Relationship Goals

Bentang Pustaka
Chapter #3

Day 4

Gina

Sebagus-bagusnya kamar tempat aku dirawat di rumah sakit, bisa pulang ke rumah tetap memberi kelegaan tersendiri. Meskipun aku dirawat di rumah sakit bukan karena sakit, aura rumah sakit tetap saja nggak menyenangkan buatku. Mungkin karena sebagian besar orang yang datang ke rumah sakit sedang menahan sakit atau dirundung duka karena menemani orang terkasih yang sedang sakit.

Sekarang, saat aku bisa kembali ke rumah Mama, senyumku terkembang lebar. Sudah hampir satu tahun aku nggak tinggal di rumah yang penuh dengan kenangan ini. Rumah yang selalu wangi masakan Mama dan selalu ramai dengan statement-statement ajaib Papa. Memang, sih, setelah menikah dengan Bara sebetulnya aku masih sering ke sini setiap weekend, tapi tetap saja beda rasanya dengan tinggal di sini. I definitely miss living here! Semoga Bara juga betah tinggal di sini.

Mama langsung meletakkan Fadya yang sedang tertidur di boks bayi setelah kami memasuki kamarku di rumah orangtuaku. Papa nggak berhenti memotret Fadya sejak tadi. Bara masih sibuk memindahkan satu per satu barang-barang bawaan dari rumah sakit. Sedangkan aku, bekas operasiku yang masih agak nyeri membuatku hanya sanggup duduk manis di sebuah kursi yang terletak di samping boks bayi Fadya.

Fadya tampak tertidur pulas tanpa beban di tempat tidur barunya. Dia tampak semakin menggemaskan dikelilingi boneka-boneka kecil yang disusun sesuai urutan warna pelangi di sisi dalam tempat tidurnya. Aku yakin, boneka-boneka ini sudah di-laundry berkali-kali oleh Mama sebelum diletakkan di sini. Di tangan Mama, aku yakin Fadya bakal jauh dari segala macam kuman dan bakteri. Mungkin kuman dan bakteri juga takut kali melihat muka Mama yang galak.

Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling kamar. Sepertinya baru dua minggu lalu aku berkunjung ke rumah orangtuaku dan menumpang tidur siang sebentar di kamar ini, tapi hari ini aku sudah nyaris nggak mengenali kamar ini. Semuanya berubah.

Meja riasku sudah nggak ada dan entah disimpan di mana oleh Mama. Sekarang posisinya sudah digantikan oleh boks bayi. Di samping lemari pakaianku juga sekarang ada lemari kecil yang sudah penuh dengan baju bayi hasil belanjaku saat hamil. Dan, yang paling bikin pangling, kamar yang dulunya putih bersih sekarang berganti wallpaper pink dengan gambar Winnie The Pooh versi bayi di beberapa bagian. Kamar ini benar-benar sudah bertransformasi jadi kamar bayi!

Hmmm, kayaknya aku sudah bilang, deh, bahwa aku kembali ke rumah ini hanya sementara. Hanya sampai rumah yang sudah dibeli Bara beberapa waktu lalu siap ditempati dan pastinya sampai aku mahir mengurus bayiku sendiri tanpa bantuan Mama.

Sebetulnya, awalnya Bara nggak setuju saat aku bilang mau tinggal di rumah orangtuaku setelah melahirkan. Bara mau tetap tinggal di apartemen sampai rumah yang sudah dibelinya siap ditempati. Alasannya sederhana, dia takut nggak bisa bebas. Entah kebebasan apa yang dia maksud.

Untung saja dengan dalih aku belum berpengalaman mengurus bayi dan butuh bantuan Mama sampai aku mahir mengurus Fadya sendiri, akhirnya Bara mengalah. Demi Fadya katanya. Ah, paling-paling setelah tinggal beberapa hari di sini, Bara bakal ketagihan sama masakan Mama dan jadi betah banget tinggal di rumah ini.

“Gin, mandi dulu, terus istirahat. Mama udah siapkan daster-daster di lemari kamu,” kata Mama sambil mengibas-ngibas tempat tidurku, padahal aku yakin dia sudah melakukannya berjuta-juta kali sebelum aku datang tadi. Mama itu OCD akut. Lebih kronis daripada aku.

“Daster, Ma?” tanyaku memastikan.

“Iya, biar lebih leluasa nyusuinnya. Dasternya Mama pesan langsung dari teman Mama di Malang, lho,” jawab Mama. “Nggak usah khawatir, dasternya sudah Mama rendam dengan air panas dan cuci dua kali. Nggak ada lagi bau toko!”

Aku hanya bisa mengernyit. Jadi, aku harus pakai daster, nih?

Jangan salah. Aku adalah pecinta berat daster. Masalahnya, aku sama sekali nggak pernah pakai daster di depan Bara. Bukankah seorang istri harus selalu berusaha tampak menarik di depan suami? Sedangkan pakai daster selalu membuatku merasa mirip karung beras.

Bahkan, selama aku hamil besar, aku lebih sering memakai kaus milik Bara daripada pakai daster. Biasanya aku melipat dan menggulung lengan kaus Bara supaya aku tetap merasa fashionable dengan kaus kegedean itu. Hey, life is too short to wear boring clothes. That’s why I always try to have fun with fashion because I dress to entertain myself.

Sayangnya sampai detik ini aku belum juga bisa menemukan cara untuk bersenang-senang dengan daster. Harusnya ada desainer andal yang bikin daster jadi sedikit lebih fashionable. Paling nggak, bikin nggak jelek-jelek amatlah buat selfie untuk di-post di Instagram atau bahkan fashion blog-ku. Kebayang nggak kalau aku selfie pakai daster, bisa bersorak-sorai kegirangan semua haters-ku.

Ah, aku jadi ingat, aku mau post foto aku dan Fadya saat perjalanan pulang dari rumah sakit tadi. Biasalah, hidup pada era media sosial seperti sekarang, pulang dari rumah sakit juga harus pengumuman di Instagram.

Sebagai seorang fashion blogger yang aktif banget di Instagram, aku sering banget dapat undangan untuk event fashion di Jakarta. Namun, sayang, aku sering kali nggak bisa hadir karena masih harus kerja kantoran. Karena nggak bisa eksis dengan maksimal, jadi setidaknya aku harus tetap rajin update Instagram-ku. Aku nggak mau orang-orang di industri ini dan juga follower-ku melupakan aku!

Ngomong-ngomong kerja kantoran, sekarang ini aku sedang cuti melahirkan selama 3 bulan. Gila, membayangkan nggak masuk kantor 3 bulan saja rasanya bikin aku pengin jingkrak-jingkrak sekarang juga. Honestly, pekerjaanku sebagai brand executive di salah satu perusahaan fast moving consumer goods sama sekali nggak menarik bagiku. Entah kenapa aku masih juga bertahan di perusahaan itu.

“Gina, jangan main hape terus! Buruan mandi. Kalau Fadya tidur, kamu harus ikutan tidur supaya nggak kecapekan,” kata Mama lagi.

“Iya, sebentar lagi, Ma,” jawabku.

“Biarin ajalah, Ma. Baru juga masuk rumah. Mungkin Gina masih mau istirahat,” bela Papa masih sambil tetap sibuk memotret Fadya.

“Sekarang!” kata Mama tegas. “Itu penyakit-penyakit dari rumah sakit masih pada nempel di baju kamu! Kamu mau penyakit-penyakit itu nempel ke Fadya? Papa juga belum mandi, kan?” kata Mama sambil berjalan keluar pintu.

Seperti anak balita yang habis dimarahi ibunya, Papa langsung menghentikan aktivitasnya dan menuruti kata-kata Mama. Sekarang aku ingat, Mama memang paling senang memperlakukan seisi rumah ini seperti anak balita.

Kembali ke rumah Mama artinya kembali diperlakukan seperti anak kecil. I know I will always be her little princess. Namun, aku sudah terlalu dewasa untuk diatur-atur begini. For God’s sake, memangnya Mama pikir aku adalah tipe orang yang sanggup nggak mandi setelah menginjakkan kaki keluar rumah? Mama lupa, ya, sudah menurunkan OCD-nya ke aku?

Lihat selengkapnya