Cari kerja, sudah dapat.
Cari cowok, dihujat sahabat.
Cari aman, diam dan minggat.
Kai baru saja keluar dari ruangan tempatnya berkonsultasi dengan dosen pembimbing tugas akhirnya. Aku sengaja menungguinya selama lebih dari satu jam hanya untuk mengutarakan permintaan konyolku. Begitu cewek berambut bondol itu keluar, aku langsung merangkul dan membisikinya sesuatu.
“Hah, cariin cowok?” pekik Kai.
Seketika kubungkam mulut Kai dan segera menariknya turun dari lantai dua studio perencanaan gambar.
“Please, Kai.”
Kupasang tampang memelas. Siapa lagi yang bisa kumintai tolong selain teman satu kos dan satu jurusanku ini? Di antara sekian banyak manusia di kampus, cuma dia yang bisa kuberi sedikit rahasia hubunganku dengan Wirya. Selain Kai, mereka sepertinya percaya bahwa hubunganku dengan Wirya adalah saudara sepupu.
“Lah terus berondongmu nasibnya piye? Tahu nggak, aku lho disalah-salahin, dikira aku yang ngajak kamu pindah kos. Njauhin kamu sama dia. Kepet emang berondongmu itu. Bukannya wes putus ya kalian?”
Aku tak tahu harus bilang apa pada Kai. Statusku di mata Wirya rasanya sama saja meskipun aku sudah bilang minta putus. Hasilnya nihil. Aku seperti produk yang telah di hak patenkan oleh Wirya, jadi miliknya.
“Nganu Kai, soal itu—”
Kai balas membungkam mulutku dan mulai mencerocos.
“Mleyot lagi hatimu? Kasihan lagi sama dia? Empat tahun, Sahya. Empat tahun! Mau jadi apa kamu kalau terus-terusan ngikutin permintaannya? Kawin aja sekalian sono! Sampai ke WC lho dia ngintilin kamu. Kok betah ruang privasimu dijajah gitu?”
“Nggak sampai masuk ke WC juga kali. Cuma di depan pintu,” kilahku.
“Kan ... kan ... masih mbelain? Males aku kalau kamu udah cerita panjang soal hubunganmu sama Wirya tapi ujung-ujungnya kamu tetap ae mau diseret. Mulai berondongmu itu ngilang, kamu itu lebih hidup. Los dol sampek mbrodol mau nongkrong ke mana ae. Sayang ae kita lagi nggarap tugas akhir.”
“Makanya itu Kai, aku pengen cari-cari alasan buat putus. Bantuin.”
“Bantuin cari cowok buat dijadikan tumbal perasaan? Pelampiasan? Tega kamu. Kecuali kamu bayar tuh cowok. Pura-pura. Uakeh kalo gitu yang mau.”
“Bayar wisuda belum bisa, malah bayar cowok. Alternatif lain, Kai.”
“Cari kerja yang jauh. Putus komunikasi. Kemarin-kemarin kan bisa.”
“Kan masih cari Kai, dapetnya kapan nggak tahu.”
Sengaja kusembunyikan kabar terbaruku. Sebisa mungkin tak ada yang tahu kalau aku sudah diterima kerja.
“Kepet! Ruwet permintaanmu. Kalau mau cara cepet ya wes jangan kasih kesempatan dia buat balik. Bunuh rasa kasihanmu ke dia. Kamu bisa kasihan ke Wirya tapi nggak pernah kasihan ke dirimu sendiri. Sadar woi. Sadar. Kamu punya kemudi buat mengendalikan hidupmu sendiri. Udahlah, itu nasehat terakhir. Aku mau ke perpus cari referensi. Ayo ikut. Kali ae ketemu cowok yang bisa ditumbalkan di sana.”
Aku pasrah saja diseret Kai ke perpustakaan. Kami melewati lorong ruang perkuliahan. Apesnya, ada Wirya bersama teman-temannya duduk bergerombol. Aku mencoba menghentikan Kai tapi sama sekali tak digubris. Kai baru sadar saat Wirya mencegat kami. Dia mengajakku makan siang.
Mulut Kai sudah mulai monyong, matanya berkedip-kedip tak beraturan padaku. Aku paham isyarat Kai. Aku menolak ajakan Wirya dengan alasan mengerjakan tugas akhir. Demi squad pejuang tugas akhir, aku harus berterima kasih banyak pada mereka karena tak membocorkan rahasiaku yang sudah menyelesaikannya.
Bukan Wirya kalau menyerah mengajakku. Dia memutuskan ikut aku ke perpustakaan. Kai pasang badan dan pasang muka serigala betinanya untuk menolak Wirya ikut kami. Kai beralasan tak mau melihat pasangan bucin yang mengganggu konsentrasi para jomlo yang mumet menyelesaikan tugas akhir.
Aku mendekati Wirya dan menggenggam telapak tangannya sebelum pergi. “Cuma di perpus. Nggak ke mana-mana kok. Entar aku telepon kalau udah selesai.”