Rela, Where it start it end

Revain
Chapter #2

Bab 2

Aku terduduk di sofa kecilku dan menekan kedua jariku di kening sambil berpikir tentang apa yang barusan dia katakan. Aku meliriknya sesaat, dan mendongak ke arahnya sambil berkata, “Jadi kau tidak tahu bagaimana kau bisa sampai di sini dan bahkan tidak bisa mengingat identitasmu?”

Gadis itu mengangguk pelan, tetapi ekspresi seriusnya itu tidak berbohong. Dia sepertinya tidak tahu apa itu yang namanya kos-kosan, jadi dia menganggap bahwa akulah pemilik tempat ini, tapi aku memang sudah menganggapnya seperti rumah sendiri sih. Sejujurnya aku tidak bisa berkata apa-apa setelah mendengar alasannya, tetapi apa yang dia katakan itu bukanlah kebohongan. Jika gadis ini bersamaku berarti, aku sedang berada di suatu posisi yang tidak baik, setidaknya itulah perasaanku.

Hanya saja... aku berpikir, bahwa gadis ini mengatakan itu bukanlah suatu kebetulan. Entah kenapa, aku merasa simpati dan ingin menolongnya, padahal aku tipe orang yang paling menghindari suatu masalah jika bisa. Juga, aku tidak memiliki koneksi apa-apa padanya. Apakah insting manusiaku terbangun?

Aku berdiri lalu berjalan ke arah pintu depan, menguncinya. Gadis itu hanya menatapku dengan penasaran dan polos. Aku melangkah kembali dan berusaha menghindari bertatap mata dengan gadis itu. Setelah sampai di depan kamarku aku teringat sesuatu.

“Hei, kau lapar?” tanyaku dengan datar.

“Um... boleh kah?” balas tanya gadis itu. Dia memang terlihat manis dengan sifatnya itu. Tapi, aku sudah lelah hari ini, jika bisa setelah makan malam aku ingin segera tidur.

“Tentu saja. Aku akan membuat makan malam untuk kita berdua. Kau duduk saja disana, nanti biar aku yang bawakan,” ujarku sambil menunjuk kursi di sebelah meja makan dengan jempolku.

Aku berusaha menjawab se-sehalus yang kubisa. Heru selalu menyindir kalau aku terlalu kaku ketika berbicara, sehingga tampangku menjadi lebih tidak menyenangkan. Yah, mau bagaimana lagi, memang begini kenyataannya. Mungkin aku harus tersenyum? Entahlah aku tidak percaya dengan senyumanku.

Selagi memasak aku melirik gadis itu yang sedang duduk dan menunggu manis. Dia terlalu penurut dan itu membuatku sedikit gelisah entah kenapa. Kelopak mataku sedikit mengkerut dan nafasku mulai memberat. Pada akhirnya aku menguap. Bagaimana pun juga dia tetap terlihat santai menungguku.

Setelah 5 menit, akhirnya selesai juga. Hidup sendiri membuatku terpaksa untuk belajar memasak, tetapi makin ke sini aku sedikit menyukainya dan terkadang mencoba resep baru yang menurutku menarik. Karena lelah ditambah dengan moodku yang hancur, aku hanya membuat indomie kari kelas atas. Untunglah bahan-bahan tambahan untuk topingnya masih ada.

Aku mengembalikan instrumen-instrumenku ke tempatnya semula setelah membilasnya dengan air. Kedua mangkuk itu kubawa ke meja makan, satunya kuletakan di depan gadis itu dan aku duduk di depannya berhadapan. Aku mengambil garpu dan sendok dari vas alat makan. Gadis itu melihatku ketika aku mengambilnya. Dia pun meniruku, masih dengan wajah polosnya.

Sebelum makan, aku memantaunya. Dia terlihat kebingungan dengan kedua benda yang dia pegang itu. Aku menghela nafas pelan melihatnya.

Gadis ini... dia tidak bisa menggunakan garpu dan sendok ya?

“Mau pakai sumpit?” tanyaku pelan.

Dia geleng-geleng kepala. Pada akhirnya dia makan juga, ternyata dia bisa menggunakannya, syukurlah. Aku bisa makan dengan tenang.

Suasana ini mengangguku. Benar-benar sunyi. Aku hanya bisa mendengar suara angin bersiul dan tetesan air dari keran wastafel. Walaupun aku sudah terbiasa makan sendirian dalam keadaan sunyi, tapi kalau berdua begini rasanya benar-benar canggung. Jari tangan kiriku secara otomatis menggretak meja.

“Hey,” ujarku akhirnya memecah kesunyian ini. Aku sendiri juga segan berbicara tapi merasa tidak enak. Mataku tidak berani membuat kontak visual dan hanya menatap mangkuk indomieku.

Lihat selengkapnya