Bara
“Ibu pamit dulu, ya. Kamu jaga Gina dan Fadya baik-baik,” kata ibu gue sambil memegang lengan gue. Pagi ini ibu gue yang sangat gue sayang ini sudah harus kembali ke Surabaya. Padahal, gue yakin, dia pasti masih pengin melihat cucunya lebih lama.
“Pasti, Bu. Ibu beneran nggak mau diantar ke bandara?” tanya gue.
“Ndak usah, Bar. Sore-sore gini, kan, macet. Lagian kasihan Gina kalau kamu tinggal sendirian. Dia masih butuh bantuan kamu. Masih sakit, ya, jahitannya, Sayang?” tanya ibu gue ke Gina.
“Lumayan, Bu. Tapi, kalau Ibu mau diantar Bara dulu juga nggak apa-apa, kok. Aku bisa panggil suster nanti kalau butuh bantuan,” jawab Gina.
“Ndak usah. Ibu naik taksi aja. Tapi, jangan lupa, ya, sering-sering kirim foto Fadya. Ibu pengin lihat perkembangannya.”
“Siap, Bu,” jawab Gina sambil mengangguk.
“Oke deh, Ibu pamit, ya,” kata Ibu sambil mencium pipi Gina.
Gue mengantar Ibu sampai lobi rumah sakit. Sebetulnya gue pengin antar Ibu ke bandara, tapi Ibu selalu begini. Sejak Bapak meninggal belasan tahun lalu, Ibu selalu jadi sosok yang kuat dan mandiri. Bahkan, pada saat gue sudah dewasa, Ibu tetap melakukan semua sendiri dan nggak pernah mau merepotkan gue.
Well, tapi selain itu, benar juga, sih, kata Ibu, kasihan Gina kalau gue tinggal sendiri. Kebetulan ibu mertua gue juga sudah pulang lebih dulu.
“Bara, kamu temani Gina, ya. Fadya mungkin belum butuh kamu sekarang. Tapi, Gina sangat amat butuh kamu di sisinya,” kata Ibu sebelum masuk taksi.
“Siap, Bu. Hati-hati, ya, Bu,” kata gue sambil melambaikan tangan.
Buru-buru gue kembali ke kamar tempat Gina dirawat. Bilang gue norak, tapi gue nggak mau berpisah terlalu lama dengan bayi gue. Begini kali, ya, rasanya jadi bapak baru?
For the first time in my life, I feel complete and enough. And I know for sure that I’m the happiest man alive.
Seharian ini gue habiskan di kamar rumah sakit dengan Gina dan Baby Fadya. Semua masih terasa seperti mimpi. This is crazy. Gue dan Gina sudah benar-benar jadi orangtua sekarang.
First we had each other, now we have everything, Gin.
“Look at our baby girl, she’s so adorable!” kata gue sambil duduk di sisi tempat tidur Gina.
“I know,” kata Gina sambil tersenyum.
“Thank you, Gin.”
“Untuk apa?”
“For giving me a daughter. Now that you’re officially the mother of my kid, I promise I will always protect you and our little family,” kata gue sambil mengecup lembut bibir Gina.
Gina cuma bengong. Mungkin dia nggak tahu dari mana datangnya kata-kata manis barusan karena gue juga nggak tahu. Ternyata punya anak benar-benar bisa bikin gue jadi metal. Mellow total!
Gue segera beranjak dari tempat tidur Gina, lalu untuk kali kesejuta gue mendekati Fadya yang sedang tertidur pulas, lalu mencolek-colek pipinya yang gembul dan bikin gemas. Kalau dia sudah bisa protes, mungkin dia bakal bilang, Ayah, aku bukan sabun colek!
Oh, my Baby Fadya, you are the most wonderful thing in my life. You’re a little angel sent from heaven. Ayah janji bakal jagain kamu dari buaya-buaya keparat ibu kota.
Harapan gue cuma satu, semoga saat besar nanti, Fadya nanti nggak hobi belanja kayak bundanya. Kebayang, dong, satu manusia kayak Gina saja rasanya sudah bikin gue pengin menghancurkan semua server e-commerce di Indonesia Raya supaya Gina nggak keseringan belanja online. Apalagi ada dua!
Asli, gue nggak ngerti kenapa kebanyakan perempuan punya hobi beli baju. Hobi tuh cuci baju, kek, lumayan kan jadi bisa buka usaha penatu kiloan. Lebih menghasilkan uang.
“Bar! Bara!” tiba-tiba saja Gina membuyarkan lamunan gue.
“Kenapa, sih, Gin? Heboh banget!”