Kedua insan itu masih saling bertatapan, seolah waktu membeku di antara mereka. Angela menatap Ronald dengan kemarahan yang memuncak. Bagi Angela, kehadiran lelaki itu adalah pelanggaran terang-terangan ke dalam hidupnya, sesuatu yang tak ia harapkan dan bahkan menyakitkan.
“Apa yang kamu tahu tentang hidupku, hah?! Kamu cuma orang asing yang tiba-tiba muncul, sok tahu, ngomong hal-hal yang bahkan aku sendiri nggak paham!” Suaranya bergetar, menahan emosi yang hampir meledak.
Ronald tetap diam, hanya memperhatikan dengan pandangan yang seolah ingin menembus dinding hati Angela. Dalam benaknya, ini bagian dari strateginya—memancing Angela untuk mengeluarkan semua perasaan yang ia sembunyikan.
“Denger ya, aku peringatkan sekali lagi, jangan pernah ikut campur dalam hidupku! Dan jangan pernah lagi kamu temui aku!” Angela berdiri dengan tegas, memutuskan untuk mengakhiri percakapan ini.
Dengan langkah penuh amarah, ia keluar dari kafe dan langsung masuk ke taksi yang kebetulan sedang mangkal di pinggir jalan. Pintu taksi ditutup dengan suara keras, menandai betapa terganggunya ia oleh kehadiran Ronald.
Namun, Ronald tak berniat membiarkan Angela pergi begitu saja. Nalurinya mendesaknya untuk bertindak. Ia segera berlari ke arah tukang ojek yang baru saja menurunkan penumpang di seberang jalan.
“Pak, jalan sekarang!” Ronald menepuk bahu si tukang ojek tanpa basa-basi.
“Hah? Jalan? Kita mau ke mana, Mas? Kalau mau naik ojek ‘kan harus pesan online dulu—” jawab si tukang ojek kebingungan.
“Udah, nggak usah banyak tanya, Pak! Saya lagi buru-buru, nggak sempat pesan lewat aplikasi. Nanti saya bayar lebih!” Ronald menyelipkan nada mendesak di suaranya.
Meski ragu, tukang ojek akhirnya menyalakan mesin dan menancap gas sesuai instruksi Ronald.
“Kejar taksi itu, Pak! Tapi jangan sampai kelihatan,” kata Ronald sambil menunjuk taksi yang berbelok ke kiri di persimpangan jalan.
Motor melaju dengan kecepatan sedang, membuntuti taksi dari kejauhan. Ronald menatap lurus ke depan, pikirannya dipenuhi oleh satu tekad: memastikan Angela baik-baik saja. Ada sesuatu dalam dirinya—sebuah perasaan yang tak bisa ia abaikan—yang mengatakan bahwa Angela sedang membawa beban berat.
Ronald merasa perlu ada di sana untuknya, meski perempuan itu terus menolaknya. Entah mengapa, suara hati Ronald bersikeras bahwa ia harus melindungi Angela, bahkan dari dirinya sendiri.
Setelah beberapa menit perjalanan, taksi itu berhenti di depan sebuah rumah besar yang terlihat seperti istana kecil. Angela turun dan berjalan masuk tanpa menoleh ke belakang. Ronald meminta tukang ojek berhenti beberapa meter sebelum pintu gerbang rumah itu, memastikan ia tetap tak terlihat.
“Ini, Pak. Terima kasih,” kata Ronald sambil menyerahkan selembar uang lima puluh ribu. “Sekarang, saya mau lanjut sendiri.”
Tukang ojek menggeleng, masih bingung dengan apa yang terjadi, tapi ia tak bertanya lebih jauh. Setelah motor pergi, Ronald berdiri diam sejenak, memandangi rumah besar itu. Ia menghela napas panjang, bersiap untuk langkah berikutnya dalam misinya yang ia sendiri belum sepenuhnya pahami.