RelationSHIP

Gusty Ayu Puspagathy
Chapter #4

C.D.M.A

Simsalabim abrakadabra 

Aku berubah jadi petapa 

Plus jadi calon pengabdi Celana Dalam Mak Atika 

 

Semua baju sudah kujejalkan dalam dua tas jinjing. Boneka Olive-ku yang buluk hampir ketinggalan. Tumpukan buku titip dulu di kamar ini. Kai pasti masih mau jadi penjaga. 

Ojek sudah kupesan. Dia yang akan jadi saksi minggatku. Harusnya sekarang jadwalku pulang ke rumah Mbah Kung, tapi aku harus cari kos baru yang tidak bisa dideteksi Wirya. Jauh dari orang-orang yang mengingat wajahku di area kampus. Entah kang cilok langganan, mak bakul pecel tempatku biasa sarapan, kang fotocopy tempat utangan atau kasir Waroh Mart yang bisa jadi hafal wajah mahasiswa yang sekadar lihat harga barang tanpa membeli. 

Rancanganku adalah mencari kos di sekitar rumah sakit di kota ini. Alasan pertamaku, ada angkot yang trayeknya bisa menuju ke calon tempat kerjaku. Aku harus memikirkan kemungkinan terburuk kalau ponselku kembali poliponik dan tak bisa pesan ojek. 

Alasan kedua, orang yang kos di sekitar rumah sakit pasti berurusan dengan orang sakit. Cepat datang, cepat minggat, tergantung mood penyakitnya. Jadi mereka tak akan banyak mengenalku. Kemungkinan terburuknya saat aku sakit dan sendirian, tak perlu jauh-jauh. Sekarang, aku mulai harus memikirkan konsekuensi terburuk dari apa yang jadi pilihanku. 

Terima kasih buat kang ojek yang ikut mencarikan kos-kosan meskipun rekomendasinya adalah rumah di jalan buntu yang berujung makam. Untungnya ada lahan kosong yang jadi batas kos baruku dengan makam itu. Di sinilah persembunyian baruku. 

Baru saja hati meniatkan untuk menekan mode rebahan, ada panggilan dari Kai. Aku sudah menebak apa yang bakal dia cerocoskan.  

“Kenapa Kai? Wirya mbuntutin kamu? Dia nggak percaya kalau aku nggak sama kamu? Atau Wirya betah jadi pager hidup di depan kos-kosan?” 

“Lah kok bener? Kepet! Kamu di mana seh? Ngilang nggak permisi kayak kunti. Itu berondongmu masih nungguin di depan pager. Eh eh eh apa-apaan ini? Bajumu ke mana semua? Kamu sah balik sak kontrakan sama Wirya?” 

“Pekok! Kalau aku satu kontrakan ngapain dia nunggu di situ kayak orang minta sumbangan? Aku otw pulang.” 

“Harus banget ya bawa semua baju? Terus aku bilang apa ke berondongmu biar nggak merusak pagar kos kita yang estetik?” 

“Bilang aku balik ke rumah mbah.” 

“Yakin itu mantra ampuh pengusir berondongmu?” 

“Udah yakinin aja. Ndang sana bilang gitu. Nomornya tak blokir semua jadi nggak mungkin telepon aku. Oke bye, aku di jalan.” 

Aku langsung memeluk kasur baruku. Ini saatnya menonaktifkan semua media sosialku dan mengaktifkan mode seorang petapa. Aku tak perlu gua tertutup sarang laba-laba, ceruk di bawah air terjun, lembah berkabut abadi atau gunung yang terlindung tabir gaib untuk jadi petapa. 

Simsalabim aku hilang dari peredaran dunia lamaku. Selamat datang dunia yang menggemblengku jadi seorang petapa. 

*** 

Misi pertama di kos baru pada hari sabtu, aku harus menghilangkan semua yang berbau Wirya. Ponsel miliknya kukirim balik. Maaf ya ponsel baru yang dibeli Wirya pakai duit halal, aku tahu nasibmu nanti berakhir hancur di tembok kontrakan. 

Aku terpaksa mengambil sisa tabunganku yang makin tipis hanya untuk membeli ponsel poliponik di counter yang tak jauh dari kosku. Berjalan di tempat baru, pakai kedok baru. Aku merasa lebih aman menutup kepalaku dengan tudung jaket dan tetap mengenakan masker. Membatasi pandangan dari keramaian itu jauh lebih menenangkanku karena perasaan selalu diawasi masih saja belum hilang. Untung saja counter di pinggir jalan raya ini tak ada pembeli selain aku.  

Seorang laki-laki yang semula kupikir penjualnya, asyik nge-game di balik etalase. Aku harus memanggil tiga kali baru dapat sahutan. 

“Bro, ada pembeli,” teriak laki-laki itu. 

Dia masih memunggungiku, sama sekali tak menggubrisku dan sibuk dengan ponsel serta rokok yang terjepit di jari-jarinya. Lelaki lain datang dan ramah melayaniku. Setelah memilih dan membayar semuanya, aku membuka masker dan tudung jaket, spontan kuceploskan unek-unekku.  

“Mas kalau cari orang buat njaga counter itu ojo yang budeg. Mosok ada pembeli nggak direken seh.” 

Saat penjual itu meminta maaf, saat itu pula lelaki budeg itu menoleh padaku. Kami saling pandang. Dia ternyata mas resepsionis di Tanjung Selaka. 

“Oh ... pantes budeg,” celetukku lirih tapi aku yakin dia mendengarnya. 

*** 

Masih jam enam waktu aku keluar kos. Rentang waktu dua jam cukuplah untuk sarapan dan mencari angkot ke Tanjung Selaka. Senin yang padat kendaraan. Warteg yang ada di pinggir gapura masuk gang kos-kosanku ikut-ikutan padat macam antrian prasmanan acara nikahan. Berada di kerumunan begini membuat rasa nyamanku tersedot hilang. Pikiranku otomatis berkata hati-hati ada yang mengawasi. Aku memilih membungkusnya dan memakannya di kos sebentar. 

Hampir jam tujuh, matahari sudah memeras keringatku yang menunggu angkot melintas di depan gang sendirian. Awalnya aku tak sendiri, banyak karyawan, anak sekolah dan kuliahan yang berdiri menunggu di sini. Bukan angkot yang ditunggu tapi ojek pesanan mereka. Aku? Petapa kan ponselnya poliponik. Mana bisa pesan ojek daring. 

Karena angkot tak kunjung terlihat, aku memutuskan berjalan ke toko kelontong di pinggiran trotoar. Aku sudah berjanji membelikan sebungkus rokok matahari untuk mas resepsionis di hari pertamaku masuk kerja. Ya ... walaupun saat bertemu di counter dia kembali mengabaikanku. 

“Mulai kerja hari ini ya, Dek?” 

Seketika aku menoleh mendengar sapaan itu. Mas resepsionis lagi? Duh, harusnya aku tadi tetap memakai masker dan tudung jaketku. 

“Lah kok nggak nyaut? Santai aja kali. Takut kepergok rokokan ya?” 

Kenapa sih nih mas-mas kepo banget? Mana mungkin aku bilang mau membelikan rokok buat dia. Kenapa juga nggak langsung tancap gas motornya? Malah menyulut rokok di dekatku. 

“Naik apa, Dek?” 

Lihat selengkapnya