RelationSHIP

Gusty Ayu Puspagathy
Chapter #6

MENU SAMA, BEDA RASA

Fasilitas ponselnya 

Pendekatan rasanya 

Terasa sama 

 

Hariku terasa berbeda. Jelas, statusku bukan lagi mahasiswa tapi sudah jadi karyawan. Namun berbeda yang kumaksud adalah berbeda rasa dengan menu yang agak sama. Aku pernah mengalami ini sebelumnya. Ketika mengalami lagi, kenangan lama dan perasaan bersalah langsung bermekaran. 

Dulu bangun pagi, buka kamar, yang kutemukan Wirya menyapaku dalam kondisi setengah sadar, terlentang bersama laptop dan barang-barangnya yang berserakan di ruang tamu. Aku terpaksa membangunkannya lewat jambakan ringan di rambut ikalnya yang awut-awutan. Dia baru benar-benar bangun kalau aku sudah duduk di sisinya dan menyerahkan puncak kepalaku untuk diendusnya. Kata Wirya, kepalaku punya bau khas yang membangkitkan semangat. Kataku, itu cuma gombalan yang bikin perut penuh cairan asam lambung pekat. 

Sekarang, bangun pagi, buka jendela, yang kutemukan senyum Radite dan lambaian tangannya menyapaku. Rambutnya yang mirip idol korea sedang wajib militer tampak basah terguyur air. Dia sudah rapi dengan kemeja gelapnya saat aku belum benar-benar niat ke kamar mandi. Dari kamarku, kulihat bibir Radite bergesekan membentuk sapaan selamat pagi. Dengan senyum pula kubalas sapaannya yang membuat perutku penuh tanpa perlu sarapan pagi. 

Radite mengajakku sarapan bersama di warteg dekat gapura gang. Itu sepertinya sudah diagendakan jadi rutinitas paginya sebelum berangkat ke kantor. Kenapa harus ada rutinitas lagi yang terulang seperti saat aku bersama Wirya? Bedanya, Wirya selalu menyamakan menuku dengan menunya. Radite membebaskanku memilih sepuasku. Tambah tiga kali pun tak masalah. Persamaannya, aku masih merasa jadi benalu hidup yang membuat orang kasihan padaku. 

Jika semasa kuliah selalu ada yang setia mengantar jemputku, sekarang pun begitu. Mungkin nasib melarangku bersentuhan dengan banyak ojek. Radite bilang siap jadi ojek langgananku ke kantor. 

Radarku sudah memberitahukan bahaya. Sebelum semuanya terlanjur tenggelam, harusnya aku bisa mengatakan ini pada Radite. 

 Maaf ya, sementara waktu kita cukup sebatas hubungan pelanggan dan kang ojek, rekan kerja junior dan senior, tetangga kos nomor 11 dan 12. Selebihnya aku butuh waktu untuk percaya pada sebuah hubungan. 

Ahhh ... kenapa tiba-tiba aku merasa sok menggembungkan harapan ya? Radite begitu bukan karena memberi perhatian lebih, tapi karena kasihan. Coba lihat cermin, pandang baik-baik. Nilai jualku apa di mata Radite? Nggak ada. 

Aku cuma cewek buluk yang dandan aja nggak bisa dan masih sering dikira anak SMK. Polosan. Beda dengan cewek-cewek bagian keuangan penghuni lantai tiga atau pekerja kantoran perempuan yang sering kutemui. Mereka dengan gampangnya memulas topeng wajah bernama make up. Topengku punya bentuk lain, berupa lapisan-lapisan kesan i'm a good girl. 

Rasanya aku cuma manusia yang di-setting jadi robot penurut, nyaris dalam segala hal. Padahal aku tahu nggak bisa melakukannya. Padahal aku sadar jika yang kuturuti adalah hal salah. Rasanya kata ‘tidak’ tidak berlaku buatku menolak permintaan orang terdekat. Terima nasib saja ketika mode inisiatifku ditidurkan oleh mereka. 

Ini alasanku tak mau menambah daftar nama orang terdekat selain orang tuaku, saudara kandungku dan Wirya. Aku sudah mencoret nama Wirya dan nggak boleh ada yang menggantikan posisinya. Atau ... aku akan terjebak dengan hubungan yang sama. 

Tapi Radite .... 

Aku merasa ada sesuatu yang tidak asing dengannya. Sesuatu yang menarikku untuk mendekat seperti para penagih utang. 

Dua minggu sudah aku mengenalnya, dia tidak budeg seperti kesan pertama yang dia tunjukkan padaku. Radite leader yang bisa menghidupkan kelompok kecilnya dan mendengar masukan-masukan dari yang lain. Bahkan hal sepele mengenai perubahan jadwal pengerjaan tender perencanaan desain yang disampaikan di warung bebek Mak Atika, dia pertimbangkan baik-baik. 

Pak Mul jelas pulang tepat jam Cinderella berdentang. Pak Syaqar dan Pak Manu, dua bapak yang sama-sama punya anak perempuan beranjak remaja justru mengkhawatirkanku. Mereka melarang Radite memulangkanku jam dua. Aku hanya diizinkan sampai jam Cinderella berdentang pula. Maka mulai malam pertama pengerjaan perencanaan desain, kami semua berubah jadi pasukan Cinderella. Radite akhirnya menetapkan waktu perubahan putri jadi babu kembali adalah batas waktu kerja sampingan kami. Kecuali malam ini. 

Jadwal pembukaan tender kabarnya diposting tepat tengah malam. Radite terus memantau sampai jam satu. Pengumuman itu ternyata baru keluar. Para bapak sudah izin pulang lebih dulu. Mas Acok dan Mas Genta sengaja menunggu lebih lama dengan alasan menjagaku dari jebak rayuan Bandit. Setelah mengunduh dokumen kualifikasi, barulah kami meninggalkan warung Mak Atika. 

Untungnya besok libur dan tidak ada arahan lembur. Radite tak menepati janji segera memulangkanku. Dia malah membelokkanku lebih dulu di warkop dekat kos. Penyakitku mulai kambuh. Aku tak bisa menolak permintaannya yang beralasan akan membahas lanjutan soal tender yang kami kerjakan. 

“Sahyang, nomormu itu murni cuma buat telepon aja? WA nggak ada? Soalnya kami biasanya lanjut diskusi di grup kalau tiba-tiba nemu wangsit jam berapa pun.” 

“Ada sih Bang cuma nggak selalu aktif kecuali aku buka laptop.” 

“Kenapa?” 

Kenapa? Kalau saja waktu aku beli ponsel poliponik dia melihatnya, dia pasti tahu jawabannya. 

Radite tiba-tiba menepuk dahi dan meminta maaf. Untuk sesaat kami terjebak dalam kebisuan sebab Radite sudah sibuk dengan ponselnya. Aku hanya memainkan sedotan es teh, memutar-mutar berharap esnya cepat mencair dan memudarkan rasa yang terlalu manis. Keheningan itu harus kuakhiri saat ponselku berdering. 

Aku sempat ragu mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Bagaimana kalau itu Wirya? Dengan nomor baru lagi mungkin? 

“Kok nggak diangkat?” Radite mengingatkanku. “Mungkin penting malam-malam gini soalnya.” 

Lihat selengkapnya