Gina
Giving birth is such a crazy thing! It made me terrified and excited at the very same time. It’s definitely not pretty and not easy at all (it’s actually the hardest thing I’ve done in my life) but I know it’s totally worth it. And now, the baby that I carried in my belly for 9 months is finally here!
Aku masih ingat jelas rasa takut yang aku hadapi di ruang operasi beberapa waktu lalu. Bukan, aku bukan takut dioperasi. Aku justru takut melihat ekspresi wajah Bara saat menemaniku di ruang operasi. Tangan kanannya menggenggam erat tanganku, tangan kirinya menutup mulutnya rapat-rapat. Matanya melotot melihat apa yang dokter lakukan kepadaku. Wajahnya benar-benar seperti baru melihat kuntilanak makan durian. Sumpah, aku takut Bara pingsan di tengah-tengah proses dokter berusaha mengeluarkan bayi dari dalam perutku!
Akan tetapi, syukurlah Bara nggak pingsan. Kalau dia sampai pingsan, bisa-bisa semua suster di ruang operasi malah sibuk gotong dia. Kasihan susternya, soalnya berat badan Bara ikut melambung tinggi gara-gara menemani aku yang jadi doyan banget makan selama hamil. Solidaritas kata Bara. Cih, alasan!
Thank God, semua berjalan lancar. Setidaknya itu yang aku tahu sebelum aku tertidur setelah operasi selesai tadi. And here I am now, berada di ruang observasi pascaoperasi. Entah sudah berapa jam aku terlelap.
Now I wanna meet my baby!
Seperti apa, ya, wajah anakku? Apa mirip aku? Apa mirip Bara? Atau, jangan-jangan mirip Kendal Jenner?! Soalnya selama hamil aku tiba-tiba ngefans berat sama Kendal Jenner. Cantiknya itu, lho, bikin aku merasa mirip itik buruk rupa!
“Lho, sudah bangun, Bu?” tanya seorang suster sambil menghampiriku.
“Sudah, Sus,” jawabku dengan suara serak. Sepertinya aku benar-benar tidur cukup lama.
“Dok, Ibu Gina sudah bangun,” kata suster sambil memanggil obgyn-ku yang tampak baru memasuki ruangan.
“Bu, selamat ya. Bayinya perempuan. Sehat dan cantik kayak Ibu,” kata obgyn-ku sambil tersenyum lebar.
Aku hanya tersenyum. Obgyn-ku satu ini memang paling pintar berkata-kata manis. Ini salah satu hal yang bikin aku betah dan nggak ganti-ganti dokter selama hamil. Padahal, ini juga yang bikin muka Bara selalu sepet setiap mengantarku check up. Pernah sekali waktu Bara bilang, “Kayaknya aku dianggap keset sama dia. Seenaknya aja dia flirting-flirting sama kamu!”
Dasar pencemburu!
Menurutku, Pak Dokter satu ini sama sekali nggak flirting sama aku. He’s just nice. Terbukti dari review tentang dokter ini yang berseliweran di forum ibu-ibu di internet. Not to mention, dia juga ganteng banget, sih.
Sebetulnya Bara agak kurang setuju aku memilih obgyn laki-laki. Katanya, dia nggak rela aku disentuh laki-laki lain. Duh, suamiku itu memang suka lebay cemburunya. Masa sama dokter aja cemburu, sih? Lagi pula, menurutku Bara nggak perlu cemburu sama sekali. Meskipun sekarang pipi Bara sedikit chubby dan perut Bara sudah agak buncit khas bapak-bapak, buatku dia masih yang paling ganteng. Alisnya yang tebal selalu bikin aku iri. Matanya yang teduh selalu membuatku gagal ngambek terlalu lama. Dan, kumisnya yang sekarang sering dia biarkan tumbuh tipis-tipis, justru membuatnya tampak lebih mature dan seksi. Tingginya yang lebih dari 180 cm bisa saja bikin dia jadi model andai perut buncitnya hilang. Namun, kadang karena tingginya itu, aku harus loncat-loncat kalau mau kasih surprise kiss ke dia. Sebal!
Ok, back to my doctor! Banyak yang menjadi pertimbanganku untuk tetap bertahan dengan dokter satu ini. Selain karena memang dia cakep, menurutku dia adalah dokter yang selalu bisa menenangkanku setiap kali aku panik selama proses hamil. Maklum, aku kan baru sekali hamil, jadi sedikit-sedikit gampang panik. Sakit perut setelah makan sambal saja bisa bikin aku heboh banget. Bukankah penting untuk ibu hamil selalu merasa nyaman? Akhirnya, dengan seribu satu alasan, Bara mengalah dan setuju untuk nggak ganti obgyn.
“Ibu istirahat dulu saja, ya. Sebentar lagi biar saya suruh suster panggil suami Ibu,” kata obgyn-ku sambil tersenyum. Berani jamin, setiap ibu hamil yang kontrol ke dia pasti berdoa dalam hati supaya anaknya setampan si dokter.
“Iya, terima kasih, Dok. Oh, iya Dok, saya mau ketemu bayi saya.”
“Bayinya sudah dibawa ke ruang bayi, Bu. Nanti bisa ketemu di kamar setelah Ibu pulih benar, ya. Sabar, ya, Bu,” jawab dokter sambil berlalu.
Duh, rasanya aku pengin loncat sekarang juga dari tempat tidur ini dan berlari ke ruang bayi. Sumpah, aku pengin ketemu anakku! Aku sudah menunggu sembilan bulan untuk melihat wajah anakku. Sekarang saat dia sudah lahir, masa aku masih harus nunggu lagi, sih? Tega banget!
“Halo, sayang.” Wajah ibu mertuaku tiba-tiba menyembul dari balik pintu.
Lho, bukannya suster manggil Bara, ya? Don’t get me wrong, I love my mother in-law. Namun, orang pertama yang aku harapkan bisa aku temui setelah melahirkan adalah Bara. Ke mana, sih, orang itu? Memangnya dia nggak mau lihat kondisi istrinya pasca-melahirkan?
“Hai, Bu,” jawabku.
“Selamat, ya, Nak. Bayinya cantik sekali. Gemuk, putih, sipit kayak anak Jepang.”