Wanita itu berkata kepada kami dengan hangat, “Selamat datang di Kafe Staus.” Setelah tersenyum beberapa saat ekspresinya berubah, menjadi seperti rasa puas yang menjengkelkan bagiku, aku tidak bisa menyebutnya senyuman sombong. “Oh, sepertinya aku pernah melihatmu sebelumnya.”
“Benarkah?” tanyaku singkat. Aku tidak ingin membuat masalah dengan orang berbahaya sepertinya. Tetapi, Rela sama sekali tidak merasa terancam atau bagaimana. Rela hanya melihatnya sebagai pelayan biasa yang bekerja di kafe, tidak kurang, tidak lebih.
“Iya, kalau tidak salah... sekitar empat sampai lima tahun yang lalu. Ketika kau masih SMP, benar? Ketika itu kau sedang wisata sekolah atau semacamnya.”
Wanita ini membaca pikiranku seperti mainannya. Dia tidak salah tapi tebakannya lebih akurat ketimbang anak panah yang ditembak dari titik buta. Sebegitu baguskah ingatannya sampai bisa mengenaliku setelah sekian lama, bahkan sampai sedetail itu?
“Iya, bagaimana kau bisa tahu?” tanyaku sedikit merinding, tetapi aku berusaha menahannya agar tidak terlihat ketakutan.
“Aku, selalu tahu tentang pelanggan yang pernah datang ke kafeku. Karena, aku tahu suatu saat nanti mereka pasti akan kembali ke sini.” Wanita itu berjalan mendekatiku dan menepuk pundakku sambil berjalan terus. Tak lama dia berkata, “Nikmati waktu kalian di sini. Akan kubawakan menunya setelah kalian memilih meja.”
Wanita itu, siapa dia?
Dilihat dari tampangnya, seharusnya umurnya tidak jauh berbeda dariku. Tetapi gaya bicara dan cara penyampaiannya tidaklah biasa untuk orang seumuranku. Aku sedikit sadar karena banyak hal yang memaksaku untuk memahami hal yang seharusnya kuketahui di lain umur. Dia bukan sekadar barista biasa, ada sesuatu yang menggangguku darinya.
Daripada itu, Rela justru melihatku dengan khawatir. Dia tidak tahu apa yang barusan terjadi tetapi dia bisa melihat ada yang tidak beres dengan diriku. Aku harus tenang, anggap saja yang barusan itu angin lewat.
“Baiklah Rela, bagaimana kalau yang di dekat jendela?”
Gadis ini mengangguk keras, menandakan ‘ya’ dengan tiga tanda seru. Sedari tadi dia juga menahan untuk tidak menempelinya. Rela mungkin menyukainya sejak dia menaiki bis trans tadi. Waktu dulu aku juga terkadang suka begitu. Sekarang pun aku suka melihat ke luar jendela di tempat-tempat seperti ini tanpa alasan.
Kami berdua pun duduk di meja paling pojok yang memiliki jendela di sebelahnya. Aku yang duduk di pojok dan Rela di depanku, kembali menempelkan tangannya ke jendela. Selagi dia teralihkan, aku menoleh ke dalam kafenya. Dulu, karyawannya lebih sedikit dari yang sekarang. Satu-satunya staf yang kuingat adalah barista yang dulu mengajakku ngobrol. Aku melihat seseorang yang sangat mirip dengannya sedang mengelap meja yang lumayan jauh... tidak, daripada mirip malahan persis seperti lima tahun lalu. Apakah dia awet muda?
Nona itu masih cantik jelita seperti terakhir kali aku melihatnya. Apa dia juga mengingatku? Kelihatannya dia sedang sibuk dengan bebersih tempat ini. Aku tidak tahu persis jam berapa tempat ini buka, tapi dilihat dari kondisinya sudah pasti belum lama.
Hmm? Perasaan ini lagi... jangan-jangan...
“Baiklah, apa yang bisa kupesan?” tanya wanita itu dengan rasa riang.
Rela dengan santainya berbalik dari jendela ke posisi normal, sedangkan aku hampir saja lompat dari kursiku. Sedari tadi, wanita ini bikin kaget saja. Aku bahkan tidak sadar bahwa menunya sudah berada di atas meja.
“Sen bilang kalau teh di tempat ini sangat enak,” ujar Rela dengan spontan tanpa basa-basi.
“Heee... Yah, dia tidak salah,” balas barista itu dengan senyuman mengejek. Matanya yang hitam melirik ke arahku seakan berkata, “Jadi hanya itu saja?”
Ada perasaan kesal yang membuih di dadaku, tetapi aku tidak bisa melontarknya untuk suatu alasan. Karena aku tahu kalau itu bukanlah ide bagus. Walau aku sendiri tidak tahu kenapa itu bukanlah ide yang bagus. Pada akhirnya aku diam dan memesan yang kupikir enak.
Setelah sedikit menelusuri, aku melihat beberapa menu baru yang sebelumnya tidak ada waktu itu. Mungkin wafel bisa dicoba, Rela juga pasti mau. Kuharap dia tidak memakannya seperti vacuum cleaner lagi.
“Dua porsi wafel, satu untukku dan gadis ini. Lalu iya, teh yang sama.”
Wanita itu mencatatnya. Kalau dilihat dari pekerjaan, dia tampak seperti karyawan biasa. Tapi jika tadi dia berkata kalau kafe ini miliknya. Kenapa dia ikut bekerja menjadi barista? Dia terlihat seperti tipe pemilik yang ikut turun ke lapangan untuk merasakan sendiri pekerjaan karyawannya.
Tangannya berhenti bergerak lalu dia bertanya dengan lembut, “Ada tambahan?”
“Tidak, terima kasih,” jawab Rela dengan tegas. Bagus Rela, aku tidak perlu mengeluarkan uang tambahan. Setelah ini aku ingin istirahat sebentar.
Barista itu mendempeti Rela dan sedikit menunduk. Lalu dia berkata, “Tapi, kau tahu. Seharusnya perempuan sepertimu memesan sesuatu yang lebih. Biasanya seperti itu di sini. Jadi nona tidak perlu malu-malu untuk memilih menu yang lain. Jangan khawatir, hampir semua menunya aman untuk dompet anak kuliahan.”
Barista itu melirik ke arahku dengan senyuman jahat. Auranya yang sedari tadi kurasakan semakin pekat.
Gawat! Wanita ini menghasutnya. Aku lupa kalau dia bisa membaca pikiranku. Aku melirik ke Rela dan dengan mudahnya dia sudah terhasut. Rela kembali membaca menunya, tetapi aku tidak bisa berkutik apa-apa. Wanita ini tahu kalau aku tidak akan bergerak sembarangan, karena itu dia nekat. Bahkan dia masih sempat-sempatnya menunjukan ekspresi manisnya itu. Aku jadi sedikit penasaran dengan sifat aslinya. Tolong jangan pesan yang mahal-mahal, Rela.
Rela kelihatannya sedang melihat-lihat bagian es krim, matanya tertuju kepada satu gambar. Akhirnya mulutnya terbuka, “Mungkin... Parfait berwarna merah ini.”
“Pilihan yang bagus nona~,” ujar wanita itu selagi menarik buku menu yang ada di hadapan Rela. Dia lanjut mencatat dengan senyuman licik terlukis di wajahnya. Dengan senang dia mengakhiri pembicaraan, “Kalau begitu aku permisi dulu.”
Barista itu pun kembali dengan elegannya. Aku hanya bisa melirik ke menu yang masih terbuka di depanku. Ketika kucek harga dari parfait yang dimaksud tersebut harganya memang cukup standar, ini sih parfait stroberi. Aku tidak tahu apakah wanita itu hanya menggertakku atau apa. Aku menutup menunya dan akhirnya memberanikan diri untuk membahas topik yang sedari tadi tertunda.
Aku mengeluarkan arloji itu dan meletakkannya di atas meja. Rela sedikit terkejut dan ekspresinya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Aku tahu dia tidak menyukainya, tapi setidaknya aku harus tahu bagaimana hal tadi bisa terjadi.
“Jadi Rela, tentang hal yang terjadi di halte tadi.”
Rela terlihat enggan untuk mengucapkan sepatah kata. Aku jadi merasa seperti sedang menginterogasi seseorang dan sedikit merasa bersalah. Rela menegakkan posisi duduknya dan menghela nafas, dia sudah membulatkan tekad.
“Aku sama sekali tidak tahu,” jawabannya dengan penuh kepolosan. “Semuanya terjadi begitu saja, waktu itu aku merasa kalau-”
“Sudah cukup,” selaku. Aku mengambil kembali arlojinya dan menyakunya. Aku pun berusaha untuk sedikit menghiburnya, “Kau sudah menjawabnya, kalau memang tidak tahu ya biarkan. Aku hanya cukup penasaran. Kau sendiri juga jangan kaku begitu, biasanya Rela selalu santai di hadapanku.”
Masih dalam keadaan murung, Rela menjawab, “Itu, karena aku sedih tidak bisa memberikam jawaban yang memuaskan. Aku sangat ingin memberi tahunya, tapi semua itu terjadii begitu saja.”
Tiba-tiba seseorang datang, eh... bukan hanya seseorang. Dia adalah yang dulu menemaniku ketika di sini. Dengan anggungnya dia meletakan dua piring wafel dan dua gelas teh hangat untuk kami berdua, lalu satu parfait diletakan pada sisi Rela. Aku bisa merasakan kalau pandangan wanita itu berfokus ke arahku. Ketika kami berdua saling bertatapan, aku bisa sedikit merasakan kalau orang ini tidak ingin kita bertukar suara.
Wanita itu pun langsung berbalik ke arahnya datang dengan dingin. Apakah dia dulu sedingin itu kepadaku, perasaanku berkata lain. Bagaimana pun juga, terima kasih untuk makanannya.
Hampir lupa, cuci tangan dulu.
Aku berdiri dari kursiku dan meminta izin, “Rela, aku cuci tangan dulu, nanti gantian ya.”
Rela yang baru saja ingin menyendokkan garpunya langsung berhenti, dia kalau lagi makan benar-benar tidak karuan nafsunya. Dengan manis dia pun menjawab, “Ya, tentu saja.”
Aku pergi ke wastafel yang kebetulan di dekat kamar mandi, lalu mengambil wastafel yang di sebelah kiri. Tiba-tiba aku melihat sebuah kotak lensa kontak di sebelah kanan wastafel yang kugunakan. Ketika kutengok, ternyata dia adalah wanita pemilik kafe ini. Tapi ada yang aneh, matanya berwarna merah. Mirip seperti Rela, tetapi sedikit lebih gelap, jadi warna hitam tadi hanya sebuah lensa konta.
“Ah, kau. Kau tidak terkejut karena sudah melihat yang lebih aneh daripada ini ya,” ujar wanita itu sambil menepuk kedua pipinya di depan cermin.
Sepertinya dia tahu soal Rela. Akan kuabaikan karena aku tidak melihatnya sebagai ancaman seperti Nevin tadi. Aku membasuh tanganku di wastafel dan membalasnya, “Ya begitula kira-kira. Belakangan ini, hidupku benar-benar aneh.”
“Seperti apa?”
Aku menghela nafas dan menjawab, “Seperti semua ini sudah ditakdirkan untuk terjadi. Kehidupanku yang sengsara ini, seperti ada sesuatu yang menarikku. Aku selalu merasa dituntun untuk melakukan sesuatu. Apakah akan seterusnya seperti itu? Hidup seperti boneka.”
Itulah yang kupikirkan selama ini. Benang takdir yang sudah diciptakan sebelum diriku terlahir. Sedari dulu, aku selalu merasa diriku hidup sebagai karakter yang menyedihkan. Seperti karakter dalam cerita, tapi bukan juga. Aku sendiri juga bingung bagaimana menjelaskannya. Mungkin bahasa yang bisa mendeskripsikannya adalah abnormal.
“Kau benar dan salah di saat bersamaan,” ujar wanita itu setelah mengenakan lensa kontaknya. “Sesuatu yang belum terjadi tidak bisa disebut takdir, tapi yang sudah terjadi lah. Kau dilahirkan itu adalah takdir, kau bertemu gadis itu juga, dan datang hari ini ke kafeku. Tapi yang nanti akan terjadi tidak bisa disebut takdir. Mau anak dalam ramalan, melawan raja iblis, dan sebagainya itu baru bisa disebut keputusan. Jika kau memutuskan untuk mengikuti jalan itu maka kau sendiri yang menuntun dirimu. Pilihan akan selalu ada apapun keputusanmu.”
Ketika wanita itu berhenti berkata dan membasuh mukanya. Aku pun berpikir sejenak tentang apa yang dia katakan barusan. Dia bermaksud kalau akulah yang menyebabkan diriku seperti ini? Padahal sudah berapa kali hal aneh yang datang mendadak padahal aku tidak pernah bersangkut pautan dengannya. Hal asing yang tiba-tiba terhubung denganku.
Setelah wanita itu selesai dia melanjutkan, “Tapi hanya karena kamu bisa memutuskan, bukan berarti tuhan menginzinkan. Ada beberapa yang kebetulan dituntun oleh-Nya karena dia memang lebih pantas di jalan yang berbeda. Mungkin hal itu sangat berat, menyakitkan, atau menyedihkan. Kau merasa seperti kehidupan begitu berpaling kepadamu. Tapi dengan adanya hal itu kau sadar. Kau jadi bisa menghargai hal kecil yang datang kepadamu. Contohnya, gadis yang sedang menunggumu itu. Just take my words with a grain of salt. Kalau kau yang sekarang...”
Wanita itu berjalan duluan dan menepuk pundakku lalu kembali melanjutkan, “...pasti tahu kapan dirimu akan mekar suatu saat nanti. Itu adalah janjiku, bukan takdir. Bangun dan hirup aroma teh itu, Sen.”
Eh...?
Dia barusan memanggilku apa? Perasaanku saja atau aku memang tidak pernah memberi tahunya namaku. Tapi dia kelihatan benar-benar akrab denganku, sampai menceramahiku sejauh itu. Jadi ingat dengan ibu dulu. Mungkin dia tahu namaku dari percakapanku dengan Rela. Apa yang dikatakannya ada benarnya juga sih. Tapi dia sendiri juga bilang untuk jangan terlalu terpaku. Benar-benar wanita yang misterius.
Sesaat itu juga aku sadar kalau aku tadi sedang cuci tangan dan lupa mematikan kerannya. Aku mengeringkan tanganku di alat pengering dan berjalan kembali. Diriku bisa melihat gadis polos yang bosan sedang bermain dengan wafelnya menggunakan garpu karena dia tidak ingin memakannya duluan. Baik sih, tapi aku tidak pernah melihat seseorang sampai sebegitunya.
“Maaf membuatmu menunggu, harusnya kau makan duluan saja tadi.”
“Duh, padahal Sen sendiri yang bilang untuk menikmatinya. Makan sendirian itu, rasanya tidak enak.”
Ketika dia berbicara begitu, tiba-tiba aku tercengang tanpa suatu alasan. Setelah menggelengkan kepala dengan singkat. Aku duduk kembali dan kali ini dia lah yang pergi ke wastafel, kuharap dia tahu cara mencuci tangan yang benar. Dia selalu bisa meninggalkan sedikit senyuman untukku.
Tapi bagaimana pun juga, kalau kulihat-lihat lagi. Parfaitnya memang kelihatan enak sih, aku jadi sedikit penasaran dengan rasanya. Guuh... tatapan macam apa ini.
Aku melirik ke asal tatapan itu dan melihat wanita itu tersenyum licik ke arahku dari jauh. Sial, dia tahu apa yang sedang kupikirkan. Memang sih, tapi aku tidak mau mengeluarkan terlalu banyak duit juga. Nanti aku minta sesendok saja dari Rela untuk merasakannya. Ya, itu sudah cukup untukku. Aku juga sudah dewasa, tidak perlu terlalu memikirkan hal seperti ini.
Setelah menunggu cukup lama sambil menahan diriku Rela pun kembali. Tentu saja tangannya masih basah, dia tidak tahu dengan alat pengering itu. Gadis ini mengambil tisu yang tersedia di meja dan menggunakannya untuk mengeringkan tangan, tidak salah tapi bukan itu tujuannya.
Aku juga ikut memotong wafelku dan memakannya. Seperti yang diharapkan, memang enak. Rela juga sepertinya menikmati wafel itu. Lebih baik lagi, dia tidak makan dengan terlalu cepat. Yang Rela katakan barusan, ya... ketika Heru datang untuk mengajakku makan bersama, makanan yang menurutku biasa terasa lebih nikmat, sama seperti wafel yang sudah luar biasa ini. Juga, ketika belakangan hari ini Rela makan bersamaku, aku bisa merasa sedikit tenang, walau pada akhirnya dia habiskan dengan secepat kilat.
Sekarang, semua tentang arloji itu tersingkirkan. Untuk sementara pikiranku kembali teralihkan dengan barista seram berambut hitam itu. Salah satu karyawannya yang dulu kukenal masih terlihat sama. Aku benar-benar penasaran.
Tiba-tiba Rela menawarkanku sesuatu, “Sen, kau mau coba parfaitnya?”
“Boleh, aku juga belum pernah mencobanya,” jawabku santai. Kelihatannya saja santai, tetapi aku benar-benar senang ditawarkan parfait itu. Satu sendok saja sudah cukup, aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya.
Rela menyendok parfaitnya dan menyodorkannya padaku. Aku tanpa basa-basi langsung menyantapnya. Oho, rasanya benar-benar enak. Jika kubandingkan dengan harga yang kulihat di menu, ini benar-benar layak untuk harga segitu. Dua puluh lima ribu bukan apa-apa untuk parfait ini. Tapi tetap saja ini bukan makanan sehari-hari. Kalau sekali dua kali tidak masalah menimati yang seperti ini.
“Enak, Sen?” tanya Rela sembari berusaha mengimitasi senyuman barista tadi.
Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan sampai ikut tersenyum seperti itu. Aku pun menjawabnya dengan jujur, “Tentu, aku malah tidak menyangka bakal seenak itu. Mungkin lain kali aku akan beli lagi kalau mampir. Bisa jadi aku akan sering ke sini ketika pulang kuliah nanti. Tempatnya sangat nyaman dan makanannya pun tidak kalah, begitu juga dengan suasananya.”
Rela menawarkanku lagi satu sendok, tetapi pada akhirnya aku menolak karena aku ingin melihat Rela menikmati semuanya. Lagipula parfait itu memang jatahnya. Kalau aku memang benar-benar ingin, aku bisa pesan lagi kapan-kapan.
Rasa dari tehnya yang khas tidak pernah berubah, aromanya juga khas. Kalau begini terus aku bisa berlama-lama jadi ternostalgia. Kenapa ya dulu aku tidak pernah kepikiran untuk pergi ke sini lagi. Yasudah lah, aku bersyukur sekarang sudah berkunjung ke kafe ini, tidak ada penyesalan.
Wafelku sudah habis, begitu pula dengan tehku yang hanya tersisa ampasnya yang tenggelam. Rela masih menikmati parfaitnya, aku tidak tahu antara dia tidak enak untuk cepat-cepat menghabiskannya karena aku bilang untuk menikmatinya atau dia benar-benar menikmatinya. Pelanggan yang keluar dan datang sangat konsisten. Ketika ada yang keluar, diganti dengan pelanggan baru yang masuk. Tetapi, aku tidak melihat satupun yang keluar begitu kami masuk ke sini. Yang ada malah kami disambut oleh pemiliknya yang cukup menyeramkan dan aneh itu.
Banyak dari mereka yang sedang berkumpul di dekat kasir, termasuk barista yang dulu menemaniku dan wanita aneh itu. Kira-kira apa yang sedang mereka bahas. Paling tidak, masalah yang sedang tenar-tenarnya di bulan ini. Hmm, aku lupa kalau mereka punya tanda pengenal di seragam mereka. Aku sampai tidak memperhatikannya tadi. Tahu begitu tadi aku lihat namanya, begini jadinya kalau kebanyakan mikir hal yang tidak perlu.
Kalau ada yang lewat, aku akan sedikit mengintip. Rela masih memakan parfaitnya jadi masih ada waktu. Aku hanya perlu sedikit bersabar ditambah sedikit keberuntungan. Ya, keberuntungan, kemampuanku yang hampir tidak bisa kuandalkan karena selalu membawa masalah.
Rasa bosan pun membuatku mengalihkan pandangan ke luar jendela. Keadaan yang selalu sama untuk ibu kota, tidak pernah berubah. Bahkan monumen raksasa itu bisa kulihat dari sini. Musim hujan, tetapi di luar masih cerah saja. Biasanya jam-jam segini sudah mulai mendung. Lebih baik aku tidak membahasnya sebelum semua memburuk.
Rela hampir menyelesaikan parfaitnya, mungkin sudah waktunya kami keluar. Masih banyak yang ingin kulakukan di tempat ini, tapi aku tidak bisa melibatkan Rela. Dia tidak perlu terlibat dengan masa laluku.
Aku berdiri dan berkata, “Aku mau bayar dulu, kau habiskan saja parfaitnya. Nanti aku segera kembali.”