Rela, Where it start it end

Revain
Chapter #5

Bab 5

Hari tenangku yang tadinya sedang kunikmati, seketika hancur saat dia memperlihatkan wajahnya di depanku. Perasaanku langsung campur aduk saat itu juga. Aku berusaha menahan diriku demi Rela dan mengendalikan emosiku yang terpendam. Kalau saja gadis ini tidak di sini, mungkin aku... tidak, aku tidak akan keluar rumah kalau bukan karena gadis ini.

Elisa tidak risih sedikit pun melihatku, tidak ada rasa bersalah yang terlukis di wajahnya. Dia berdiri di situ seakan aku hanyalah sebuah patung belaka. Tapi matanya terfokus ke pada Rela yang kembali mengangkat kepalanya. Apa yang dia mau dari gadis ini?

“Tidak apa-apa, berhati-hatilah lain kali,” ujar Elisa dengan datar. Sejak hari itu, dia tidak pernah berubah, sifatnya itu... Apa yang sebenarnya terjadi...

Aku berusaha tidak melakukan kontak apapun kepada Elisa. Wajahku dipalingkan ke bawah dengan masam dan aku tidak mau bergerak maupun berbicara dengannya. Moodku langsung pahit pada saat itu juga. Kenapa orang sepertinya harus muncul di saat seperti ini. Apapun yang terjadi nanti, aku harus melindungi Rela.

“Kenapa Eli?” tanya lelaki yang di sebelahnya itu dengan santai dan sok keren.

Wajahnya yang cukup tampan dengan gaya rambut trendingnya itu. Gaya berpakaiannya juga lumayan kalau memang kulihat dari sudut pandang perempuan. Aku tidak pernah mendekati orang ini secara langsung. Dia sedikit lebih tinggi dariku. Aku paling tidak suka mencari masalah, tetapi kalau situasi membutuhkan, aku tidak akan segan-segan.

“Tidak apa-apa, Vin. Gadis ini tidak sengaja menyenggolku.”

Vin? Ohh, Nevin anak jurusan kehutanan. Dia lumayan terkenal, tapi baru kali ini aku melihatnya secara langsung. Aku bahkan tidak tahu kalau yang waktu itu ternyata Nevin. Aku tidak ingin bertaruh kalau dia tidak akan membuat masalah.

“Hmm, ah, orang dengan kemeja itu. Sepertinya aku pernah melihatnya,” ujar Nevin melirik ke arahku dengan tatapan aneh. Aku sama sekali tidak menyukai tatapan menjijikannya itu.

Matanya semakin tajam ke arahku, sialan Nevin.

“Ahh, kau anak dari jurusan fisika kuantum yang sekelas dengan Eli. Senanto bukan?” tanyanya dengan telunjuk dan jempol yang ditempelkan ke dagu.

Tidak ada pilihan lain, aku harus membalasnya kalau tidak ingin ada masalah.

Aku berusaha menahan wajah pahitku dan mengangkat kepalaku dengan perasaan terpaksa. Orang ini mungkin tidak tahu apa-apa soal hubungan kami berdua, aku akan menjawabnya dengan santai, “Iya, aku sekelas dengannya.”

“Belum lama berpisah kau sudah ganti perempuan, apa kau begitu ingin punya seorang pacar? Dan apa ini, seorang gadis SMA?” ejeknya dengan angkuh. Sialan... jadi dia tahu... dia, sebegitu sombongnya berhasil mendapat seseorang seperti Elisa.

Aku hanya kembali tertunduk mendengarnya. Semua ini bukan kemauanku, aku tidak pernah menginginkan semua ini. Gigiku tiba-tiba bertindihan dengan keras. Darahku serasa mendidih tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Apa aku selemah ini... apa aku hanya berisi omong kosong...

“Tidak!” aku mendengar sebuah teriakan kecil, itu... adalah milik Rela. Gadis polos itu berusaha melindungiku. Ternyata dia juga orang bodoh. “Sen bukanlah orang yang seperti itu! Aku mungkin tidak memiliki hubungan apapun dengan Sen, tapi aku juga tidak bukan siapa-siapanya. Sen selalu bersikap baik, hanya saja dia kesusahan menyampaikannya. Untukku, Sen adalah orang yang berharga.”

Aku bisa merasakan amarah yang bergejolak dari Rela. dia mungkin tidak tahu apa-apa tapi dia sangat bersikeras untuk membelaku. Aku bisa merasakan api merah dari matanya tanpa melihat. Lalu, aku mendengar Nevin mendengus dan sesuatu sepertinya ditarik. Kali ini, aku tidak akan diam. Aku bersungguh-sungguh!

Aku membulatkan tekad untuk melawan. Saat aku melihat ke depan lagi. Kerah jaket Rela diangkat oleh Nevin. Dia senekat itu sampai mengangkat gadis seperti Rela, ini sudah keterlaluan.

“Kau memangnya tahu apa soal bocah sok pintar itu, ha?” tanya Nevin dengan tinggi hati. Sikapnya sama sekali tidak berubah.

Rela sedikit memberontak dan menyerang balik, “Mungkin aku tidak tahu banyak. Tapi kau lah yang kelihatan tidak tahu apa-apa.”

“Apa kau bilang?” balas Nevin dengan tangan kanannya yang dikepal diangkat. Wajahnya kesal dengan balasan Rela yang kena tepat pada sasaran. “Tunggu dulu, matamu...”

Gawat..!

Aku dengan cepat menerpa ke depan dan memisahkan Rela dengan Nevin. Pria brengsek itu mungkin sedikit lebih tinggi, tapi ini sudah kelewatan batas. Aku langsung berusaha meninju wajahnya, tetapi tinjuku ditahan olehnya sebelum melandaskan pukulan. Dia pun mendorongku dengan kencang hingga aku terjatuh.

Aku harap dia tidak terlalu memperhatikan Rela tadi. Yang barusan itu hampir saja. Bahaya kalau sampai identitas Rela sampai ketahuan. Yaaah, walau aku sendiri tidak tahu identitas aslinya tapi aku tidak bisa membiarkan orang sepertinya ikut campur ke dalam urusanku.

Aku melihatnya jongkok ke arahku, tangan kirinya menahanku supaya aku tidak bergerak dan berusaha menunjuku balik dengan tangan kanannya. Pada saat itu aku berpikir kalau mungkin aku akan babak belur dan kembali ke rumah dengan sedikit penyesalan. Aku juga berpikir kalau Rela akan direbut dariku, satu-satunya cahaya yang bisa kugapai. Tinjunya meluncur kearahku

“Tidak usah sok berani, anak rumahan!”

Habislah aku...

Aku mendengar Rela meneriakan namaku. Tidak apa-apa, ini adalah resiko yang harus kutanggung karena sudah berada dalam kondisi seperti ini. Semua ini terjadi karena pilihanku untuk membantu Rela. Mungkin aku tidak pernah menginginkan hal itu, tetapi aku tidak akan bertemu dengannya jika hal itu tidak terjadi.

Karena itu...

Aku sudah bersiap untuk menerima pukulan dan menutup kedua mataku. Detik demi detik berlalu, tetapi tinjunya tidak kurun datang. Aku membuka mataku dan terkejut bukan main kalau gerakannya sangat lambat. Sangat lambat seperti melihat slow motion hanya saja tanpa perangkat. Aku melirik sekitar, semuanya melambat.

Aku melihat asap hitam bis yang lewat dengan jelas seperti larutan dalam air. Juga untuk suatu alasan penglihatanku sedikit gelap dari biasanya. Ayo Sen, analisa situasi, kau tahu kalau sihir itu tidak ada. Semua gerakan melambat, termasuk nafasku yang sedikit memberat tetapi mataku bisa melihat dengan cepat tetapi terasa sedikit gelap. Ini... ini bukan waktu yang melambat, tetapi persepsiku terhadap waktu yang menjadi cepat. Mataku menjadi lebih gelap karena otakku memproses gambar lebih cepat dari biasanya dan cahaya yang masuk ke mataku tidak secepat biasanya.

Tapi... bagaimana bisa? Jangan-jangan...

Aku melirik ke arah Rela, dia sedikit melambat tetapi sepertinya dia juga berada dalam posisi yang sama denganku, aku bisa melihatnya, ekspresi paniknya itu. Berarti, inikah kekuatan dari arloji itu... aku tidak tahu bagaimana Rela mengaktifkannya tetapi aku jadi sediki lebih unggul di sini. Nanti akan kucek arloji itu.

Waktunya membalik keadaaan. Kedua tanganku kuusahakan secepat mungkin menggenggam tangan kiri Nevin yang menyangga dirinya dan menariknya ke samping. Tiba-tiba pada saat itu waktu kembali berjalan normal dan orang itu langsung jatuh di sampingku dengan tinju yang meleset. Mataku langsung buram seketika. Ketika kukucek, penglihatanku langsung kembali seperti semula. Mungkin otakku menjadi kaget dengan yang barusan.

Aku langsung berusaha berdiri dan menempel pada rela untuk menghadangnya. Kepalaku sedikit pening tetapi ini hanya pusing biasa.

“Sudah cukup, Vin. Jangan melakukan hal gegabah di depan umum. Kau mau dilaporkan ke kepolisian?” ujar Elisa. Wanita itu menghela nafas setelah mengucapkannya dan menyilangkan tangan. Matanya penuh dengan kekecewaan, aku tidak bisa menyalahkannya sih.

Aku juga baru sadar kalau orang-orang mulai menatap ke arah kami berempat. Aku bernar-benar tidak nyaman diperhatikan seperti ini. Kalau saja mereka tidak muncul, semua ini tidak perlu terjadi. Staf dari trans mulai berdatangan. Ya ampun, sial sekali.

“Kalian berdua tidak apa-apa?” tanya petugas Trans yang tadinya berjaga di loket. Ini adalah pertama kalinya aku melihat mereka keluar dari pekerjaan mereka yang biasanya. Tapi hanya yang laki-laki saja, yang perempuan masih berdia loket karena ada yang harus tinggal disana untuk menjaga. Walau aku bisa melihatnya sesekali melirik ke sini.

“Ya, kami tidak apa-apa,” jawabku datar. Aku melihat ke salah satu layar monitor yang berisi kapan bis yang akan kami naiki nanti datang.

Sudah datang, lebih baik kita segera pergi dari halte ini. Kuharap tujuan mereka tidak sama dengan kami.

Lihat selengkapnya