Dua tahun telah berlalu semenjak hari itu. Berkat Heru, aku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan lebih layak dari sebelumnya. Sepertinya keberuntungan mulai memihakku sejak saat itu juga. Kami berenam terkadang suka main ke rumahnya karena lebih lega dibandingkan dengan rumahku, dan juga jaraknya lebih dekat.
Oh ya, aku membeli rumah. Jaraknya sangat jauh dari tempatku yang sebelumnya. Lebih tepatnya, Lumajang, Jawa Timur. Karena aku juga bekerja di situ setelah lulus. Kalau ditanya apa, tidak jauh berbeda dengan ayahku. Tapi aku tidak melakukan hal-hal ekstrim. Kalau ada waktu luang, aku suka main ke Jakarta naik kereta. Tapi kalau lagi ingin jalan-jalan, aku naik motor sendiri. Capek di jalan iya, tapi teman-temanku selalu menyambut dengan hangat ketika kita berkumpul.
Saat ini aku sedang di jakarta dalam perjalanan ke Kafe Staus. Airei tidak pernah berubah bersama dengan Veja. Mereka juga bilang mengingat semua kejadian itu. Sepertinya hanya satu orang tersisa yang masih menghilang. Aku masih berduka tentunya sampai sekarang. Setelah ini aku akan mampir ke rumah Heru lagi di pagi yang cerah ini.
Aku membuka pintu depan lalu berjalan ke kursiku yang dulu kududuki ketika kedua kali ke sini dan menikmati pemandangan indah ini. Veja menyuruhku untuk merahasiakan semua yang terjadi saat itu dari semua orang yang tidak tahu. Dia benar-benar menyeramkan kalau sedang marah.
Airei datang dari depan dengan daftar menunya, lalu dia duduk di depanku sambil menyeringai jahat. Dia menyerahkan daftar menunya dan berkata, “Tuan, silakan dipilih.”
“Hm, ada sesuatu yang baru di daftar menunya. Ada pie kah, itu saja dan secangkir teh, seperti biasa.”
Airei menggerutu kepadaku dan menyipitkan matanya. Lalu dia mengeluh seperti anak kecil, “Kau sudah kerja, kenapa tidak beli sesuatu yang lebih berbobot. Lagian makanan di sini tidak lebih mahal dari restoran di mall sebelah.”
Mulai dah sifat bisnisnya keluar. Setiap aku ke sini dia selalu menggerutu kalau aku tidak membeli lebih banyak. Setidaknya sejak aku mulai kerja di perusahaan baru.
“Aku memaksamu untuk membeli pancake dan parfait, terima kasih, Tuan Sen~.” Dia segera berlari kembali ke meja kasir dengan senyuman menyembalkannya itu setelah membuat lubang di dompetku.
Ini pertama kalinya dia bertindak seperti ini. Memang kafenya sedang sesepi apa sampai harus memaksaku begitu. Aku hanya bisa menggeleng-geleng kepala setelah melakukannya. Orang ini ada masalah apa denganku, bikin heran saja.
Veja datang ke arahku dan duduk di depan. Jadi bukan dia yang akan mengantarkannya. Kira-kira apa yang ingin dia bicarakan denganku?