Rela, Where it start it end

Revain
Chapter #4

Bab 4

Aku dan Rela sudah berada di Transjakarta. Sedari tadi berangkat, Rela selalu senang melihat sekitar terkadang mengapresiasi hal-hal kecil seperti anak kecil sungguhan. Yah, lagipula ini masih pagi, kalau sudah siang pasti mulai muncul hal-hal yang tidak diinginkan. Rela duduk di sebelahku, sedang memandang keluar jendela. Wajahnya terlihat sangat ceria.

Tadi ketika di loket Trans, Rela benar-benar mengejutkanku. Karena tingkahnya yang seperti anak kecil ditambah penampilannya. Penjaga loket sempat kebingungan dan bahkan mungkin takut. Tetapi aku menjelaskan semua detailnya, walaupun itu hanyalah kebohongan tidak apa-apa lah.

“Hei hei, Sen,” saut Rela.

Bisnya berhenti di lampu merah. Ketika bis ini melewati universitasku tadi, bayangan tentang wajah wanita brengsek itu masih berada di pikiranku, seperti sebuah halusinasi yang selalu menghantuiku. Aku yang pada saat itu sedang memperhatikan lorong bis yang hampir setengah penuh itu beralih ke Rela. Wajahnya bisa kulihat dari pantulan kaca. Kali ini dia menunjukan sisi penasarannya, kutebak.

“Ada apa?” balas tanyaku.

Matanya terfokus kepada suatu toko kelontong buah. Matanya tajam juga, aku yang suka lalu-lalang di sini bahkan tidak pernah menyadarinya. Yah mungkin penglihatanku mulai memburuk beberapa tahun belakangan ini. Kira-kira dia ingin makan buah-buahan kah? Atau ini pertama kalinya dia melihat makanan-makanan itu.

“Buah itu, apel bukan? Aku mengingat warna dan rasanya. Entah kenapa, aku merasakan sesuatu ketika melihatnya. Hanya saja, aku tidak bisa mengutarakannya.”

Rela menoleh ke arahku dan tersenyum polos. Seperti biasa, dia sungguh manis. Bahkan walaupun gadis ini sedikit tertutup tudung jaketnya, kehangatannya masih bisa kurasakan dari sini.

“Kau teliti juga ya, Rela. Yasudah nanti aku belikan di halte pemberhentian kita, disana juga ada toko buah. Kau juga boleh pilih buah-buahan lain jika mau.” Aku tersenyum simpul

“Bagaimana denganmu, Sen? Kau suka buah apel?” tanya Rela dengan sifat cerianya itu. Mata merahnya yang bercahaya seakan mengatakan kalau apapun yang kujawab akan dia terima dengan senang hati. Diriku sendiri tidak mengerti bagaimana aku sampai bisa menginterpretasikannya sampai sedemikian rupa.

Aku masih memikirkan diriku yang terbelengu oleh kota ini. AC di kendaraan dingin ini tidak pernah mengangguku walau sedingin apapun hari. Bahkan saat aku kehujanan, tapi esoknya langsung demam sih. Aku melirik sebentar ke depan, bayangan perempuan itu masih menggangguku. Begitu aku ingin menjawab, bisnya langsung jalan.

Badanku sedikit maju ketika bisnya kembali jalan, aku pun berkata, “Ya, aku suka apel. Dulu, kalau ada rekan kerja yang sakit, aku paling sering bawakan apel. Sebagian besar tidak menyukainya jadi pada akhirnya aku juga yang makan. Bodohnya, aku tetap melakukannya walau sudah tahu hasilnya.”

Aku tertawa kecil setelah mengucapkannya. Sudah lama aku tidak menertawai diriku sendiri. Aku melipat kedua tanganku di belakang kepala dan tersenyum puas. Rela juga ikut tertawa mendengarnya, tapi ini adalah pertama kalinya aku melihat seseorang tertawa setulus itu. Apakah orang ini adalah malaikat yang diturunkan untukku yang menyedihkan ini?

“Sen benar-benar aneh ya? Kau selalu seperti itu,” ujar Rela, kepalanya kembali melihat keluar jendela. Tangannya melekat ke jendela seakan dia ingin menggapai sesuatu.

“Mungkin kau benar, siapa tahu.”

Tiba-tiba ponselku yang diselipkan di saku celana berdering. Aku mengambilnya dan mengecek siapa yang memanggilku di saat seperti ini. Kalau itu adalah rekan kuliahku, aku kan sudah berpesan untuk tidak ikut. Siapa kira-kira yang memanggilku di saat seperti ini...

Di situ tertera... Heru?! Kenapa dia memanggilku mendadak begini? Duh... dasar.

Aku angkat telponnya dan menyapa, “Ada apa?”

“Dimana kau sekarang? Bukannya waktu itu bilang ingin di rumah saja?” tanyanya terburu-buru. Aku jadi penasaran ada maksud apa dia datang ke rumah. Apakah pestanya batal...

“Yah, aku ada sedikit urusan yang membuatku harus menginjakkan kaki keluar, kenapa?”

“Pestanya kacau. Keluarga Nino akan pergi ke Perancis karena urusan mendadak. Semua masih berpikiran untuk ke rumah Eli, jadi untuk sementara waktu kita semua bebas. Aku memutuskan untuk main ke rumahmu, tapi sepertinya kau memiliki kesibukan lain. Yasudah, aku datang lain kali saja.”

Aku bergetar ketika Heru mengatakan bahwa pestanya kacau. Kedua ujung mulut naik dengan sendirinya, dan ada sebuah perasaan lega yang sangat luar biasa. Aku berusaha untuk tidak tertawa di depan umum, apalagi di sebelahku ada Rela. Jadi mereka semua akan menggantinya dengan rumah si keparat itu? Lelucon macam apa ini. Ya, dia dipanggil Eli, dari kata Elisa, itu adalah nama orang terkutuk itu. Ah sudahlah, aku hanya ingin menikmati hariku.

“Ya, terima kasih sudah mampir. Maaf, Heru.”

“Tidak apa-apa, Nanti kabari aku kalau sudah di rumah. Kalau begitu, sampai jumpa!”

Orang itu berteriak dan langsung menutup teleponnya. Kau bilang agar aku menjadi sedikit lembut, tapi kau sendiri seperti itu. Tapi, perasaan tidak nyaman ini... jangan-jangan Rela.

Aku perlahan meliriknya. Aku melihat kilauan merah yang sangat dekat, matanya sangat dekat. Orang ini penasaran, atau karena rasa ingin tahunya yang tinggi. Ditambah, aku tidak kuat kalau wajahnya sedekat ini. Aku mendorong Rela menjauh, bagaimana pun juga aku laki-laki. Wajar kalau aku jadi begini, jantungku masih berdegup sangat cepat. Tentunya Rela kelihatan bingung kenapa aku mendorongnya.

“Terlalu dekat, Rela,” ujarku gugup, mungkin dia bisa melihat wajahku yang memerah ini.

“Terlalu dekat? Apanya yang terlalu dekat?” tanya Rela kebingungan, tetapi kelihatannya gadis polos ini masih ingin tahu dengan apa yang kulakuan tadi dengan ponselku.

Gadis polos... Oh iya, orang yang satu ini kan polosnya sampai ke ujung dunia. Duh, aku sampai lupa, bodohnya diriku.

Lihat selengkapnya