Perkenalan
Membuka celah
Celah terbuka
Lebih dari kenal
Malam itu mereka gagal lembur gara-gara aku. Sebenarnya aku sudah bilang kalau tak masalah ikut lembur jika memang dibutuhkan, tapi Radite tidak mengizinkan. Alasannya malam ini adalah malam khusus pembaiatanku sebagai personel CDMA.
Sengaja kami mengulur waktu pulang agar tak dicurigai, berpura-pura masih membuka layar komputer walau tak ada yang dikerjakan. Paling tidak, ada hitungan uang lembur dua jam kalau kami baru keluar jam delapan malam.
Dari Genta, aku tahu trik semacam itu dicetuskan Radite. Katanya pula, ada kecenderungan penghuni ruangan DE selalu pulang malam. Jika pulang tepat waktu justru dicurigai ada sesuatu.
“Sahya, khusus kamu nggak usah ikut-ikutan lembur ya. Kasihan kalau anak perempuan pulang malam. Apalagi pulang sendiri. Saya jadi ingat anak perempuan di rumah.”
Mendengar kekhawatiran Pak Syaqar, aku jadi merasa ingin punya bapak seperti itu, yang mengkhawatirkanku.
“Biasanya kalau lembur sampai jam berapa memangnya, Pak?”
“Bisa nyambung sampai pagi. Radite, Acok, Genta sering tidur di sini kalau sibuk mengerjakan tender atau menjelang serah terima kapal. Maklum masih muda. Belum ketanggungan keluarga. Kamu tinggal di mana Sahya?”
Ketika kuceritakan di mana aku tinggal, lima mulut hampir bersamaan mengucap, “Tetangganya Radite?”
“Dia anak kos baru. Jumat sore baru dateng,” jawab Radite.
Aku menatap Radite keheranan.
“Kamu mau nanya dari mana aku tahu? Kan kosmu di depan kosku. Kamarmu lantai dua kan? Jendela kamarmu hadap-hadapan sama jendela kamarku.”
Saat aku masih tercengang, tiba-tiba Genta menggeser kursinya di antara aku dan Radite. Seperti anjing, dia mengendus-endus.
“Hmmm ... ada aroma-aroma—”
“Bebek Mak Atika,” ceplos Radite sembari melihat jam tangannya. “Ayo jalanlah sudah waktunya.”
Satu per satu komputer dimatikan. Lampu ruangan pula. Kami jadi penghuni terakhir lantai dua.
Sampai di parkiran, Genta menawarkan tumpangan. Namun dia menyayangkan soal helm.
“Sahyang, helmnya. Kamu bonceng aku lagi?” Radite menyerahkan helm hijau curiannya padaku.
“Eh eh eh tunggu dulu,” Genta menyetop sepeda motor Radite. “Ini ceritanya kalian sudah saling kenal? Udah sering boncengan gitu? Harus klarifikasi ini di Mak Atika.”
Radite mempersilakanku ikut siapa saja, tapi pilihanku malah jatuh ke dia. Dalam perjalanan aku sering memergokinya melirikku dari spion. Radite malah memasang senyum ketika pandanganku bertemu dengannya.
“Kamu kok nekat mau kerja di Tanjung Selaka? Pak Oefi nggak ngomong beban kerja di bagian DE? Nggak ngomong soal gaji?” Radite mencoba mengisi keheningan di antara kami.