Menepi
Menepi
Dan kembali terbawa arus.
“Ngomonglah salahku apa, Sahya? Tiga bulan terakhir ini kita tanpa komunikasi. Kurang break-nya?”
Peganganku mengerat pada gelas iced coffe yang mengembun. Dinginnya menyatu dengan telapak tanganku. Pandanganku mengawasi uap air yang pelan-pelan turun, mirip butir air mata yang lepas dari tahanan kelopak mata.
“Jangan nunduk terus! Kamu malah kelihatan salahnya.”
Dengan tangan kirinya, Wirya mengangkat daguku sedikit kasar. Mata kami segaris. Aku tak lagi bisa menghindari tatapannya yang berusaha mengobok-obok apa yang kusembunyikan. Bukankah mata tak bisa bohong? Aku sendiri tak yakin apakah pernyataan itu benar karena tidak tahu prosedur pasti mendeteksi kebohongan lewat mata.
“Ada cowok lain?” tanyanya.
Aku menggeleng.
“Kamu ada main sama dosenmu?” cecar Wirya.
“Kok bisa sih punya pikiran kayak gitu?” Nada suaraku langsung meninggi.
“Terus apa alasannya? Aku nggak bakal melepas kamu kecuali ada alasan logis. Titik.”
Kuketuk-ketuk pelan gelasku sambil memikirkan haruskah aku berkata yang sebenarnya di tempat ramai ini atau cukup mengarang alasan saja?
“Aku mau cari kerja, Mas. Jauh dari sini.”
“Aku ikut.”
Ketika Wirya sudah mengatakan ‘ikut’, artinya dia benar-benar mengikuti ke mana pun aku pergi. Masuk ke dalam kehidupanku. Begitulah yang terjadi lima tahun belakangan.
Aku mengenalnya saat mencari Anggit, kakak laki-lakiku yang minggat membawa kabur sisa uang hasil penjualan rumah papa. Padahal itu tabungan terakhir yang bisa diharapkan untuk menyambung pengobatan papa yang terkena stroke dan jatah uang kuliahku.
Wirya sahabat dekat kakakku mulai SMA sampai Anggit menghilang. Dia menyimpan semua rahasia gelap Anggit dan mau menukarnya asal aku bersedia membantu usaha dagangnya. Andai dulu aku tahu apa maksud dari membantu usaha dagangnya, aku tidak akan pernah mencecarnya untuk bicara jujur di mana Anggit saat itu. Toh kejujuran Wirya justru jadi pemicu kelumpuhan papa.
Dari Wirya, aku tahu Anggit terlibat dalam peredaran obat-obatan dan kosmetik ilegal. Uang yang dibawa minggat alasannya untuk modal usaha kotornya. Anggit jadi buruan dua pihak. Polisi dan rentenir.
Wirya bilang dia tidak terlibat. Dia bahkan sudah mati-matian mencegah kelakuan Anggit. Namun sejak Anggit menghilang, Wirya justru mendapat limpahan tugas dari Anggit dan ... membaginya denganku sesuai kesepakatan. Alasannya, Wirya mau membantu hidupku yang kacau karena kelakuan Anggit.