Rela, Where it start it end

Revain
Chapter #9

Bab 9

Wanita ini kembali berdiri di hadapanku, tidak tahu dari mana asal usulnya. Elisa di rumah Heru sendirian tepat di saat Rela dan aku sedang melarikan diri. Penampilannya masih sama dengan saat kami bertemu tadi. Jangan-jangan dia tidak sendirian. Keadaan kami langsung menegang begitu mata kami berdua terkunci. Kalau dia membuat gerakan, aku hanya harus melindungi Rela.

“Tidak perlu sampai seperti itu, Sen. Aku datang untuk membantu,” ujar Elisa sambil melipat kedua tangannya. Punggunya pun disandarkan pada tembok rumah Heru. Matanya sangat tajam seperti biasanya.

“Dan bagaimana aku bisa mempercayaimu?” sangkalku dengan hati-hati. Rela sedikt mundur berkat diriku situasi ketat yang tercipta ini.

Elisa adalah satu dari beberapa orang yang sebisa mungkin kuhindari. Statusnya yang berada di zona abu-abu membuatnya lebih berbahaya dibanding ‘mereka’. Dia adalah salah satu dari orang paling misterius yang pernah kukenal. Apa tujuan sebenarnya dari wanita ini.

Wanita itu menghela nafas panjang dan memalingkan wajahnya dari kami. Dengan nada monoton, Elisa menggertak, “Nevin, kau sudah berjanji padaku. Minta maaf pada mereka.”

Nevin keluar dari balik mobil yang parkir di depan dengan ekspresi kesal. Wajahnya cemberut sambil terus mengalihkan pandangan. Jadi Nevin tidak bisa berkutik di hadapan Elisa. Kalau kuingat-ingat lagi, Elisa tidak pernah sampai membentakku seperti itu dulu. Mungkin berkomentar, tapi tidak pernah sampai menggertak.

Nevin akhirnya memberanikan diri untuk menatapku di wajah. Dia terlihat menyedihkan, mari kita lihat apakah dia berani membuang harga dirinya untuk Elisa. Nevin menunduk menyesal dan berkata, “Maaf soal yang tadi pagi.”

Hooo, dia berani ternyata. Aku melirik ke arah Rela, tapi dia masih bertahan di belakangku. Aku menurunkan tanganku untuk Rela agar dia bisa memberikan keputusan. Aku rasa mereka memang tidak berniat mencari keributan. Tapi, tetapi aku harus tetap waspada dengan segala kemunginkan.

Rela berjalan maju, dadanya dibusungkan ke depan dan gadis ini dengan percaya diri membuka tudungnya. Aku sudah mengecek kalau jalanan di bagian sini lebih sepi dibandingkan saat pertigaan tadi. Tidak akan ada orang yang peduli juga. Aksi Rela membuat Nevin sedikit mundur, dia tersentak oleh ekspresi yang Rela berikan.

“Aku memang belum bisa memaafkan Nevin,” ujar Rela dengan kedua tangan yang mengepal. “Tapi, selama kalian berniat membantu Sen, aku tidak akan komplain.”

“Iya, aku mengerti,” balas Nevin tertunduk oleh kemurkaan Rela. Dia memang terlihat seram saat marah. Setelahnya Nevin mengangkat kepalanya dan mengarah padaku lalu memohon, “Sen, kuharap kau mau berkooperasi.”

Aku hanya menggaruk belakang kepalaku sembari menghela nafas. Tapi aku tidak terlalu mempermasalahkan Nevin. Elisa pasti punya rencana kenapa dia membawanya ke sini. Yang kupermasalahkan adalah kenapa mereka tiba-tiba berusaha untuk memihak kepadaku. Tidak... Kenapa Elisa tiba-tiba kembali berpihak kepadaku.

“Bukankah acaranya akan diadakan di rumahmu Elisa?” tanyaku berusaha mengalihkan.

“Memang benar, tapi aku menolaknya. Rumahku tidak semegah yang kau kira, Sen,” ujarnya lagi tersenyum pilu. “Bisakah kita kembali ke top–”

“Apa mau kalian?” tanyaku lagi berusaha menggali motif mereka. “Terutama kau, Elisa. Kau selalu menjauhiku belakangan ini tapi setelah aku bertemu dengan gadis ini, ketertarikanmu kembali muncul dengan signifikan. Aku tidak masalah dengan Nevin, dia memang orangnya seperti ini.” Aku mengangkat genggaman tanganku yang bergemetaran dan menempelkannya di dada. “Tapi kau, aku tidak bisa percaya pada orang sepertimu. Tidak sampai kau mengungkapkan motif aslimu.”

Elisa terlihat sungguh merasa bersalah, dia selalu memiliki tampang seperti itu ketika aku bertanya apa-apa soal dirinya. Ada banyak hal yang dia sembunyikan dariku, tapi dia masih tetap ingin menyelubunginya di balik tirai hitam. Dan itu hanya membuatku makin geram.

Nevin lalu maju dan berusaha melindungi Elisa dengan kata-katanya, “Sudahlah Sen. Itu adalah masa lalu. Elisa–“

“Tidak! Aku tidak lagi ingin dijadikan bidak oleh wanita itu! Kau sudah menjadikanku sebagai kelinci labolatorium. Aku berhak mengetahuinya! Aku menderita dengan semua kepalsuan yang sudah kau berikan selama ini!” teriakku dengan lantang. Aku benar-benar tidak bisa menahan emosi. Aku tidak lagi memikirkan apa yang akan dianggap dariku oleh Rela. Aku sudah meredam semuanya, tapi tidak kali ini.

“Se–”

“Tidak, Nevin. Dia benar,” sela Elisa sebelum Nevin selesai membuka mulutnya. Wanita ini masih memasang wajahnya itu. Setelah kembali ke sikap biasanya dia pun berkata, “Kau ingat dengan pesan yang kuberikan saat di Halte?”

“Tidak,” jawabku sambil memalingkan wajah ke bawah.

Wanita itu menghela nafas dan memegang erat rompinya. Lalu melanjutkan ocehannya kali ini dengan senyuman pahit, “Apa kau ingat, sudah berapa kali aku meminta maaf?”

“Tidak, apa yang sebenarnya ingin kau sampaikan?”

“Dasar. Kau ini memang orang peka yang tidak peka. Aku selalu meminta maaf karena tidak bisa jujur padamu. Selalu lari darimu. Walaupun kita dekat, tapi kita tidak pernah bersama.” Elisa bersedekap pada perutnya dan nada bicaranya berubah menjadi terbata-bata, “Kau selalu mengejarku yang menjauh. Tapi tidak kali ini. Sekarang sudah waktunya aku memberi tahu semuanya.”

“Seperti yang kau duga, aku memang punya alasan untuk semua itu,” ujar Elisa dengan mata berkaca-kaca. Hatiku sedikit tergerak, tapi tidak cukup untuk meredam semuanya. Rela juga sedikit terguncang atas kejadian yang terjadi pada Elisa.

Elisa membuka tas selempangnya dan mengambil sebuah pisau lipat. Aku langsung melangkah untuk melindungi Rela, tapi perasaanku berkata kalau tidak ada hal buruk yang akan menimpa. Wanita pendiam itu menunjukan punggung tangannya padaku, lalu menggoresnya. Nevin terlihat ingin bertindak sebelum Elisa melakukannya tapi motoriknya terlalu lambat.

Aku bisa melihat cairan merah yang mengalir keluar dari tangannya, tetapi aku tidak tahu poin yang ingin dia sampaikan. Darahnya tak lama berhenti menetes dan luka yang terdapat pada Elisa kembali tertutup semula semua tidak lebih dari setengah menit. Nevin terkejut bukan main dan berjalan mundur, dasar pengecut.

“Seperti yang kau lihat, aku memiliki regenerasi yang abnormal. Semua ini berhubungan dengan gadis yang berada di sebelahmu, arloji itu... Dan juga kedua orang tuamu,” ucapnya dengan datar. Pisaunya kembali dilipat dan kembali dimasukan ke dalam tas. Setelah itu dia mengeluarkan tisu lalu mengelap air mata yang hampir dia tumpahkan, sehabisnya bekas darah yang mengotori tangannya.

Aku tercengang tidak bisa berkata apa-apa. Tiba-tiba perasaan amarahku tertimbun dengan perasaan lain yang membuatku lebih kesal dari sebelumnya. Aku menelan ludah dan bertanya, “Kau tahu tentang arloji itu? Dan yang tadi itu apa...? Lukanya seakan tidak pernah terbentuk.”

“Untuk pertanyaan pertama, tentu. Semua tentang kekuatannya dan Mariela. Yang kedua, singkatnya manipulasi waktu, aku tidak akan menjelaskan lebih detail karena akan memakan waktu. Tapi kalau ini masih belum cukup, aku akan menjelaskannya detailnya nanti.” Elisa telah memecahkan telurnya walaupun semua itu hanya menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru. Dia telah menjawab pertanyaanku, tidak ada lagi alasan untukku menolaknya.

Nevin hanya ternganga dengan situasi yang bereskalasi terlalu cepat ini. Mungkin dia juga hanya orang yang terbawa alur dari Elisa.“Eli, kalian, apa...”

“Tidak usah terkejut sampai segitunya, Vin. Kayak kau belum pernah nonton film saja,” ejek Elisa dengan senyuman masam. Telingaku salah dengar ya? Wanita ini baru saja bercanda. Juga, kita tidak berada di film, ini dunia nyata. “Pada akhirnya aku tidak bisa menunda selamanya. Kali ini, kalau kau ada pertanyaan...”

Pemandangan yang kukira tidak pernah ada. Keajaiban yang telah lama kutunggu pun datang. Elisa, untuk pertama kalinya tersenyum dengan tulus dari hatinya padaku. Matanya yang hampir berlinang-linang tidak lagi hanya melewatiku, melainkan memang tertuju padaku. Sudah lama aku tidak melihatnya sebagain wanita yang menawan. Dia benar-benar melepas semuanya hanya untuk mengikat kepercayaanku yang telah berserabut kembali menjadi satu.

“Aku akan menjawabnya dengan senang hati.”

Aku tidak bisa berkata apa-apa setelah dia berkata begitu. Tidak ada yang bisa kukomentari, semua rasa gelap yang kusimpan padanya telah larut. Semua kegelapan itu berubah menjadi kekosongan yang menambah lubang hampa pada diriku. Aku pun berpikir saat ini, lakukan yang terbaik untuk Rela. Itu adalah tujuanku untuk sekarang.

“Tapi, tetap aku tidak bisa... begitu saja, dengan mudahnya,” ucapku dengan tertatih-tatih. Tanganku dengan sendirinya menggenggam tangan milik Rela. Perasaan kosong yang selalu kuhindari ini sudah tidak bisa kubendung lagi. Aku...

Rela balik mengepalkan tangannya dengan punyaku. Lalu dengan mata merahnya nan indah yang sudah tidak tertutup oleh tudung jaket, dia tersenyum lebar di bawah lampu malam. “Tidak apa-apa, Sen. Aku akhirnya merasakan apa artinya ‘kasih sayang’. Setelah merasakan kehangatannya, aku tidak akan membiarkan Sen kedinginan.”

Mataku terbuka lebar setelah mendengar semua itu dari Rela. Dia bisa pandai menggunakan kata-kata tapi di sisi lain tidak tahu menahu soal kata yang biasa diutarakan sehari-hari. Sekali lagi aku menghala nafas dan menatap mata Elisa.

“Banyak yang ingin kutanyakan, tapi seperti yang kau katakan. Ini bukanlah tempat yang tepat untuk melakukannya.” Tidak lagi ada perselisihan diantara kami. Walaupun udaranya berpolusi, aku merasa sedikit lega. “Tapi sebelum itu, Nevin ada yang ingin kau sampaikan?”

“Kau dan Rela mengajariku hal penting di halte trans tadi. Aku akan berusaha untuk perlahan menyingkirkan sifat menjengkelkanku. Aku capek selalu diceramahi Eli tiap bertemu.” Nevin menatap tajam ke arah Elisa dengan rasa takut yang terpancar dari matanya. Dia berdehem lalu mengulurkan tangannya yang besar itu dan menyapaku, “Hanya untuk keformalan, aku Nevin.”

Aku hanya menjabat tangannya dan tidak menjawab apa-apa. Perasaanku masih simpang siur, tidak tahu harus mulai darimana. Ekspresiku mungkin masih terlihat masam dan terpukul. Mungkin ini yang mereka sebut dengan kebencian, tapi aku tidak bisa membenci Elisa. Tidak setelah Elisa terbuka di saat seperti ini.

“Tidak adil, Elisa. Kau seenaknya melepas semua bebanmu sedangkan aku di sini terperangkap ke dalam dilema yang telah kau buat.” Aku memang menyedihkan, pria lemah yang tidak bisa menerima kenyataan dan terus melarikan diri. Bukannya menghadapinya ketika kenyataan itu telah muncul.

“Sen, aku tidak memintamu untuk memaafkanku. Tapi kalau kau masih belum bisa menerimanya, aku bersedia melakukan apapun yang kau minta.” Elisa menatapku dengan serius. Dari posisinya, wanita itu sepertinya akan bersujud di depanku.

“Aku tidak meminta banyak, hanya ingin keselamatan gadis ini yang kuinginkan,” balasku sembari menyaku kedua tanganku. Aku pun berusaha mengabaikan masalah pribadiku dengannya. “Soal menerima atau memaafkan, abaikan saja. Nanti aku akan tenang dengan sendirinya, kau tidak perlu menjatuhkan dirimu sampai sejauh itu, Elisa.”

“Kau memang sudah berubah ya, Sen. Aku masih ingat saat-saat kau masih SMP dulu,” ujar Elisa dengan senyuman lega. “Kau selalu saja menyendiri, dasar bodoh.”

Matanya penuh dengan kepositifan dan aku sedikit kagum dengan wanita ini yang benar-benar menurutiku untuk mengabaikan persoalan yang barusan kukatakan. Aku pernah bertemu dengannya ketika SMP? Aku tidak mengingatnya sama sekali. Menanyakan umur pada wanita mungkin bukan hal yang patut untuk kulakukan.

“Kalian berempat sedang apa di sini?”

Itu suara Mira. Dia sudah pulang kerja, ya. Melihat gadis ini tanpa seragam kerjanya benar-benar membuat sensasi yang berbeda. Penampilannya lebih feminim dibanding tadi siang. Ngomong-ngomong, aku tidak bisa melibatkannya ke dalam masalah kami.

“Ah, Mira. Kau sudah pulang?” tanyaku balik padanya. Aku berusaha untuk tetap tenang agar jangan sampai sifat burukku yang tadi keluar.

“Kita lanjutkan pembicaraan kita nanti,” pungkas Elisa sambil berjalan ke sebelah Rela dan mendempetinya. Dia sudah terlihat seperti kakaknya saja. Entah kenapa aku merasa iri melihatnya. Padahal aku seharian ini selalu bersamanya. Rela memegang tanganku, mungkin karena dia merasa tidak nyaman.

Mira melihat ke jendela yang mana lampu dalamnya belum dinyalakan. Ekspresi cemberutnya langsung muncul dan dia bertolak pinggang dengan kesal. Gadis ini lalu mengeluh ke arah jendela, “Katanya Kak Heru nggak bakal kemana-mana. Dasar kutu loncat, kita jadi terkunci di luar.”

Aah, jadi itu sebabnya dia memberiku kunci rumahnya, dasar pria tidak bertanggung jawab. Aku merasa kasihan pada Mira mempunyai sepupu seperti Heru, tapi hebat juga dia tahu kalau aku bisa sampai di sini sebelum gadis ini pulang. Aku harus segera memberi tahu mereka soal kunci rumahnya.

Aku mengeluarkan kunci rumah yang kutaruh di saku jaketku. Setelah menunjukannya secara terang-terangan aku menjelaskan, “Tadi dia memberikan kunci rumah padaku, apa ini benar?”

Mira langsung melompat ke arahku dan merebut kunci rumahnya. Setelah itu dengan cepat dia berlari ke pintu depan dan membukakan pintunya menggunakan kunci itu. Lalu gadis itu berdehem dan berbicara, “Maaf membuat kalian menunggu. Aku tidak tahu bagaimana sepupuku bisa sampai memberikan kuncinya pada Kak Sen, tapi untuk sekarang silakan masuk dulu.”

“Ah, dia adik sepupunya si Heru ya, Sen?” tanya Nevin dengan rasa ambigu. Aku juga merasa ambigu melihat gadis ini bisa hidup dengan orang seperti Heru.

“Yep. Ayo masuk. Di luar sini tidak aman.”

Aku melirik ke arah Rela yang sedari tadi hanya diam saja. Kurasa semua ini sedikit terlalu berat untuk gadis sepertinya yang hanya menempel pada jendela mobil. Dia masih menggenggam tanganku dengan cukup erat. Sedangkan Elisa melirik ke arahku dengan pandangan serius. Apa aku bisa mempercayainya untuk menjaga Rela?

Ruang tamu yang gelap ini langsung menjadi terang berkat saklar lampu yang ditekan oleh Mira. Rumahnya sama sekali tidak berubah semenjak terakhir kali aku ke sini. Tidak jauh berbeeda dari kontrakanku hanya saja ruangan ini lebih luas, memiliki sofa dan TV, ditambah dengan beberapa lukisan yang dipajang. Walau pada akhirnya aku duduk di karpet kalau aku sedang main.

Rela duduk di sebelahku, dia masih meraba-raba karpetnya seperti orang polos. Dia merasa sedikit ‘wah’ tadi ketika melihat dalam rumahnya. Elisa duduk bersama Nevin di seberang, sedangkan aku merasa canggung karena sudah lama tidak berbiacara pada wanita ini.

Pikiranku yang hampa kembali menyulutiku untuk termenung, mereka bilang orang dewasa sudah tau mana yang benar dan mana yang salah. Kondisiku sekarang membuatku tidak bisa melakukan hal tersebut dan ini bukanlah salah Elisa. Aku sudah mengulanginya berkali-kali kalau dia pasti punya alasan untuk melakukan semua ini tapi kenapa aku masih merasa tertekan? Aku masih belum bisa menerimanya?

Kebenaran dimana semua ini berhubungan dengan kedua orang tuaku yang bahkan sudah tidak lagi di sisiku. Semua terasa begitu abu-abu, aku tidak tahu jalan mana yang harus kuambil untuk mengakhiri konflik ini. Aku ingin tahu, tapi tidak ingin tahu. Masa lalu dan masa depanku yang berantakan. Hanya melangkah dalam ketidak-tahuan.

Tiba-tiba keningku terasa tersentak. Ketika kucari pelakunya, ternyata tak lain dia adalah Rela. Matanya yang merah terbuka lebar dengan rasa penasaran dan rasa takut. Bukan rasa takut karena apa, tapi dia takut kehilanganku. Aku langsung memegang keningku dan mengusap-usapnya. Sentilannya cukup keras untuk seorang Rela. Aku sedikit terkekeh.

“Terima kasih, Rela,” lirih Elisa dari seberangku. “Aku selalu berpikir untuk membantumu dari jauh, bahkan sejak kau masih kecil. Tapi alhasil, aku hanya meninggalkanmu dalam kesepian. Kau selalu mengurus semua masalahmu sendirian, bahkan sampai sekarang. Menanggung semuanya sendiri. Itu adalah sebagian kecil dari masalah yang kuberikan padamu.” Elisa berhenti sesaat untuk menyandarkan dagunya pada kedua tangannya. Dia memilki ekspresi yang sama denganku saat termenung tadi.

Dia menghela nafas dan membuat kontak mata denganku sebelum melanjutkan, “Ketika kau sudah kuliah, aku memberanikan diri untuk mendekatimu sambil terus mengawasimu dari jauh. Tapi, pada akhirnya aku tidak bisa terus bersamamu karena aku masih punya hubungan dengan ayahmu, jadi anggap saja aku ini seorang buronan. Kau pasti tahu dari dua orang yang datang ke rumahmu.”

“Bagaimana kau tahu? Kau kan tidak di sana.” Aku tidak tahu apa yang dia rencanakan sampai bisa mengetahuinya. Dia memang berperan dalam kejadian arloji ini dan Rela, mungkin dia tahu tentang dua orang asing itu.

“lebih dari itu, aku tidak tahu alasan lain sampai kau dan Rela harus pergi ke rumah ini jika bukan karena ‘mereka’.” Elisa menghela nafas setelah mengucapkannya. Dia ada benarnya juga. “Mereka adalah agen khusus yang bertugas untuk membawa Rela kembali ke lab, ayahmu dulu juga bekerja di sana dan akulah asisten ayahmu.”

Aku terkejut bukan main setelah mendengar profesi ayahku. Aku hanya tahu kalau dia adalah dokter yang tewas akibat kecelakaan. Dan karena itu aku hanya tinggal bersama ibuku sampai SMP. Tidak banyak yang mereka berdua berikan padaku, kecuali uang untuk kehidupan sehari-hari dan kenangan manis yang meninggalkan rasa pahit.

Mira datang dari lantai atas dengan baju rumahan dan duduk di sebelah Elisa. Aku berniat untuk tidak menyeret orang lain lebih dari ini. Tapi wajahnya yang begitu serius membuatku menarik niatku untuk berbicara. Mira pun berkata, “Aku mendengar semua obrolan kalian tadi. Walau aku masih tidak mengerti tentang kekuatan supernatural dan sebagainya itu, tapi sebagian besar aku mengerti situasinya. Tapi sampai berkorban sejauh itu demi Kak Sen, sepupuku benar-benar tidak tahu rasa pamrih. Dia tidak pernah melakukan sesuatu sampai seperti ini demi orang lain, kecuali dirimu. Karena itu, izinkan aku untuk terlibat dalam masalah ini.”

Mereka semua memberi tatapan dan senyuman yang bisa kubaca tak lain, “Kau tidak lagi sendiri.”

“Yah, pada akhirnya semua ini tidak seburuk yang kukira,” ujarku dengan santai. Aku pun ikut tersenyum bersama mereka. 

Rela tiba-tiba memegang kepalanya dan terlihat ketakutan. Pupil matanya mengecil, tapi aku tidak merasakan rasa panik yang dia berikan ketika ‘mereka’ datang ke rumahku. “Mereka sudah datang,” ujar Rela dengan hati-hati. Kau pasti bercanda, padahal kita sudah pindah tempat, tidak mungkin mereka bisa melacak kita.

Pintu depan rumah Heru tiba-tiba saja terdobrak dan ada dua orang dengan mantel hitam dan kalung warna kuning dengan kartu tanda pengenal yang terlalu buram untuk kubaca. Yang satu adalah seorang wanita dengan rambut dikuncir dan yang satunya lagi pria besar. Masing-masing dari mereka menyandera satu orang. Tunggu dulu... Mereka?!

Lihat selengkapnya