Aku sudah menjelaskan semua situasi kami pada wanita menyeramkan yang satu ini. Dan dia mendengarkanku tanpa mengeluh atau berkomentar sedikit pun. Airei lalu menopang dagunya dengan kedua punggung tangannya di atas meja. Dia ditemani oleh Veja untuk suatu alasan, tapi dia tidak memberontak sama sekali jadi mungkin ini adalah pekerjaannya. Kalau kulihat-lihat lagi sifat wanita ini mirip-mirip dengan Elisa.
Airei menghela nafas ringan dan menatapku dengan serius sambil menjelaskan, “Jadi Gadis itu, Rela, di bawa oleh dua orang yang satu kolega dengan Elisa di sini dan kalian meminta bantuanku yang mana hanya seorang pemilik kafe untuk bisa pergi ke swedia?”
“Y-ya, aku tahu itu adalah permintaan bodoh. Tapi kalau kau setidaknya punya saran atau semacamnya, itu akan sangat membantu,” mohonku dengan tulus. Aku tidak berharap banyak tapi kalau dia, aku yakin dia punya rencana.
“Duh, kau tidak pernah berhenti membuatku terhibur, Sen,” ujar Airei dengan rasa puas. Lalu dia tersenyum dengan berat hati sambil menatap rendah kepadaku. Aku tidak tahu bagian mana yang membuatnya terhibur dan sikapnya benar-benar tidak normal. “Ekspresi dan masalah kalian benar-benar menarik bagiku.”
“Jadi, apa keputusanmu?”
“Tentu aku akan membantu,” jawabnya sambil menyatukan telapak tangan dengan senyuman tipis. “Kebetulan aku punya tiket pesawat ke Swedia untuk delapan orang. Jadwal berangkatnya pukul sembilan pagi esok hari.” Airei mengatakan hal blak-blakan begitu dengan ekspresi ceria tanpa terasa terbebani sedikit pun. Tubuhnya bahkan serileks kain sutra.
Semuanya hampir saja batuk mendengarnya terkecuali Elisa dan aku. Aku tahu kalian terkejut tapi setidaknya jaga sopan santun kalian. Dan juga bagaimana Airei bisa dengan mudahnya mengatakan semua itu dengan santainya? Cara berpikirnya lebih rumit dibanding Heru dan Elisa digabungkan. Wanita sepertinya benar-benar ada, dunia ini begitu sempit.
“Kau benar sekali, itu adalah kebetulan yang sangat mendetail dan terperinci ya,” balasku sambil berusaha menahan kekesalan yang wanita ini timbulkan, suaraku hampir saja terdengar ironis. Kalau aku ingin meminta bantuannya setidaknya jangan membuat diriku malu. “Kau yakin tidak apa-apa?”
“Dengan senang hati,” balas Airei dengan cepat sembari mengepakkan tangan kanannya di depan. “Sebagai gantinya, biarkan aku ikut dalam perjalanan ke sana.”
Airei bersandar pada kursi yang sedang ia duduki dan bersedekap dengan bangganya. Aku sendiri di sini bersusah payah untuk menjaga sikapku tapi dianya malah menyepelekannya seperti itu. Memang benar ini tidak formal tetapi tetap saja membuatku cemas. Bahkan saat aku menceritakan semuanya tadi, wanita ini terkadang tidak terfokus padaku, lawan bicaranya.
“Sudah pasti aku tidak bisa berkata tidak, karena aku meminta bantuanmu,” jawabku dengan nada pasrah. Aku menghela nafas karena setidaknya negoisasi kita berjalan lancar, atau setidaknya begitu. Wanita ini benar-benar aneh.
Aku baru menyadari satu hal. Kalau Airei ikut, masih ada satu tiket lagi yang luang. “Lalu tiket yang terakhir mau kau berikan kepada siapa?” tanyaku penasaran, tapi aku tidak punya ekspetasi banyak dengan jawaban yang akan dia berikan.
“Kalau soal itu.” Airei dengan mudahnya merangkul Veja yang sedang berdiri di sebelahnya, memaksanya untuk menunduk. Dengan senyuman jahatnya Airei berkata dengan nada gembira, “Yang satu ini akan kubawa bersamaku. Kalian juga pasti menikmati teh buatannya, bukan?”
“Tolong jangan mempermalukanku, Nona Airei,” ujar Veja
“Hoo, jadi dia yang membuatkan tehnya?” tanya Heru memasang tangannya pada dagu dengan senyuman.
“Betul sekali, dia sangat ahli bukan?” balas tanya Airei dengan tangannya di dagu juga. Tapi setelahnya dia langsung berdiri dan melangkah keluar dari meja sembari melepas rangkulannya dari Veja. Lalu sebelum kembali ke ruang karyawan, dia berkata dengan tulus, “Kalian istirahatkan diri kalian. Luka itu tidak akan sembuh kalau kalian masih pecicilan malam ini. Aku punya beberapa kantung tidur untuk kalian gunakan, awalnya untuk karyawan yang menginap, tapi pada akhirnya hanya aku dan Veja yang tinggal di sini.”
Kalau aku lihat-lihat lagi, kafe ini memang sudah tutup. Padahal ketika kami datang masih ada yang pelanggan yang duduk di sana-sini. Waktu benar-benar cepat berlalu kalau membicarakan hal yang penting seperti tadi. Dan juga, tidak ada orang lain selain Veja dan Airei di sini. Apa dia serius berkata kalau mereka tinggal di sini? Kurasa itu bukan yang sebenarnya. Tapi, yang dikatakannya cukup benar, kita harus istirahat untuk besok pagi. Terkhusus Heru dan Taka yang memiliki luka paling buruk.
Veja ikut pergi ke ruang karyawan tapi dia masih dengan tajam menatap ke arah Elisa. Mungkin Veja berhati-hati agar Elisa tidak berbuat ulah karena dia memang salah satu dari ‘mereka’ sebelumnya. Syukurlah Elisa tidak menganggapnya sebagai suatu ancaman.
Aku pun melirik ke arah tempat dimana tadi siang aku dan Rela duduk. Bayangan wajahnya yang begitu gembira membuatku kembali tertunduk. Aku juga harus istirahat, hanya dengan diam tidak akan membuahkan hasil. Tapi kantung tidur yang dia bicarakan tadi, dimana?”
“Terima kasih sudah menunggu,” suara Veja tiba-tiba berada di belakangku. Dia sama saja seperti bosnya, pergi dan kembali tanpa hawa keberadaan yang bisa dirasakan. Anehnya, teman-temanku malah tidak ada rasa terkejut sama sekali, hanya aku saja kali.
Di masing-masing tangannya terdapat tiga kantung tidur. Kami semua mengambilnya dengan senang hati. Setelah itu dia langsung kembali ke ruang karyawan tanpa berkata apa-apa. Kau itu robot kah? Sampai seperti itu. Padahal aku ingin berbicara padanya sebentar. Tidak ada salahnya bernostalgia.
“Kau tidak ingin menghabiskan waktu sebentar, Veja?” tanyaku sembari membuka kantung tidur yang kuterima. Tatapanku terkunci pada rambut cokelat panjang yang menutupi punggungnya
Veja berhenti sebentar karena panggilanku. Lalu dia menengok ke belakang dan menjawab, “Aku tidak punya hal untuk dibahas. Tapi kau bilang, kau punya pertanyaan untukku tadi siang. Aku tidak keberatan untuk berbincang sebentar kalau kau mau.”
Dia bersedia berbicara padaku hanya karena aku bilang itu padanya tadi siang. Berpikiran sederhana sekali, aku tidak tahu Veja akan menyetujui tawaranku hanya karena itu. Tapi bukan berarti aku tidak menyukainya, memang ada banyak ingin kubicarakan dengannya.
“Yah, tentu saja,” balasku selagi menggelar kantung tidurku. Setelah duduk di atasnya, aku memeluk kedua kakiku dan bertutur, “Bisakah kau tidak berbicara dengan datar seperti itu, perasaan tadi siang kau bisa berekspresi seperti manusia normal.”
Veja berbalik dan terkekeh dengan yang barusan kukatakan. “Manusia normal ya?” gumamnya pelan. Wanita yang masih mengenakan seragam baristanya itu pun duduk bersila di depanku. Dia merapihkan poni rambutnya dan menumpukan dagunya pada satu tangan sambil tersenyum.
Aku tentu saja memerah melihatnya melakukan hal itu di depanku. Wanita ini lebih tua dariku, aku tidak boleh tertipu dengan perawakannya. Tapi memang kurasa penampilannya tidak berubah semenjak aku terakhir melihatnya. Dia benar-benar awet muda atau apa, aku tidak tahu. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Airei sudah pasti tidak lah normal. Memikirkannya hanya akan membuatku sakit kepala, lebih baik aku mengabaikannya.
“A-apa? tanyaku akhirnya setelah aku menunggunya untuk setidaknya berkata sesuatu. Tidak sedekat rela tapi tetap saja dia perempuan.
“Tidak, aku menunggu pertanyaan yang ingin kau sampaikan waktu itu. Kau bilang padaku untuk setidaknya bersikap normal bukan? Aku kan menatapmu dengan cara begini lima tahun lalu,” ujarnya dengan santai, mata kirinya pun dikedipkan di depanku.
Aku menghela nafas panjang dan berusaha untuk kembali bersikap biasa. Setelahnya aku pun menanyakan hal yang menurutku cukup standar, “Kenapa waktu itu kau mendekatiku, di saat aku sendiri.”
“Tentu saja itu perintah Nona Airei,” jawabnya sambil melirik ke arah ruang karyawan. Entah kenapa aku sudah menduga kalau itu jawabannya dan masih saja kecewa mendengarnya dari mulut Veja sendiri. “Tapi, setelah duduk cukup lama bersamamu pada waktu itu, aku sedikit mengerti kenapa Nona Airei menyuruhku untuk menemanimu.”
“Eh? Kenapa itu?”
“Itu bukan urusanmu,” jawabnya setelah duduk dengan tegak. Ekspresinya merendahkan itu berkata kalau itu memang bukan urusanku. “Tapi, kau memang menarik sesuai dengan kata Nona Airei.”
Lagi? Aku tidak mengerti dengan selera ketertarikan mereka padaku. Tidak ada yang spesial padaku waktu itu. Aku hanya pergi sendirian, menjauh dari rekan sekelas karena aku tidak memiliki teman dan berpikir bahwa ini adalah tempat yang tidak buruk untuk kukunjungi. Tidak ada perasaan khusus kenapa. Dan tiba-tiba saja dia datang padaku dan mengajakku berbincang.
Wanita itu lalu mendekatiku dan menyentak keningku dengan jari telunjuknya. Jarinya masih sedingin yang tadi siang, orang ini makhluk berdarah dingin kah? Sudah begitu sakit lagi. Setelah berdiri dia berkata padaku, “Kau juga perlu istirahat, Sen. Akan memalukan jika kantung matamu muncul ketika nanti bertemu Rela. Jaga kesehatanmu sendiri.” Lalu dia berjalan kembali ke ruang karyawan dengan pelan.
Kalau kuperhatikan baik-baik. Setiap dia melangkah, selalu ada embun yang terbentuk di lantai yang ia tapaki. Atau itu hanya halusinasiku dan aku memang benar-benar perlu istirahat. Malam ini benar-benar melelahkan. Mataku belum terlalu merasa berat, tetapi tubuhku sebagian besar mengerang padaku untuk merebah.
Ketika kulirik ke yang lain, sebagian besar sudah tertidur. Hanya Elisa yang masih duduk di kursi dengan kantung tidur yang belum dibuka sama sekali. Kukira hanya aku yang sedang kepikiran, ternyata dia juga. Semua jendela sudah ditutupi gorden kecuali di tempat Elisa duduk. Wanita itu terus melihat keluar seakan menjaga agar sesuatu tidak masuk ke wilayah ini.
“Kau masih memiliki arloji itu, bukan?” tanya Elisa dengan pandangan mengarah ke saku celanaku yang sebelah kiri.
Ah, dia benar. Lauren dan Manny tidak mengambil arlojiku. Aku penasaran kenapa. Mungkin mereka sudah terlalu kesal dan melupakannya begitu saja. Dan yang membuatku lebih terkejut adalah Elisa. “Bagaimana kau bisa tahu?”
Elisa pun berkata dengan sinis, “Aku tahu salah satu dari mereka itu ada yang sangat temperamental, jadi ada kemungkinan besar kalau arlojimu pasti belum diambil sebelum kepergian mereka.”
“Mereka tidak akan repot-repot mencariku atau arloji ini. Walaupun itu tidak di sengaja, aku yakin tidak akan ada yang ke sini. Siapa pun yang berada di belakang semua ini. Dia tahu kalau aku pasti datang untuk menjemput Rela.”
“Begitu ya, kau tidak salah.” Elisa masih berpaling dariku. Wanita ini masih bersikeras untuk tidak tidur dengan membujukku, “kau boleh tidur duluan, Sen.”
“Seorang gadis dulu mengatakan hal ini padaku, ‘aku tidak akan bisa santai kalau Sen sendiri tidak santai.’ Aku tidak akan bisa tidur kalau kau sendiri belum tidur, Elisa.” Aku lalu berjalan ke arahnya dan duduk di seberangnya.
“Kau sama keras kepalanya dengan gadis yang mengatakan hal itu padamu. Kau tahu itu?” ejeknya padaku dengan tatapan masam.
Aku melirik ke luar dimana monas berwarna warni dengan lampu sorotnya. Tidak terlalu jelas dari sini, tapi tetap saja tidak buruk untuk pemandangan malam hari. Jarang ada kendaraan yang lewat di depan kafe malam ini. Kalau aku, mungkin baru pulang jam segini dari kampus. Setelah itu langsung tepar sesampai di kontrakan. Kehidupan seorang anak kuliahan yang mengambil kuliah malam.
“Yah, belajar dari orang lain bukanlah hal yang buruk,” desahku dengan kedua telapak tangan diangkat. “Kau sendiri tidak jauh berbeda.”
Elisa tertawa kecil dan menutup gordennya sekaligus menutup pandanganku terhadap Monas itu. Di wajahnya terlukis senyuman yang bertanda kalau dia mengalah kepadaku. Akhirnya wanita ini bisa sedikit lebih santai dan tidak sekaku tadi. Dia turun dari kursinya dan berjalan mendekatiku. Dengan mudahnya dia memberikan kecupan di keningku dengan senyuman tipis.
“Baiklah, kalau begitu selamat malam, pengangguran,” ejeknya setelah berbalik dariku dengan tangan dilambaikan. Lalu dengan gampangnya dia menggelar kantung tidur itu.
Aku memegang keningku, masih kaget dengan apa yang wanita itu telah lakukan padaku. Ingin sekali aku berteriak, “Apa-apaan itu?! Bikin orang kaget saja!” Tapi bisa gawat kalau yang lainnya bangun. Aku harus mengurungkan niatku untuk sekarang. Dan karena dia sudah mau tidur, lebih baik aku ikut mengistirahatkan diri.
Setelah turun aku langsung masuk ke dalam kantung tidurku dan menatap langit-langit sambil perlahan menutup mataku. Malam ini sangat tenang sekali, aku merasa tidak nyaman tertidur tanpa Rela di sisiku. Aku ingin sekali bertemu dengannya. Besok pasti, aku... tidak.. kami akan menyelamatkannya.
Tubuhku perlahan tenggelam, dan semua pikiranku terasa lenyap terbawa angin. Tahu-tahu saja aku melihatnya, gadis berambut putih itu sedang duduk di depanku. Di ruangan yang serba gelap ini, hanya ada kami berdua dengan meja dan dua kursi yang sedang kami duduki. Dia melihat ke arahku dengan serius, seakan ada yang ingin dia sampaikan kepadaku.
“Sen, apa yang kau pikirkan tentangku?” tanya Rela dengan ekspresi serius. “Aku merasa kalau semakin Sen terlibat ke dalam masalah ini, Sen akan lebih menderita lagi.”
“Kau adalah keajaiban dalam kehidupanku. Aku bertanggung jawab atasmu dan dengan janji yang masih kupegang. Masih banyak tempat yang ingin kutunjukkan padamu.” Aku melipat tanganku di atas meja dan menempelkan wajahku. Dadaku terasa sesak berkat diriku yang tidak bisa melindunginya waktu itu.
“Apa yang akan Sen lakukan kalau Sen tidak bisa menyelamatkanku?” tanya Rela dengan berat hati. “Aku tidak bisa melihat Sen lebih sedih daripada ini. Aku tidak bisa lari dari perasaanku.”
“Kau cukup jaga dirimu. Aku tidak akan memegang janji yang tidak bisa kutepati. Aku pasti akan menyelamatkanmu. Kau tidak akan menyerah padaku kan? Aku juga tidak akan menyerah padamu.” Aku membulatkan tekad dan duduk dengan tegak. Resiko apapun yang akan kuhadapi, aku siap.
Rela tercengang dengan yang kukatakan. Lalu tersenyum lebar dengan tangan di belakang. Dia berdiri dari kursinya, lalu berjalan menjauh. Perlahan gadis itu memudar dari penglihatanku. Sebelum dia benar-benar memudar dia mengucapkan pesan terakhir, “Aku akan menunggumu, Sen. Selalu dan selamanya.”