Lelah sekali, aku sudah tidak kuat... Kehidupan ini... Neraka yang mereka sebut sebagai "kenyataan". Hari ini aku baru saja dipecat dari tempat aku kerja sampingan, bosku baru saja meneleponku tadi. Katanya aku sudah digantikan oleh orang lain, kenapa mereka melakukan semua itu secara sepihak? Dasar...
Jam mapel kuliahku akhirnya selesai juga, akan kuurus masalah kerja sampingan itu lain waktu saja. Aku membereskan leptopku dan memasukannya ke tas, lalu seorang wanita yang cantik jelita terpampang pada pintu kelas sedang bergandengan dengan lelaki yang terlihat baik itu. Wanita itu, adalah orang yang telah membuang diriku begitu saja, bisa disebut sebagai mantanku. Dia... Aku tidak membencinya, hanya saja...
Yah, dia yang dulunya begitu suportif padaku, tiba-tiba menghilang dan begitu saja meninggalkanku, seperti semua orang. Sudah hampir 3 minggu sejak hari itu berlalu. Gigiku menggertak dengan sendirinya tanpa kusadari. Aku kenakan tas hitamku dan berjalan keluar lewat pintu yang berlawanan. Aku bisa melihat kalau jalan di luar sudah sepi dan malam makin larut, tentu saja, karena aku mengambil kuliah malam, kalau tidak, aku tidak akan bisa kerja sampingan. Tapi tetap saja, kota ini terasa sesak berkat polusi juga orang-orangnya.
“Hey, kau tidak mampir, Sen?”
Ah, temanku memanggil. Ya, namaku Senanto, biasa dipanggil Sen oleh rekan-rekanku. Orang kurus yang beralmamater biru yang memanggilku itu? Namanya Heru, aku lumayan dekat dengannya, bisa dibilang kami dulu pernah setim ketika membuat projek, dan sejak saat itu kami menjadi cukup akrab. Aku baru ingat kalau kelasku akan menginap karena empat hari ke depan itu tanggal merah, sabtu-minggu lalu selasanya hari natal, karena senin hari kejepit, jadinya dosen kami memutuskan untuk diliburkan saja, sedikit disayangkan menurutku.
“Tidak terima kasih, ada yang ingin kukerjakan selama liburan,” kujawab dengan nada monoton, jawaban yang bodoh, pikirku. Aku hanya ingin menghabiskan waktu libur ini dengan menyendiri saja di kontrakan pas-pasanku yang tenang. Aku tidak ingin bertemu dengan wanita itu untuk saat ini, dan lebih baik mungkin untuk ke depannya. Aku sudah muak dengan semuanya.
“Ah, begitu ya... semangat kalau begitu, jangan keseringan kerja, nanti mati loh,” ujarnya sedikit meledek sambil memegang pundakku.
Dia memang tahu cara membuatku tersenyum di saat seperti ini, namanya juga Heru. Dia memasukan sesuati disaku celanaku sebelum melambaikan tangan padaku, lalu dia berbalik ke arah rekan-rekanku yang sedang bergerombol. Aku balik melambaikan dan akhirnya menyarungkan tanganku. Oh, ternyata itu hanya permen, kukira apa.
Aku pun berjalan ke halte transjakarta terdekat. Tubuhku terasa hampa di setiap langkah kaki. Begitu sampai, aku menunggu setidaknya dua belas menit. Hanya lampu neon putih remang-remang dan tiga bapak-bapak yang kelihatannya habis lembur yang menemaniku. Aku sedikit terkejut ketika bis transjakartnya datang, penumpangnya tidak sesedikit yang kukira. Ada sedikit rasa lega yang menyala karena bisnya tidak sepi, tapi setelahnya padam dengan cepat tanpa alasan, lalu aku masuk ke dalam bis itu tanpa berpikir panjang.
Aku menyadari bahwa ini adalah siklus kehidupan yang begitu membosankan. Tapi, aku merasa bahwa tuhan tidak mungkin membiarkanku hidup jika hidup semembosankan ini. Setiap cerita pasti memiliki konfliknya sendiri-sendiri, dan sepertinya ini adalah konflik milikku. Aku tetap harus berjuang sekuat tenaga, setidaknya itulah yang bisa kulakukan untuk saat ini. Ah, hampir lupa memasang handsfree. Bis ini lebih tenang dari yang kubayangkan, atau hanya perasaanku saja.
Kalau aku tidak kuat entah dimana aku akan berada sekarang, mungkin sedang mengikat tali tambang di sebuah kloset dengan sepucuk surat di saku jaketku. Atau berdiri di samping jembatan sembari melihat jurang yang begitu dalam. Tapi aku tahu, pelarian seperti itu bukanlah gayaku, apapun yang terjadi. Karena, aku masih ingin merasa bisa berguna, setidaknya untuk orang yang sangat spesial dalam hidupku. Termasuk untuk kedua orang tuaku yang sekarang sudah tiada.
Begitu sampai di halte tujuanku, aku merasakan hawa malam yang tenang itu kembali, di daerahku jarang ada mobil atau motor lewat, jadi udara di sini cukup menyejukkan. Juga, udara malam ini memliki sensasi tersendiri bagiku dan membuatku cukup tenang. Aku berjalan ke arah lampu merah dan menunggunya berganti warna. Selagi menunggu, aku merasa sesuatu mengganjal kakiku, aku berpikir bahwa itu hanya sebuah kerikil, tapi ada yang aneh. Dengan rasa penasaran, aku melirik ke arah kakiku dan melihat sebuah arloji kuningan yang tertutup. Aku sadar bahwa trotoar sedang sepi, sehingga aku mengambil arloji tersebut. Aku sedikit merasa bersalah mengambilnya, tapi ada sesuatu dari benda ini yang menarik perhatianku.