Revisi tugas akhir, done.
Wawancara kerja, done.
Berusaha mematahkan hati orang lain, jangan down!
Aku masih menata napas dan menyeka keringat yang tak kunjung habis setelah diajak berputar-putar angkot yang hanya berpenumpang satu, aku. Sopir angkot menurunkanku di persimpangan jalan. Kata sopirnya, tujuanku sudah dekat. Kata hatiku, tujuanku masih jauh. Aku pilih percaya pada kata hati daripada kata sopir angkot yang terburu-buru mengubah trayek karena sepi penumpang.
Udara panas di area Tanjung Perak menambah lambat langkahku dan mengerutkan nyaliku yang macam plastik. Kuremas tali tasku sambil kembali menimbang apakah aku sudah yakin memilih perusahaan ini jadi pelarianku? Siapkah aku berlari sendiri di dunia yang baru?
Teman-teman satu jurusanku masih berkutat dengan revisi tugas akhir di kampus. Wara-wiri membuat janji dengan para dosen. Haha-hihi di kantin menertawakan nasib revisian yang entah kapan berakhir. Aku memilih cepat menyelesaikannya, bukan karena ingin dicap sebagai mahasiswa rajin, terbaik atau cari muka. Aku berusaha kabur dari seseorang. Secepatnya.
Satu-satunya cara yang terlihat adalah meninggalkan kampus dan cari pekerjaan. Di sesi pamungkas pertemuan dengan dosen pembimbing tugas akhirku, tanpa kuduga beliau memberi sebuah jalan setelah segala tanggunganku di kampus usai, kecuali wisuda dan tetek bengek administrasinya. Pak Hari merekomendasikanku ke sebuah perusahaan.
“Siapkan saja berkas lamaran. Masukkan secepatnya. Kalau sesi wawancara, bilang saja rekomendasi dari saya. Tapi kalau kamu masih mau keluyuran, healing dulu, ya terserah.”
Healing? Ingin kuteriakkan kata mau tapi mulut ini masih tahu malu. Mau senang-senang bagaimana kalau pembayaran wisuda masih dalam angan-angan? Beasiswaku tidak termasuk untuk bayar wisuda. Tabungan nyaris kerontang. Tak ada harapan kiriman dari orang tua. Aku harus merencanakan garis nasib yang baru meskipun tawaran kerja dari Pak Hari membuatku ragu. Kalau saja perusahaan itu di lain kota ....
Sejujurnya, Pak Hari bukan orang yang mudah memberikan tawaran yang menyenangkan. Menjadi dosen pembimbing saja, dia selalu jadi pilihan mentok para mahasiswa perkapalan yang mengambil bahasan desain konstruksi. Bukan cuma pelit nilai, jarang basa-basi dan lihai mencari kesalahan desain hanya lewat teropongan gulungan gambar, beliau juga tipikal dosen penjunjung tinggi kedisiplinan yang jadi musuh utama mahasiswa burung hantu macam aku.
Belum ada rekor mahasiswa yang duduk lebih dulu di kelas sebelum beliau hadir. Belum ada mahasiswa yang desain kapalnya benar-benar sesuai spesifikasi beliau. Tapi sudah ada mahasiswa yang berhasil menyelesaikan tugas akhir lebih dulu di bawah bimbingannya. Biasanya, mahasiswa yang beliau pegang harus terima nasib berganti-ganti judul atau mengulang sidang di musim berikutnya.
Teman-teman menganggapku luar biasa. Padahal di dalam kata luar biasa ada kata mati-matian. Mereka tak pernah tahu bahwa selama masa bimbingan, beliau sudah mengatur jam khusus selain jadwal bimbingan di kampus. Terlewat menit saja, skip.
Pernah sekali aku terlambat gara-gara sibuk mengerjakan job freelance desain untuk menyambung hidup, beliau mengingatkan jatahku tinggal satu kali skip atau ganti topik bahasan baru atau ikut gelombang sidang mendatang. Aku mencoba menego waktu, beliau memaklumi dengan konsekuensi penambahan waktu. Empat kali seminggu aku harus ke kantor pribadinya untuk setor progres sambil menerima banyak revisi dan pematahan argumen. Diam salah, berargumen tetap salah. Satu-satunya yang tak terpancing emosi di ruangan itu hanya patung Buddha di sudut ruangan yang bersila penuh ketenangan. Andai bisa seperti itu ....
Job freelance itulah yang membuatku terdistraksi. Aku butuh duit. Buat hidup. Buat menghidupi. Aku juga butuh segera lulus. Dapat kerja. Dapat duit. Buat hidup. Lagi-lagi buat menghidupi orang di rumah. Sedangkan deadline masing-masing benar-benar membuatku dead.
Siapa yang peduli? Nggak ada.
Sama seperti siang ini saat aku linglung karena kepanasan dan mencari alamat. Tak ada yang peduli. Aku cuma bisa mengumpat sopir angkot yang menurunkanku sangat jauh dari tujuan. Menggerutu pada nasib saat melihat kendaraan lalu lalang menyemprotkan asap, sedang aku sendiri berjalan menghirupnya. Menyalahkan diri karena bersedia mengalah pada adik dengan menukar ponsel yang bisa dipakai nge-maps diganti ponsel poliponik.
Setengah jam setelah turun dari angkot dan berjalan, akhirnya aku sampai di depan gerbang perusahaan yang direkomendasikan Pak Hari. Sebuah galangan kapal di ujung daratan.
Aku masih bisa mundur. Aku bisa beralasan pada mama kalau tugas akhirku belum kelar, jadi mama tidak akan menuntutku segera cari kerja yang mapan. Masalahnya, aku tidak bisa membohongi diri kalau aku butuh kesibukan padat bercuan untuk jadi alasan mematahkan hati seseorang dan melepas peran sebagai benalunya.
Aku sudah berusaha merancang ini sejak tiga bulan lalu. Ngebut mengerjakan tugas akhir jadi alasan paling efektif. Aku tak lagi punya waktu kecuali memikirkan kerumitan tugas akhir dan mengatur pertemuan dengan dosen.
Rancangan efektif keduaku, menukar android jadi poliponik, memblokir nomornya dan berhenti berseliweran di media sosial. Terbukti tiga bulan ini dia berhenti menghubungiku. Yang kutahu, dia cowok pengabdi wifi gratis, kadang-kadang pengisi voucher internet bulanan tapi anti membeli pulsa reguler apalagi gonta-ganti nomor.
Rancangan efektif ketiga adalah cari kerja sebelum dia kembali dari masa magangnya. Hitunganku, bulan depan adalah bulan terakhirnya melaksanakan program magang dari kampus. Di sinilah rancangan ketigaku harus dimulai. Di depan gerbang perusahaan bertuliskan PT. Tanjung Selaka Shipyard.
Satu setengah jam perjalananku ke tempat ini disambut oleh resepsionis laki-laki yang fokus pada ponsel dan sigaretnya. Dia baru berdiri ketika aku tiga kali mengucap permisi.
“Ada yang bisa saya bantu, Dek? Mau magang di sini? Dari SMK mana?”
Dek? SMK? Apa sebegitu baby face-nya aku? Atau memang aku masih kelihatan belum layak melamar kerja?
Resepsionis laki-laki yang tingginya segaris denganku ini punya tampang mengesalkan. Aku sudah mungil, tapi laki-laki itu kelihatannya lebih minimalis dariku. Alisnya yang lebih tebal dibanding rambut di kepalanya, saling bertaut. Dia terus mengamatiku dari ubun-ubun sampai rasanya ke daki-dakiku.
“Saya dapat kabar untuk menghadiri wawancara kerja hari ini, Pak,” pungkasku mengakhiri tatapan resepsionis itu.
“Oh.”
Lelaki itu mematikan rokoknya yang masih separuh kemudian menyimpannya ke bungkus sigaret merek matahari. Dia mengajakku ke lantai dua. Ada ruangan-ruangan berdinding kaca transparan yang kami lewati, sampai lelaki itu berhenti di satu-satunya ruangan dengan batas kaca riben gelap. Dia mengetuk pintu, masuk dan terlihat berbicara dengan seseorang di dalam. Tak lama dia keluar dan mempersilakanku masuk.
“Silakan duduk.”