Uhh... jam berapa ini?
Aku mendengar suara alarm yang lupa kusetel untuk hari libur. Aku duduk dan masih dengan tampang melongo. Ruanganku, lampunya mati? Apakah Rela sudah bangun?
Aku melirik ke arah kasurku, dia tidak ada disana. Hanya sprei yang lecek dan bantal yang belum tertata. Setelah berdiri dan meregangkan tubuh, aku berjalan ke dapur dan melihat Rela berdiri di tempat kemarin pertama kali aku melihatnya. Dia menatap ke arah jendela yang sama dengan ekspresi yang sama, seperti dirinya tidak pernah melihat dunia luar. Apa yang sebenarnya sedang dia pikirkan?
Bagaimana pun juga aku harus bersikap normal. Ini adalah hari terakhir aku akan melihatnya, setelah itu kehidupanku yang membosankan akan kembali. “Selamat pagi, Rela,” sautku dari dapur.
Rela sedikit terkejut dan melirikku, “Ah ya... selamat pagi, Sen.” Nadanya sedikit berbeda dari yang kemarin. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggunya. Walaupun begitu, aku tidak bisa ikut campur lebih dari ini, aku tidak lagi ingin merusak sesuatu yang tidak seharusnya kurusak. Hidupku sendiri sudah kacau, aku tidak bisa melibatkan diri lagi.
“Hey Rela, moodku sudah membaik berkatmu, terima kasih,” ujarku berusaha menghiburnya. Aku mencoba untuk tersenyum kecil kepadanya. Yah, setidaknya aku mencoba.
“S-sama-sama... Sen.” Rela menjawab dengan gugup, wajahnya sedikit memerah. Benar-benar gadis yang imut. Aura orang ini, benar-benar berbeda dengan orang yang selama ini kutemui. Dia memalu dan sedikit menghindari kontak mata.
Setelah menenggak segelas air, aku lanjut berbicara, “Akan kusiapkan sarapan untuk kita, bisakah kau tolong buka gordennya untukku?”
“Ah ya, tentu saja,” ujar Rela, tangannya yang kecil itu segera menggapai gorden dan menariknya. Matanya sedikit menyipit ketika sinar matahari pagi masuk lewat jendela. Tangannya diangkat untuk menutupi sinar itu. Aku hanya bisa berharap yang terbaik untuknya kelak.
Aku mengambil dua butir telur untuk sarapan kami berdua, dengan kemahiranku yang sekarang, aku bisa membuat telur dadar yang mirip dengan koki yang ada di televisi-televisi. Aku cukup bangga dengan kemampuanku, tapi hanya untuk keseharianku saja. Aku tidak pernah masak steak atau semacamnya yang terlalu mewah.
Selagi memasak, aku mendengar suara keroncongan dari meja makan, setelah kulirik, Rela yang memerah itu menunduk tersipu malu. Gadis ini, terlalu penurut dan polos, aku tidak terbiasa dengan hal yang seperti ini. Dia sangat berbeda dengan anak-anak seumurannya. Aku tidak tahu kenapa dia bisa sampai seperti itu.
Aku menuangkan telur yang sudah matang ke atas piring beserta nasi dan sedikit kecap. Rela yang sedari tadi melihat telur itu menjadi sedikit ngiler. Ini bukan pertama kalinya sih, Heru juga terkadang seperti itu kalau dia memintaku memasak sesuatu. Aku pun akhirnya menyaijkannya.
“Sarapan siap, silakan dinikmati,” kataku seolah seperti koki handal. Duh, kebiasaan bodohku bersama Heru masih terbawa. Dan juga, wanita sialan itu kenapa ingatangku tiba-tiba mengingatnya kembali.
“Sen, kau tidak akan memakan sarapanmu?” Tanya Rela sebelum dia masukan sendoknya ke mulut. Aku bisa melihat kekhawatiran di wajahnya, dan aku segera kembali seperti sedia kala. Apapun yang terjadi, masa lalu tetaplah masa lalu. Aku harus terus berjalan.
“Ah ya, tentu-tentu. Aku sedikit bengong tadi. Jadi bagaimana rasanya, enak atau mungkin tidak sesuai dengan seleramu?”
Ketika aku bertanya, Rela sedang mengunyah sesendok nasi yang dia tahan tadi. Rautnya menjadi senang, syukurlah kalau dia menikmatinya. Tapi, aku merasa sedikit keanehan, seperti... Rela belum pernah memakan sesuatu yang bahkan sesimpel ini. Bahkan Heru tidak melebih-lebihkannya sampai seperti itu. Aku merasa bahwa, gadis ini dulunya terisolasi.
Aku memakan sarapan itu dan kembali memikirkan rencanaku pagi ini. Sepertinya terlalu cepat untuk menyerahkan Rela, aku merasa kasihan kepadanya, seperti melihat cerminanku di dalam dirinya. Aku yang terkekang oleh dunia ini. Lagipula, tadi pagi dia melihat jendela itu. Tidak ada salahnya mengajaknya jalan-jalan keluar untuk sementara waktu. Setelah kupikir cukup, baru akan kuselesaikan urusan ini.
“Hey Rela, setelah ini kau mau jalan-jalan keluar? Aku sekalian ingin membeli sesuatu.” Kakunya bahasaku ini... huft.
“K-kau yakin, tidak apa-apa?” tanya Rela khawatir. Dia kelihatannya enggan untuk keluar rumah, tapi dari wajahnya dia memang ingin merasakan hawa dari ruang terbuka. Melihat dirinya, aku juga mulai berpikir bahwa perawakannya terlalu mencolok. Rambut putih dan mata merah dengan kostum itu. Apalagi sifatnya itu... aku harus mencari cara.
Aku melirik jaketku, tidak... itu jaketnya, jaket yang dulu ingin kuberikan tapi tidak jadi. Yah tabunganku, tapi tidak ada gunanya lagi sekarang untuknya. Dari pada tidak terpakai, mungkin ukurannya sesuai dengan Rela. Dan aku bisa meminjamkan celana panjangku yang mulai sempit. Ide yang tidak buruk.