Rela, Where it start it end

Revain
Chapter #7

Bab 7

Aku tidak melihat Nevin bersamanya, wanita ini selalu saja bersikap santai. Tidak daripada santai, dia lebih ke diam. Aku sama sekali tidak bisa membaca pikirannya. Dia datang ke atas sini seorang diri, lalu kebetulan bertemu denganku. Apa memang ini kebetulan, atau semua ini sudah dia rencanakan.

Aku sedikit menggertakan gigiku dan menjawabnya dengan kasar, “Tentu saja tidak.” Aku diam sejenak dan menunduk dengan sunyi. Aku tersenyum dan melanjutkan, “Kau tidak perlu ikut campur, Elisa. Aku tidak membutuhkan bantuanmu lagi.”

Wanita itu memejamkan matanya untuk beberapa saat lalu membalas, “Begitu kah,” Elisa menghela nafas dan melanjutkan, “kau tidak perlu memaksakan untuk tersenyum. Kau tidak bisa bersama gadis itu terus-menerus. Apa kau akan tetap memajang senyuman palsumu itu?”

Senyuman palsu? Memangnya apa yang dia tahu? Selama ini memangnya kau tahu apa?

Aku mengerutkan dahiku. Ini bukanlah tempat yang bagus untuk membuang rasa kesal. Sepertinya wanita ini memanfaatkan hal itu agar aku menahan emosiku. Sialan, aku harus bisa mengendalikan diriku. Elisa ingin aku terbawa ke dalam permainannya, kalau begitu akan kumainkan.

“Memangnya kau tahu apa soal senyuman. Yang kau sisakan hanya rasa penyesalan untukku. Juga,” ujarku dengan kecut, “gadis ini adalah tanggung jawabku. Aku tidak akan meninggalkannya sampai dia kembali.”

Elisa menyilangkan tangannya dan tersenyum, “Hmpf, sepertinya kau sudah sedikit berubah, Sen.” Matanya lalu tertuju kepadaku sambil menjaga posturnya. Aku tidak pernah melihat sisi Elisa yang seperti ini. “Kalau begitu maafkan aku. Teruskanlah, aku akan menunggu bunganya mekar. Dan juga, aku turun duluan, Nevin mungkin sudah selesai ke kamar mandi.”

Tunggu dulu, wanita ini ke atas sini hanya karena orang itu ke kamar mandi? Apa-apaan dia?

“Kau serius?” tanyaku tidak percaya.

Elisa berbalik dan berjalan kembali ke lift sambil berkata, “Ya, nikmati masa-masa ini Sen. Kebahagiaan tidak akan bertahan lama, kau harus bersiap dengan resikonya.” Dia berhenti sejenak dan kembali melihat keluar untuk tersenyum sekali lagi. “Tempat ini tidak buruk juga, harusnya dulu kau mengajakku ke sini sekali-sekali.”

Dan aku melihatnya pergi masuk ke dalam elevator itu. Elisa mungkin sudah tau kalau Rela bukan orang biasa. Sejak tadi bertemu di halte, kenapa aku baru menyadarinya sekarang. Memikirkannya pun percuma, aku tidak akan pernah mengerti cara berpikirnya. Tunggu, aduh, lupa bertanya tentang apa yang dia bisikan di halte tadi... ah sudalah...

Hm? Ada yang menarik-narik jaketku...

Ah, Rela sudah selesai ternyata. Wajahnya benar-benar gemerlap, kurasa dia benar-benar menikmati dirinya tadi. Baguslah kalau begitu, tapi ada apa dia kemari menarik-narik jaket seperti anak kecil.

“Kenapa?” tanyaku singkat.

“Sen, kau tidak ingin mencobanya?” tanya Rela matanya masih penuh semangat. Untunglah tadi dia tidak melihatku berbincang dengan Elisa.

Aku melirik ke seluruh teropong, semuanya sedang digunakan. Aku bahkan tidak sadar kalau ada banyak anak-anak sekarang, perasaan tadi tidak sebanyak ini. Mungkin aku terlalu terpaku dengan percakapanku bersama Elisa sampai tidak melihat keadaan. Aku menunjuk teropong yang tadi digunakan Rela dan menjawab, “Tapi teropongnya tidak ada yang kosong.”

Rela berbalik, dan terkejut kalau teropongnya sedang digunakan orang lain. Dia lanjut melirik ke arah teropong-teropong yang lain, semuanya bernasib sama. Wajahnya sedikit tertunduk dan rasa kecewa terlukis di matanya. Aku memang tidak berniat untuk melakukannya juga, tapi gadis ini kelihatannya ingin sekali agar aku juga merasakannya sendiri.

“Sudah tidak apa-apa, aku bisa datang lagi lain waktu,” ujarku sembari mencabut handsfree-ku dari telinganya. Rela langsung melirik ke tanganku yang mengambil ponsel genggamku yang masih berada di saku jaketnya. “Daripada itu apa kau sendiri menikmatinya?”

Rela yang masih menunduk menjawab dengan pelan, “Ya, tapi tidak adil kalau Sen tidak menikmatinya juga.” Kedua tanganya memegang ujung jaket dan dikepal dengan kuat.

Aku menyaku telepon genggamku bersama dengan handsfree­-nya. Lalu aku membalas keluhannya sambil menepuk pundaknya, “Tentu saja aku menikmatinya, kalau tidak, aku sudah menyeretmu pulang sedari tadi.”

“Begitu ya, tapi sedari tadi kenapa wajah Sen terlihat begitu masam?”

Ah, perempuan ini sadar. Aku tidak bisa bilang kalau tadi aku bertemu Elisa lagi. Pundakku menjadi sedikit tegang dan dengan cepat aku pun menjawabnya, “Tidak, aku hanya tidak terbiasa berada di keramaian. Bisa dibilang, aku lebih suka tempat yang sedikit sepi ketimbang ramai.”

Alasan yang tidak buruk, juga itu bukan sebuah kebohongan. Mendalih memang salah satu keahlianku, dan itu juga salah satu sifat buruk yang paling terlihat. Tapi, tidak apa-apa lah, aku tidak ingin gadis ini lebih cemberut lagi, gadis ini juga mungkin akan melihat dalihku.

Rela kembali tersenyum dan menatapku dengan manis lalu berkata, “Baiklah, ayo turun.” Setelah menampakan wajahnya cerianya dia pun lanjut bertanya, “Masih ada tempat yang ingin Sen kunjungi bukan?”

Duh, repot juga kalau ada orang sepertinya. Yasudah lah, aku ikuti saja alurnya. Semua yang biasanya kulakukan tidak punya efek pada Rela. Apa yang kira-kira akan terjadi setelah ini, aku menjadi penasaran. Tapi, yang dikatakan Elisa tadi masih sedikit menggangguku. Apa yang sebenarnya wanita itu rencanakan?

“Begitulah,” jawabku singkat sambil berjalan ke elevator. “Kau mau minum dulu nanti?”

Rela muncul dari sebelah kiriku dan membalas, “Aku tidak haus, kalau Sen haus aku tidak keberatan untuk istirahat sejenak.”

“Aku tidak begitu haus sih, tapi ya nanti mampir dah kita beli air.” Aku tertawa kecut setelah mengucapkannya lantaran mengingat rekanku yang selalu mengeluh untuk bawa air sendiri ke monas karena kalau beli di sini harganya suka bikin dompet teriak.

Kami berdua menuruni elevator dan kembali ke lantai yang tadi. Kami pun menuruni tangga ke basement. Ketika aku sedang iseng melihat-lihat sekeliling. Aku menemukan Elisa di kejauhan bersama seseorang yang kelihatannya Nevin. Elisa kebetulan pada saat itu melirikku dan kami pun bertatapan. Dia mengangguk pelan dengan ekspresi bersalah dan langsung mengalihkan pandangan. Sepertinya itu kodenya untuk salam jarak jauh.

Tangan kananku tiba-tiba ditarik oleh Rela. Aku sempat merasa tersentak dan kaget berkat tarikannya yang mendadak itu, gadis ini tenaganya kuat sekali. Kami berjalan cepat keluar, mungkin Rela sadar kalau berlarian di tempat umum seperti ini akan membuat masalah. Aku serasa seperti anak kecil yang ditarik pulang karena mainnya kesorean.

Tak lama kami sampai di tempat awal kami masuk, aku hampir ngos-ngosan dengan cara Rela berjalan tadi. Aku memang jarang olahraga sih, tapi yang tadi itu benar-benar berat buatku. Aku mendapatkan ruang bernafas berkat gadis ini yang berhenti di sini.

Dia melepas tanganku dan berbalik untuk menatapku. Matanya terbuka lebar melihat diriku yang hampir kesusahan bernafas ini. Dia sudah seperti anak-anak yang ikut eskul olahraga. Dengan santainya dia bertanya, “Sen tidak apa-apa?”

“Tidak apa-apa, aku penasaran bagaimana kau seharian ini tidak lelah. Walau sudah naik sana turun sini,” jawabku berat. Setidaknya biarkan aku bernafas satu menit sebelum kau bertanya. Kondisiku pun membaik setelah beberapa menit.

Rela langsung membalas begitu dia melihatku berhenti terengah-engah, “Maaf, aku sendiri juga bingung kenapa aku tidak merasa capek.” Gadis ini mengalihkan pandangannya dariku, sepertinya ada sesuatu yang menarik perhatiannya.

“Sebelah sini!” teriaknya sambil mengangkat tangan.

Ketika kulirik ternyata ada seseorang yang menjual air mineral botol. Dari baju olahraganya sudah pasti anak SMP, mungkin sedang melakukan sesuatu untuk eskul mereka. Anak laki-laki-laki itu dengan cepat berlari ke arah kami. Tentu aku segera menyiapkan uang karena Rela tidak mungkin membayarnya.

Saat ia sudah berdiri di depan kami berdua, aku pun menanyakan harganya. Anak ini menjawab kalau lima ribu dapat dua. Aku membayarnya dan memberikan satu kepada Rela. Setelah mengucapkan terima kasih anak itu kembali ke tempatnya yang semula. Dan setelah kupikir-pikir, harganya tidak seburuk yang dikatakan, atau aku hanya beruntung bertemu dengan yang menjual dengan harga segitu.

Setelah minum aku merasa staminaku kembali bugar dan rasa lelahku hilang. Aku melirik Rela yang masih belum meminum airnya dan hanya menatapku. “Kau tidak meminumnya, Rela?” tanyaku akhirnya.

Rela langsung tersentak mendengar pertanyaanku, jadi dia bengong toh. Dia langsung membuka botolnya dan menenggak seperti orang yang sudah lari maraton. Aku ingin mengatakan untuk tidak melakukannya, tapi Rela sudah tersedak duluan. Gadis itu langsung batuk-batuk tidak karuan, aku hanya beisa tersenyum pahit melihatnya. Kutepuk-tepuk punggungnya untuk sedikit membantu.

“Dasar kau ini,” ledekku pelan.

Rela tertawa kecil disisipkan dengan batuknya. Lalu setelah baikan dia membalas, “M-maaf, aku senang saja tadi melihat Sen begitu segar setelah minum.”

Aku menjitak Rela dengan halus dan mengomelinya, “Tidak perlu sampai segitunya, duh.” Aku berbalik dan berjalan kembali ke jalan raya. “Ayo, apel itu tidak akan datang dengan sendirinya.”

Langkah kaki Rela yang cepat terdengar di belakangku dan tahu-tahu dia sudah di sebelah kiriku. Senyuman simpul terpajang di wajahnya. Aku hanya bisa terus melangkah tanpa berkata apa-apa. Aku melihat tong sampah di kejauhan di tepi jalan dan melemparnya. Aku sangat terkejut ternyata lemparanku masuk. Keajaiban apa ini? Mungkin itu hanya sebuah ilusi belaka.

“Sen, kau berhasil!” ujar Rela dengan semangat. Gadis itu tersenyum sangat lebar seperti melihat sesuatu yang luar biasa. Padahal itu hanya kejadian belaka. Pada saat itu juga aku merasa telah melakukan sesuatu yang fantastis, walau itu sebenarnya biasa.

Rela gantian melempar dan lemparannya juga masuk, sama sepertiku. Gadis itu menyatukan telapak tangannya sambil menyeringai. Dia melirikku dengan senyumannya yang indah itu. Aku ikut tersenyum melihatnya senang. Hal sesimpel ini bisa membuat kami berdua gembira. Ada-ada saja aku.

Aku merasakan sesuatu menetes di pundakku. Akhirnya hujan turun juga di sini. Padahal aku sudah berdoa kalau turunnya nanti saja pas pulang. Sebentar lagi memang pulang sih kami, tapi maksudku kalau sudah sampai di halte. Hujan ini terus turun semakin deras, memaksa kami berdua untuk mencari perlindungan.

Tanganku meraih Rela dengan sigap dan aku segera berlari ke arah suatu toko. Pundakku lumayan basah karena tidak segera lari tadi. Rela juga basah, untung saja dia menggunakan tudungnya, rambutnya jadi tidak basah, syukurlah. Di sini juga banyak orang yang sedang berteduh. Aku menoleh ke atas dan melihat tetesan yang terus menghantam. Tidak ada tanda-tanda kalau cuaca akan mereda, sudah pasti awet kalau seperti ini. Aku juga merasa tidak nyaman berteduh kalau ramai begini.

Tempat ini kebetulan berada di samping kantor polisi. Aku melirik ke arah toko yang berada di belakangku dan mataku terbelalak. Di balik jendela yang luas itu terdapat berbagai macam buah yang disusun rapi. Tak disangka ternyata itu adalah toko buah yang ingin kusampari tadi. Aku tidak pernah kemari sebelumnya, hanya saja instingku yang mengarahkanku. Aku juga tahu tempat ini dari kenalanku dulu. Dia kebetulan tinggal di dekat sini dan dia biasa kalau beli buah di tempat ini.

Lihat selengkapnya