebih cepat, seolah tidak ingin kehilangan kesempatan. Menurut Ronald, Angela sedang memberikan sebuah sinyal, meski samar. Ini adalah momen yang harus dimanfaatkan.
Angela mendongak sedikit, alisnya bertaut. “Maksudmu apaan, sih? Urus aja cewekmu yang tadi! Aku nggak mau dikira biang masalah dalam hubungan orang lain!” Nada suaranya tajam, penuh penolakan.
Namun, senyum Ronald justru semakin lebar. “Saya seratus persen yakin. Apa yang saya katakan mutlak. Kamu menunggu saya, kan? Diam-diam, kamu pasti memperhatikan saya.”