Suara rem terdengar dan bunyi pemberitahuan kalau kami sudah sampai pun terdengar. Karena tadi banyak halte yang harus kami lewati, bis ini jadi lumayan ramai. Mereka sudah bersiap-siap untuk turun, sementara yang satu ini...
“Hei, bangun,” gerutuku sambil menepuk-nepuk pipi gadis bodoh ini. Pundakku juga sudah merasa pegal setelah satu perjalanan panjang didempetkan dengan kepalanya.
Matanya perlahan terbuka, wajah setengah tidurnya terpajang dan mengarah ke arahku. Rela pun meregangkan tubuhnya dan melihat ke luar. Kita sudah sampai di Halte Pinangranti dan orang-orang sudah mulai turun. Di luar masih hujan walau hanya gerimis. Kalau hanya segini tidak perlu sampai buka payung, tapi awet juga hujnnya sampai sekarang belum selesai.
Aku berdiri dan langsung merasakan darah mengalir kembali ke pundakku. Setelah mencabut handsfree-ku, tanganku langsung meraih Rela agar dia segera berdiri. Matanya langsung terbuka lebar begitu kutarik.
“Ah, aku ketiduran,” ucap Rela akhirnya dengan nada terkejut. Dia langsung menengok ke sekitar dengan panik dan berbuah kaku ketika melihat orang-orang sudah pada turun.
“Iya, selamat sore, Rela. Kuharap tidurmu nyenyak,” balasku dengan nada datar. Awalnya aku ingin bermaksud untuk menyindirnya, tapi setelah kupikirkan lagi, tidak perlu. Kalau untuk Heru mungkin iya. Untuk Rela lebih baik dibiarkan, dia mungkin tidak pernah tertidur sampai seperti ini.
“I-iya, maaf, Sen,” ujarnya sambil menunduk ke arahku. Ekspresinya benar-benar berkata kalau gadis ini sungguh merasa bersalah, walau ini bukan masalah besar untukku.
“Tidak apa-apa, ayo turun. Kalau kau mau beli sesuatu nanti di Indomaret ambil saja kau butuhkan,” tawarku sambil menariknya keluar. Sepertinya kedua tanganku akan penuh dengan tentengan, aku baru menyadarinya.
Setelah turun Rela lantas ingin membuka payung itu, tapi aku aku menahannya. Dia menatapku dengan kebingungan, tapi aku hanya tersenyum simpul ke arahnya. Lalu aku pun berkata, “Tidak perlu, ini cuman gerimis saja. Nanti repot harus buka tutup payung.”
“Begitu ya. Sen sendiri tidak apa-apa? Nanti tidak masuk angin?”
“Aku sudah terbiasa hujan-hujanan. Bisa dibilang, badanku sudah beradaptasi, jadi kemungkinan diriku sakit itu sangat kecil.” Kenapa aku jadi seolah-olah menyombongkan diri dengan kebiasaan burukku. Bukannya mengajarkan yang baik malah memberi contoh yang buruk.
Rela menengadah dan membiarkan wajahnya terkena gerimis, mirip dengan ketika tadi dia mengulurkan tangannya ketika di bawah payung. Aku ingin agar dirinya segera melupakan apa yang baru saja kukatakan dan langsung menariknya ke Indomaret terdekat. Aku hanya bisa membuat ekspresi masam dan menahan malu. Sudah lama aku tidak merasa seperti ini.
“Sen, apa itu Indomaret?” tanya Rela lagi. Seperti yang kuduga gadis ini sangat tertutup dari dunia luar. Aku hanya bisa terdiam untuk menyikapinya.
“Itu di depan ada tulisannya,” balasku sambil menunjuk logo Indomaret yang terpajang di tiang sebelah jalan raya.
Rela hanya mengeluarkan suara “Hooo” setelah aku menjawabnya. Sifat penasaran pun kembali terlihat mengisi jiwanya. Tapi untuk gadis yang hampir tidak tahu apa-apa, caranya berjalan itu benar-benar terlihat seperti anak SMA yang feminim. Lalu aku mendengarnya menyenandungkan reff dari lagu yang kudengar tadi di bis. Jangan-jangan saking dekatnya tadi, dia bisa mendengarnya, tapi kan dia tertidur.
Aku akhirnya menyaku kedua tanganku, tidak lagi menggandeng tangannya. Kami berdua pun masuk dan disambut oleh kasirnya, seperti saat tadi di toko buah yang mana Mira kerja sambilan. Aku langsung berjalan ke rak bagian pasta dan semacamnya, di sana terdapat banyak produk mie. Nah yang diminta Heru tadi... Ramen ya.
Aku langsung tercengang begitu melihat mie yang kupikir sudah punah berdiri di depanku. Dan itu tak lain adalah mie rebus rasa cakalang. Dulu aku hanya sempat memakannya sekali dan rasanya benar-benar bikin ketagihan. Dengan cepat aku langsung mengambil lima. Bersama itu, jantungku berdegup kencang tidak sabar untuk mencobanya nanti.
Tiba-tiba aku mendengar suara tawa kecil dari Rela di kiriku. Sial, aku lupa kalau gadis ini sedang tidak keluyuran dan mengikutiku. Aku langsung terdiam dengan rasa canggung yang tidak tertahan. Bulu kudukku pun ikut berdiri. Sifatku yang memalukan ini keluar di saat yang tidak tepat dan kepalaku terasa panas. Banyak kata-kata yang terombang-ambing di kepalaku untuk kudalihkan.
“Sen sangat suka mie yang itu ya?” tanya gadis itu masih tertawa kecil. Kalau Heru mungkin sudah kupukul wajahnya. Bedanya, dia berkata itu dengan tulus sedangkan Heru hanya untuk mengejek Tapi ini benar-benar memalukan untuk dilihat Rela.
Dia lalu mendepet kepadaku dan mengambil satu bungkus dari tanganku. Dia melihat-lihat bungkusnya dan terlihat sedikit takjub, walau aku sendiri tidak mengerti kenapa. Padahal waktu itu aku pernah membuatkannya, walau bukan rasa yang ini. “Eeeh... ya, sudah lama aku tidak melihat yang ini. Kukira sudah tidak dijual lagi, tapi begitu melihatnya aku langsung tidak sabar untuk mencobanya.”
“Heee, menarik,” ujarnya sambil menaruh bungkus itu kembali di tumpukan tanganku. “Kalau begitu yang diminta teman Sen itu yang mana?”
Aku menghela nafas sebentar untuk menenangkan diri, lalu berjalan ke arah rak-rak ramen sambil menganggap yang tadi itu tidak pernah terjadi. Setelah menulusuri sebentar, akhirnya aku menemukannya. Tidak bisa menahan raut wajah kesalku, aku pun mengambil tiga bungkus yang rasa kari.
“Sen kenapa? Kelihatannya gugup begitu,” ujarnya dengan nada tak bersalah. Kalau dia berkata seperti itu berarti dia belum menyadari yang tadi. Tapi, badanku sedikit tersentak setelah dia bertanya.
“Tidak-tidak abaikan saja,” balasku kaku. Lalu dengan cepat aku berusaha mengalihkannya sambil menunjukkan ramen rasa kari yang kupegang, “Ini yang dia maksud, hanya mie luar negeri yang berukuran lebih besar.”
Aku lalu segera berdiri menjauh dan lanjut bertanya, “Bagaimana denganmu, Rela? Ada yang membuatmu tertarik?” Kuharap dia tertangkap umpanku dan tidak menanyakan hal yang tadi.
“Ah, tidak-tidak. Aku bantu Sen bawakan saja semua yang ingin dibeli. Kelihatannya tangan Sen penuh begitu,” tawarnya sambil menyodorkan keranjang merah yang dia dapat entah dari mana. Gadis ini lalu berinisiatif untuk menaruh semua yang ada di tanganku terkecuali kantung yang berisi buah ke dalam keranjang tersebut.
Setelah membeli semua yang diperlukan, kami pergi ke kasir dan membayarnya. Rela sedikit kagum karena metodenya berbeda dengan yang di toko sebelumnya, terutama pada pemindai barcode itu yang berbunyi. Karena Indomaret sudah tidak menggunakan kantung plastik, aku sudah menyiapkan kangtung sendiri di tas selempangku. Tak lama kami pun keluar dari tempat ini.
Hujannya telah reda, syukurlah. Pada akhirnya yang membawa kantung itu adalah Rela, jadi merepotkannya padahal tanganku yang sebelahnya masih kosong. Tapi tadi dia memaksaku dan aku tidak bisa menolaknya. Kami pun berjalan pulang dengan santai walaupun langitnya masih lumayan mendung. Perjalanan dari sini ke rumah tidak akan memakan waktu lama, tetapi kepalaku sudah tidak sabar ingin bersandar di tembok.
Di depanku, aku melihat sosok seorang laki-laki yang entah kenapa tidak terasa asing. Seakan aku pernah melihatnya dulu, tapi kira-kira siapa? Jika aku bisa melihat wajahnya sebentar mungkin bisa sedikit mengaitkan ingatan lamaku. Agak merepotkan tapi aku sudah penasaran duluan. Juga, sepertinya aku sering melihatnya di jalan ini.
Aku berjalan selangkah lebih cepat, mungkin Rela yang berjalan di sampingku akan sedikit kaget tapi aku harus tahu. Sedikit demi sedikit jarak kami semakin mengecil, kepalanya sedang menunduk. Di saat aku sudah berada di sampingnya aku pun sadar dengan suatu kejadian yang belum lama terjadi. Orang ini adalah yang pernah mencoba merampokku malam itu.
Rambut hitam berantakan yang ada di bawah tudung jaket berwarna hijau. Tidak salah lagi orang ini adalah dia. Orang ini pun melirikku, mungkin karena merasa ditatapi. Matanya pun terbelalak setelah kami memiliki kontak visual. Jalannya berhenti dan dia bersiaga dengan gerakanku.
“Apa yang kau mau?” tanya orang itu dengan nada mengancam.
Rela langsung kuarahkan untuk berdiri di belakangku. Matanya beralih ke Rela lalu kembali kepadaku dengan kedua keningnya dikerutkan. “Kau yang malam itu bukan?” tanyaku dengan tegas.
“Ah, kau yang waktu itu ya... ingin balas dendam?” tanyanya sembari melepas posisi siaganya. Orang ini terlihat sudah pasrah dengan hidupnya, dia sudah mengakui kesalahannya waktu itu dan menerima resikonya.
Aku menghela nafas dan melempar sebuah apel lalu berkata, “Tidak-tidak, aku bukan tipe orang yang suka balas dendam. Yah, walau terkadang aku tertawa di atas penderitaan orang.” Aih, sifat sarkastikku keluar juga akhirnya. Tanpa sadar aku melakukannya.
Orang itu menangkap apelnya dan terlihat kebingungan. “Terima kasih, tapi ada apa?”
“Yah, aku berpikir kalau kau selalu sendirian. Aku baru ingat kalau kau memang suka jalan lewat sini, tapi aku tidak pernah menyapamu.” Aku pun tersenyum pilu mengingat kejadian itu. Entah kenapa aku merasa bersyukur dengan kejadian semalam itu. “Yah, anggap saja ini balasan untuk yang semalam. Aku tahu kau pasti punya alasan tersendiri kenapa.”
“Aku juga baru sadar kalau aku sering melihatmu lewat sini, tapi entah kenapa aku merasa kalau auramu sedikit berbeda dari yang sebelum-sebelumnya,” ujarnya sambil mengusap belakang kepalanya. Ekspresinya sudah tidak sekaku tadi dan mulai terlihat ramah. “Dan juga maaf, untuk yang waktu itu. Aku tidak tahu masih ada orang sepertimu di sini.”
“Santai saja, aku tidak terlalu memikirkannya. Kau mau pulang?”
“Tidak, aku selalu berpindah tempat untuk tidur, tidak ada tempat untuk kupanggil rumah,” jawabnya lalu mengambil gigitan dari apel itu dengan tangan yang satu di saku. “Kau sendiri, aku tidak pernah melihat perempuan yang bersamamu itu.”
Ah ya, Rela. Tapi sepertinya dia tidak terlalu memikirkan apa-apa tentang gadis aneh berambut putih yang satu ini, mirip dengan Mira. “Ya, aku sedang menjaganya untuk waktu yang mendatang. Kalau kau tidak keberatan, mau main ke kontrakanku untuk sementara?”
“Sungguh? Yang harusnya bicara ‘tidak keberatan’ itu aku,” ejeknya sambil meninju pundakku dengan senyuman mengejek. Orang ini tidak seburuk yang kukira. “Taka. Panggil aku dengan nama itu.”
Aku mendengar Rela tertawa lagi di belakangku dan membuatku menjitaknya dengan pelan. Tapi ya, satu atau dua orang tambahan bukan apa-apa. Kontrakanku cukup luas untuk mereka bertiga. Melihat orang bernama Taka ini, aku jadi sedikit iba kepadanya.
Aku pun balik tersenyum kepadanya lalu membalasnya, “Gadis baik hati yang satu ini namanya Rela. Aku Sen, jangan sungkan kalau ada yang ingin kau tanyakan, Taka.”
Wajah pria ini berubah menjadi masam tiba-tiba. Tapi tatapannya tidak mengarahku, melainkan ke belakangku. Bukan ke Rela juga, lalu apa. Taka segera berlari ke depan dan jongkok, setelah kuperhatikan ada sesuatu yang tergeletak di pinggir jalanan. Rela langsung menempelkan wajahnya kepunggungku, tangannya meremas kemejaku dengan kencang.
Aku tidak ingin mengakuinya, tetapi aku sendiri juga tidak mau melihatnya. Aku berjalan ke Taka secara perlahan karena Rela tidak ingin melepasku. Taka terlihat sedang mengernyitkan giginya. Aku mendorong Rela untuk tidak memegangku sebentar. Kemeja yang kukenakan kulepas lalu kulempar ke Taka. Sesaat itu, Rela langsung kembali menempel pada punggungku. Kali ini aku merasakan ada yang membasahi bajuku.
Taka menangkapnya dan langsung menyelimuti hewan malang itu, seekor kucing. Aku tidak ingin tahu apakah dia liar atau ada yang punya. Entah kenapa, aku selalu tidak kuat melihat hewan seperti yang satu ini harus mati berkat ulah manusia. Aku tidak pernah merasa apa-apa ketika melihat orang meninggal atau apa, tapi ketika itu menyangkut hewan berbulu yang satu ini, sesak sekali rasanya. Orang seperti Taka pun juga sampai merasakannya.
Setelah itu Taka pergi ke tanah terbuka dekat sini, aku hanya melihatnya bersama Rela yang masih menumpahkan air matanya ke kaosku. Moodku langsung hancur seketika melihatnya, juga melihat Rela menjadi seperti ini. Tidak ada yang bisa kami berdua lakukan, bahkan dengan kekuatan arloji dan Rela. Itu membuatku kesal sendiri dengan meratapi ketak berdayaan kami.
“Sudah Rela, tidak apa. Kita doakan saja yang terbaik,” hiburku sambil menggenggam tangan kecilnya.
Taka kembali dengan tangan yang kotor dan wajahnya masih cemberut. Aku bisa merasakan bahwa dia sedang mengutuk di dalam hatinya. Pria itu menghela nafas dan menatapku. Lalu dengan nada bersalah dia berkata, “Aku sudah menguburnya. Tidak ada yang bisa kita lakukan, jangan bersedih terus gadis kecil.” Dia melirik Rela setelahnya.
“Itu benar, kau tidak perlu bersedih seperti itu,” hiburku lagi. Kali ini aku berbalik ke arahnya dan aku bisa melihat wajah menderitanya itu, tapi sebisa mungkin kuusahakan untuk tersenyum. “Kucing itu pasti senang telah dikubur dengan layak. Jangan terus-terusan terpuruk, tersenyumlah karena Rela berada di sini di saat-saat terakhirnya.”
Gadis baik hati ini mengusap kedua matanya yang sedang berlinang. Dia lalu berusaha mengangkat kedua ujung mulutnya, masih dengan wajah sedihnya itu. Aku pun mengusap kepalanya lalu menghela nafas pelan. Taka tiba-tiba datang ke arah kami berdua dan merebut tas yang sedang di pegang Rela dengan santainya.
“Biar aku yang membawanya,” ungkapnya dengan tulus. “Rela kah... nama yang cantik. Sen beruntung punya orang sepertimu.”
Aku hampir saja batuk mendengarnya berkata begitu. Tiba-tiba saja dia ngomong seenak jidatnya. Soal bicara seenak jidat, Heru mungkin sebentar lagi sampai, atau malah dia sudah di depan. Yang mana saja dia tetap akan mengoceh ketika melihat wajahku yang seperti ini.
“Ayo, masih ada satu orang lagi yang mau datang, dan kemungkinan besar dia sudah sampai duluan,” sindirku pada Heru yang bahkan orangnya tidak di sini. Lalu aku pun kembali berjalan pulang duluan.
Rela langsung terbangun dan menyeru, “Ah iya.” Aku mendengar usapan matanya dan langkah kakinya di belakangku diikuti dengan langkah kaki Taka yang lebih berat. Setelah kulirik sekali, dia masih menatap ke belakang, ke tempat di mana kucing tadi awalnya tergeletak kali ini dengan senyuman tipis. Kami lanjut berjalan ke kontrakanku yang cukup berantakan itu.
Perasaan tidak enak, bukan... ini adalah perasaan kesal. Tapi bukan kesal karena marah atau apa. Melainkan karena aku melihat sesuatu menungguku di depan rumah. Dan orang itu sedang melambaikan tangannya ke arahku. Wajahnya tidak jelas karena masalah pada mataku tapi jelas-jelas itu adalah orangnya.
Setelah mendekat beberapa meter, dia pun berteriak ke arahku. “Oi, Sen! Jalannya yang lebih cepat dong!! Bilang ke teman yang ada di belakangmu itu juga!”
Aku menoleh ke Taka dan Rela lalu bertutur, “Tolong maafkan temanku yang kurang ajar ini, memang sudah sifatnya seperti itu. Aku sendiri juga sudah cukup lelah untuk menjadi lawannya.”
“Kalau kau yang semalam bertemu denganku sampai berkata seperti itu sekarang, ya apa boleh buat,” balas Taka dilanjut dengan senyuman sinisnya.
Rela pun mengepakkan telapak tangan kanannya dan membalas permintaan maafku setelah Taka, “Sen santai saja, tidak perlu dipermasalahkan. Lagi pula Heru itu teman Sen.”
Setelah kami bertiga sampai, Heru langsung merangkulku, wajahnya benar-benar menjengkelkan. Ingin sekali kupukul saat ini juga ekspresinya yang mengganggu itu. Dia langsung menoleh ke arah Taka dan Rela tapi tidak ada prasangka aneh yang muncul pada mereka. Orang yang mengenakan sweater jingga ini terasa sedikit basah, jangan-jangan dia hujan-hujanan ke sini.
“Kau ini bikin khawatir saja, Sen,” bentak pria kagak jelas ini. “Keluar rumah karena ada urusan lalu pulang-pulang bawa orang.”
“Sudah kubilang itu bukan urusanmu,” keluhku dengan kening dan kelopak mata yang mengkerut. Terkadang orang ini bisa membuatku tersenyum tapi disaat bersamaan membuatku lebih jengkel daripada kepolosan Rela.
Heru akhirnya melepasku dan bertolak pinggang lalu berkata, “Oh iya, perkenalkan aku Heru, sobatnya pria tukang murung ini. Kalian kenalannya?”
Nah ini dia yang merepotkan, bagaimana aku bisa menjelaskan semua situasiku kepadanya. Untuk sekarang aku dengarkan dulu apa yang akan mereka berdua katakan tentang pertanyaannya itu. Taka sudah pasti tidak ada persoalan yang merepotkan, tetapi kalau soal Rela, gadis ini lebih susah ditebak kelakuannya ketimbang hewan berbulu yang suka mencakarku.
“Ya, bisa dibilang begitu.” Taka melipat kedua tangannya, dengan kantung plastik di tangannya dia jadi terlihat aneh. Orang ini tampaknya kesusahan untuk membalas pertanyaan Heru. Kami juga baru bertukar pendapat tadi ketika bertemu pas pulang. Tidak banyak yang bisa dia jawab.
“Aku...” Rela jelas sekali enggan untuk mengatakan isi hatinya. Dia ingin berkata jujur tapi dia juga tahu dengan resikonya nanti. Matanya langsung tertuju padaku dengan tampang memelas bersalah. Dia meminta persetujuanku. Aku hanya bisa mengangguk pelan untuk menjawabnya. Rela pun bersorak dengan penuh tekad, “Aku adalah orang yang telah diselamatkan Sen.”
Taka sedikit melompat ke belakang seraya tercengang ketika mendengarnya, wajar saja. Di lain pihak, Heru hanya terdiam dengan ekspresi setengah kagetnya itu. Setelah memejam matanya, dia tersenyum. Kurasa Heru bisa membaca situasiku yang sekarang.
Dia melirik ke arahku dan berucap, “Ya, memang terdengar seperti Sen yang sekarang.” Heru meninju pundakku lebih keras dari yang Taka lakukan tadi lalu berdiri di sebelahku sambil menumpu pada pundakku juga. Aku tidak tahu apa maunya. “Bagaimana dengan nama?”
“Yang itu Rela,” ujarku sambil menunjuknya. Setelah mengalihkan jariku pada pria yang berada di sebelah kirinya, aku melanjutkan, “dan yang itu Taka.”
“Rela dan Taka...” gumam Heru dengan pelan. “Rela, kau pacarnya Heru?”
Dengan instingku yang mendidih aku segera memukul perut orang sialan ini. Berani-beraninya dia menanyakan hal itu dengan wajah terus-terang seperti itu. Sedari tadi aku menahan kekesalanku tapi akhirnya keluar juga, rasanya lumayan lega. Biasanya aku tidak suka melempar tangan, tetapi peraturan itu tidak berlaku untuk orang yang satu ini. Lagi pula, dia pantas mendapatkan rasa sakit itu.
“Pacar? Apa itu?” tanya Rela dengan wajah kebingungan. Untunglah Rela tidak bergeming saat aku meninju Heru, tapi aku lebih bersyukur dia ini orang yang polos. Setidaknya dia tidak memarahiku karena telah melakukan sedikit kekerasan.
“Abaikan saja Rela, yang dia maksud itu apa kau suka acar? Nah, begitu kan, Heru??” gerutuku mengancam. Tanganku masih memendam di perutnya dan mengencang untuk memaksanya menurutiku.
“Iya-iya, aku hanya bercanda!” jerit Heru meminta ampun. Tangannya menyuruh agar aku segera melepas tinju yang menempel di torsonya itu.
Tak lama kami berempat masuk ke dalam kontrakanku, sepanjang itu aku hanya memasang wajah lesu berkat Heru. Rela juga masih kelihatan bertanya-tanya, terima kasih berkat orang ini. Taka duduk di kursi tamu, masih tidak bisa mengolah dengan sikap kami berdua yang bertolak belakang ini. Haru masih meminta maaf kepadaku tetapi aku hanya mengabaikannya dan menaruh barang belanjaanku di dapur. Buah-buahannya kutaruh di ruang tamu dan Rela sedang menikmati apel yang masih tersisa.
Aku menaruh mie yang diminta Heru di meja makan. Tapi mimiknya tidak terlihat senang sama sekali. Apa aku mengambil merek yang salah atau kurang banyak aku belinya. Tidak, bukan itu sepertinya.
“Melihat sikapmu pada Rela jadi mengingatkanku pada sepupuku, juga kalau tidak salah kau membeli buah itu dari tempatnya kerja,” terangnya padaku sambil mengambil satu bungkus. Ekspresinya tidak berubah sama sekali. Aku tidak terkejut kalau dia tahu aku tadi ke sana.
“Jangan-jangan orang yang tinggal bersamamu selama ini...”
“Bingo~ itu adalah sepupuku. Tapi baru-baru ini, dia pindah,” ujar Heru dengan santainya. Dia berlagak seolah dia tidak memiliki kesalahan sedikit pun. Wajahnya enak juga kalau dijadikan target sasaran.
“Hampir lupa, tadi Mira juga menitipkan salam walau aku tidak tahu untuk apa, padahal dia bisa menge-chat sepupu kurang ajarnya itu. Kalian juga seatap, untuk apa minta nitip salam.”
“Abaikan saja dia,” ledek Heru. Dia bilang begitu dan ikut mengabaikan apa yang kukatakan, tidak jauh beda dengan Mira. “Gadis itu, Rela, dia bukan gadis biasa. Aku merasa kalau ada sesuatu yang memaksamu untuk mengekangnya karena tidak biasanya kau mau berurusan dengan orang luar. Apa lagi setelah kejadian dengan Eli.”