Rela, Where it start it end

Revain
Chapter #11

Bab 11

Dengan arahan dari Elisa kami berlari melalui jalan rahasia yang dia lalui dulu ketika melarikan diri. Dia bilang kalau jalan ini penjagaannya tidak ketat, dan mudah keluar masuk juga. Kami beruntung karena setelah kepergiannya, jalan ini masih aman. Jalan setapak yang masih ditutupi oleh pepohonan yang sudah tidak berdaun dan ditutupi salju putih.

Kami pun berhenti di depan pagar tinggi yang berada di depan. Di dalamnya terdapat bangunan putih megah yang tidak bisa kujelaskan sama sekali bentuknya. Mungkin, campuran rumah modern yang bersifat geometrik dan rumah sakit seperti yang kukatakan sebelumnya.

Elisa langsung menggali salju yang berada di bawah dan menemukan sebuah pintu rahasia. Kenapa tempat dengan penjagaan ketat seperti itu mempunyai pintu rahasia yang kemungkinan mudah untuk dilalui? Kekurangannya terlalu mencolok, kalau ada orang yang mencoba menyusupinya ini sudah pasti akan mudah.

Lalu Elisa mengeluarkan sebuah kartu tanda pengenal yang mirip dengan kepunyaan Lauren dan Manny. Setelah ditempelkan, sebuah lampu hijau menyala dan pintunya terbuka dengan otomatis. Selama ini tidak ada orang yang menggunakan lorong ini untuk keluar masuk?

“Waktu lorong ini dibuat, hanya aku dan beberapa orang saja yang tahu. Lalu tidak semua orang di sana mempunyai akses ke lorong ini untuk meminimalisir pembocoran informasi. Fungsi utamanya adalah pintu darurat jika terjadi kejadian fatal di bangunan. Tapi setelah lorong ini selesai, peristiwa Rela terjadi di saat bersamaan. Jadi hanya akulah orang hidup yang bisa menggunakannya. Sisanya terseksekusi karena berpihak pada ayahmu.”

Elisa menjelaskan semua itu selagi kami menuruni tangga yang dingin ini. Setelah semua masuk pintunya pun tertutup, lalu lampu yang berada di lambung lorong turun ini dengan ajaib menyala sendiri. Tempat ini memang bukan tempat biasa, aku penasaran seperti apa rasanya di dalam tempat ayah dulu bekerja.

Setelah semua turun, kami disambut oleh lorong besar yang berada di depan kami. Sangat panjang dan lumayan lusa untuk lima orang berjejer. Aku bisa melihat kenapa tempat ini dijadikan jalan keluar darurat. Lorong ini tidak terbuat dari bahan logam biasa. Aku tidak tahu lapisan apa yang mereka gunakan, tapi aku yakin tempat ini akan selamat bahkan jika dijatuhkan bom nuklir.

Lampu neon berwarna putih berbaris menuju pintu besi di depan kami. Semuanya lalu berlari ke arah pintu itu dan Elisa membukanya dengan memasukan sebuah ­password yang bahkan aku sendiri tidak mengerti apa itu simbol-simbol atau pola. Pintu besi itu pun terbuka ke bawah dengan suara berdesis pelan.

Mira dan Heru berhenti di sana. Lalu Heru berkata dengan senyuman, “Kami akan menjaga tempat ini untuk kalian. Kau pastikan Rela kembali dengan selamat, Sen.”

“Kejar lah Rela, Kak Sen. Aku yakin dia menunggumu,” ujar Mira dengan kedua tangan di belakang.

“Kalian berdua,” tuturku terkejut. Duh, jangan berlagak seperti karakter di cerita fantasi dasar kalian. Tapi kuakui mereka memang terlihat keren. Yang bisa kukatakan sekarang adalah, “Ya, kalian berdua jaga diri.”

Setelah itu kami meninggalkan mereka di belakang. Terus berlari di lorong yang dipenuhi dengan neon putih. Mengikuti setiap langkah ke mana Elisa melangkah. Dia mengeluarkan sebuah pistol dari tas selempangnya. Bagaimana itu bisa tidak terdeteksi saat di bandara tadi? Dari pada itu, Elisa bisa menggunakan senjata api?

“Kau yakin tidak akan ada yang melihat?” tanya Nevin yang masih terus berlari.

“Tidak, aku tidak yakin. Tapi kalau mau, kau bisa menyabotase sistem keamanan mereka dengan membajak kamera pengawas,” ujar Elisa sembari mengambil ponselnya.

Kami berhenti sesaat, dan Elisa memberikan ponsel yang berisikan denah lengkap tempat ini kepada Nevin. Di situ sudah tertera di mana kita berada sekarang. Ini seperti GPS tapi untuk ruangan khusus. Elisa menunjukan dimana ruangan keamanannya berlokasi. Tidak terlalu jauh dari sini ternyata.

“Kalau ada yang menghalangi, kau bisa cari rute lain, kalau perlu lewat sistem ventilasi,” jelas Elisa sedikit mengejek. Walau dia tidak salah, karena rute sistem ventilasi juga tertera di sini.

“Aku ikut,” tegas Taka mengajukan diri. “Kau tidak akan bisa berjalan di tempat seperti ini seorang diri, harus ada orang yang menjaga belakangmu.” Dia tersenyum lebar sambil melipat kedua tangannya kepada Nevin.

“Yah, kalau kau merasa mualmu sudah hilang, aku tidak keberatan,” ejek Nevin berusaha mendominasi Taka dengan seringai mengolok.

“Kau juga, Nevin,” balas ejek Taka sembari maju ke depan untuk menantang Nevin.

Duh, mereka berdua ini melakukan hal yang tidak perlu. Kalau begini tidak akan ada selesainya perdebatan mereka di sini. Elisa tiba-tiba menarik tanganku dan Veja, memisahkan kami dari duo yang akurnya hanya sementara. Wanita ini juga sepertinya lelah menanggapi Nevin.

“Kalau begitu, kami duluan. Selamat berjuang kalian,” ujar Elisa sambil terus menarik tangan kami menjauh dari mereka. Lalu kami berlari ke arah lorong yang ingin ditelusuri. Elisa tersenyum simpul lalu berkata, “Kau benar juga, Sen. Aku sedikit lelah menanggapi Nevin.”

Aku sudah menduganya sejak lama sih, tapi dia sepertinya membaca pikiranku dengan jelas. Tidak ada yang bisa kubantah soal yang satu itu.

***

Taka benar-benar tidak bisa diajak kompromi orang ini bikin kesal saja. Setidaknya kau bisa membiarkanku menang dalam debat yang satu ini. Untuk mereka bertiga, kali ini sepertinya aku lah yang harus mengalah. Kalau tidak aku bisa diceramahi Eli lagi.

Pria itu merebut ponselnya dan lari duluan sambil menjulurkan lidahnya. Lalu dengan cepat melarikan diri dariku. Si kampret memang.

“Woi! Tunggu! Kau bilang mau menjaga belakangku!” teriakku sambil berusaha mengejarnya.

“Kalau begitu mulailah bersikap seperti orang yang pantas untuk berada di depanku,” teriaknya sembari melempar ponsel itu ke atas dengan senyuman bodohnya itu.

Aku menangkap ponsel itu, melihat ke dalam denah bangunan ini. Isinya mirip sekali dengan GPS aku biasa menggunakannya kalau naik mobil dan nyasar. Kakiku kupacu lebih keras dan berhasil melewati Taka. Lorong ini membuatku pusing karena terlihat seperti labirin. Apakah laboratorium benar-benar terlihat seperti ini?

Ada suara yang datang dari perempatan di depan. Terdengar seperti langkah kaki. Aku melambatkan lariku lalu menempel pada tembok. Setelah berhenti, aku mendengarkan lebih jelas. Orang-orang itu sedang membincangkan sesuatu dan tampaknya tidak akan angkat kaki untuk waktu yang lama. Bikin repot saja.

“Kita cari rute lain,” ujarku pelan.

“Kau mau lewat sistem ventilasi?” tanya Taka dengan kebingungan. Pertanyaan bodoh macam apa itu?

Aku memasng ekspresi datar dan menjawab pertanyaannya, “Kau bercanda kan?”

Tangannya menunjuk ke atas. Terdapat sebuah pintu yang kelihatannya bisa dibuka. Tapi terlalu tinggi untukku atau Taka raih. Dia dengan santanya jongkok lalu menoleh ke arahku dengan ekspresi serius yang meremehkan. Orang ini beneran mau lewat saluran ventilasi.

“Ayo naik ke pundakku, setelah kau buka, tarik aku ke atas. Aku tahu kau pasti sudah pernah menonton cukup film aksi untuk tahu kelanjutannya,” jelasnya dengan nada kebosanan.

Aku menghela nafas dan menaiki pundaknya, setelah itu aku mencoba membuka baut yang menguncinya di tempat dengan kunci rumahku. Untunglah ukurannya pas, aku jadi tidak perlu mencari alat lainnya. Tak lama pintunya kubuka dan aku pun masuk ke dalam. Tanganku kulurkan pada Taka agar dia bisa meraihnya. Setelah kami berdua masuk, aku menutup kembali pintunya, tanpa dipasang lagi bautnya tentunya, aku terlalu malas untuk itu.

Navigasinya berubah ke salutan ventilasi, teknologi yang dimiliki Eli memang hebat. Ternyata ini lebih mudah. Tinggal lurus dan pintu ke empat adalah ruang keamanan. Sekarang masalahnya adalah merangkak tanpa mengeluarkan suara.

Aku merangkak di ruang yang lumayan berdebu ini. Yah, namanya juga sistem ventilasi tubuhku sudah pasti bakalan penuh dengan debu setelah masuk.

“Kukira kau akan meninggalkanku tadi di bawah,” ejek Taka padaku.

“Aku tidak sejahat itu, dasar. Kalau rencana ini gagal, aku yang akan kena batunya.”

 Kami tak lama sampai di pintu ke empat. Kali ini aku membukanya kembali dengan kunci rumah.

Lalu melompat turun segera setelah kubuka pintunya. Duh, turun dari ketinggian segitu lumayan sakit untuk kakiku. Segera setelah itu, orang yang sedang menatap laya menoleh ke arahku. Aku pun segera menariknya ke bawah agar dia tidak melaporkannya pada siapa-siapa. Taka dengan ganasnya memukul wajahnya dengan sangat keras hingga dia pingsan. Tenaganya kencang juga.

“Baiklah aku akan menjaga pintu, agar tidak ada yang masuk. Kau silakan otak-atik apapun itu namanya,” ujar Taka sambil berjalan ke arah pintu masuk. Kakinya sedikit pincang, mungkin kami tidak jauh berbeda soal fisik.

Aku melihat ke arah monitor, setidaknya aku bisa menonaktifkannya jika mengerti bahasa inggris. Tapi, ini bukan masalah bahasa inggris. Hanya ada monitor, tidak ada mouse atau atau pun keyboard-nya. Kalau kulihat-lihat lagi ini pasti sistem layar sentuh.

Pada akhirnya aku hanya menekan-nekan asal dan semua sistem kameranya mati. Keberuntungan selalu memihakku. Setidaknya untuk saat ini. Sisanya aku hanya perlu menunggu dari mereka.

***

Keamanan dan jalan keluar sudah diamankan, sisanya tinggal Lauren dan Manny ya... aku merasa kalau kami pasti akan berpapasan karena Rela adalah subjek yang penting. Dimana ada pintu yang dijaga oleh mereka berarti di situ lah Rela berada.

Tidak tahu kenapa, Elisa selalu punya pandangan ke depan bahwa setiap lorong yang kita lewati akan selalu aman. Karena ketika aku melihat lorong lain yang tidak dilewati, setidaknya ada penjaga atau terkadang peneliti yang lewat. Mereka tidak sempat melihat kami karena timing yang pas.

Tak lama Elisa berhenti di sebuah pertigaan yang cukup luas. Jalan yang mengarah kiri lebih lebar dibanding yang lurus ke depan. Jangan-jangan kita sudah sampai... jantungku yang sudah berdebar-debar makin bergejolak. Keringatku bercucuran walau tempat ini terasa dingin. Kalau Elisa berhenti, berarti ada sesuatu atau seseorang yang menghalangi kami untuk terus maju.

Aku melihat kamera pengawas yang berada di ujung lorong, tersembunyi tiba-tiba menjadi layu. Jadi Nevin dan Taka berhasil melakukan pekerjaan mereka. Lebih cepat dari yang kuduga. Kalau begini, yang kami perlukan hanyalah maju.

“Kalian tidak perlu bersembunyi terus,” ucap Lauren dengan lantang.

Kami keluar dari balik tembok dan berjalan menghadap mereka. Tidak hanya Lauren dan Manny, tapi ada banyak gerombolan orang di belakang mereka. Menjaga sebuah lorong panjang ke depan yang mengarah ke sebuah fasilitas tertutup. Di situlah pasti tempat Rela ditahan. Tapi, bagaimana kita akan ke sana. Mereka semua menutupi jalannya.

“Serahkan arlojinya dan kami akan dengan senang hati mengirim kalian pulang,” ujar Lauren dengan santai. Wajah bengisnya menyeringai lebar seperti orang psikopat. Penampilannya tidak berubah sama sekali. Manny juga sama diamnya seperti di rumah Heru.

Elisa dan Veja tiba-tiba melangkah ke depanku. Mereka mau menghadapi Lauren dan Manny berserta kerumunan itu berdua saja. Waktu itu saja Elisa kewalahan melawannya satu lawan satu. Tapi, kali ini tidak ada keraguan di wajah Elisa. Veja bersikap tenang dan adem seperti biasanya, dengan senyuman kecil terlukis di wajahnya.

“Veja, aku sudah menduga kalau ada sesuatu yang berbeda darimu sejak awal mata kita bertemu,” ujar Elisa sembari menyiapkan pistolnya. Raut wajahnya benar-benar serius. Dia lalu memberikan kartu tanda pengenalnya padaku.

“Demikian juga,” ujar Veja sambil berdiri kokoh. Dia tenang seperti rembulan. “Kami akan melindungimu, Sen. Majulah.”

Rambut wanita itu tiba-tiba berubah menjadi perak tepat di depan mataku. Aku sudah menduga kalau dia bukan manusia normal, tapi ini lain lagi ceritanya. Veja, siapa gerangan orang yang berdiri di depanku ini. Bahkan ketika bosnya tidak tidak di sini, dia masih bisa membuatku terkejut. Dasar...

Aku menyiapkan kuda-kudaku dan berlari ke depan dengan sepenuh tenaga. Lalu aku berteriak dengan lancang sambil terus fokus ke depan, “Aku tidak akan menyerahkan Rela pada kalian!”

para penjaga yang berada di belakang Lauren dan Manny maju untuk menghalangiku, tapi mereka semua dibabat habis oleh Veja dan Elisa, gerakan mereka bersinkronisasi. Aku tidak bisa membacanya, tapi aku merasakan tarian yang indah dari mereka berdua. Setelah itu di depanku masih terdapat Lauren dan Manny. Ketika aku melewati mereka, tidak ada reaksi yang menandakan kalau mereka mengejarku.

Aku menoleh ke belakang sebentar dan melihat Veja mengeluarkan aura putih ke biruan yang membuatnya berubah kostum. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas karena jarak kita semakin jauh. Tapi aku bisa mendegar apa yang mereka katakan berkat ruangan ini yang memantulkan suara.

Absolute Zero, aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu,” ujar Lauren dengan kekehnya.

Itu kah julukan dari Veja? Sekarang kalau kuingat-ingat lagi nama belakangnya adalah Reaumur. Bisa saja kau, Airei.

Aku tidak mempedulikannya dan terus melangkah maju, menuju pintu besar di depan. Kartu yang diberikan Elisa tadi, pasti untuk membukanya. Terdapat sebuah tempat menempelkan kartu di situ, ketika kutempelkan pintunya terbuka dengan otomatis. Sama seperti tadi, pintunya berdesis ketika akan terbuka. Setelah aku masuk pintunya kembali tertutup rapat.

Ruangan itu begitu luas, berisi alat-alat elektronik yang tidak pernah kulihat. Mungkin di sains fiksi ada tapi aku tidak pernah melihat yang seperti ini. Semuanya nyata dan berfungsi.

Lihat selengkapnya