Jasa pangkas gaji
Jalan Kamar Mesin 101-103
Diskon tiap akhir bulan
Khusus member cicilan
Pagi awal bulan. Satu-satunya orang yang terlihat bahagia saat gajian di ruangan DE hanya Radite. Kaum para bapak pura-pura pamer senyum padahal mereka sama sekali tak terima gaji. Isi ATM lebih berpihak pada kuasa istri.
Aku, Genta dan Acok jadi kelompok Pemuda Pecicilan—pejuang cicilan. Acok dengan cicilan kendaraan yang tak habis-habis. Katanya belum habis masa cicilan, orang tuanya selalu ingin ganti yang baru. Korban panas omongan tetangga. Sedangkan Genta dengan paylater online shop-nya. Dia jadi pengabdi setan yang bernama flash sale super hot.
Sebenarnya aku malas berurusan dengan utang. Tapi bagaimana lagi, tabunganku sudah habis di minggu kedua bekerja. Itu pun sudah tertolong berangkat dan pulang bareng Radite meskipun tidak setiap hari. Makan pun jika kebetulan bersama, dia juga yang bayar. Makanya aku selalu menghitung perkiraan waktu agar tak bertemu dia selain di kantor. Aku benci dikasihani.
Keputusanku mengambil pinjaman online makin bulat waktu mama sering mengingatkan kalau Mutia, adikku mau masuk SMP. Adikku yang tanpa bersalah menghilangkan ponsel dan mengambil jatah uang berobat papa, mengirimkan rincian biaya masuk SMP yang membuat aku gelagapan. Aku sempat berdebat dengan mama kenapa Mutia dimasukkan di SMP yang biayanya jauh dari jangkauan? Alasannya aku dan Anggit dulu masuk di situ juga, jadi biar tidak pilih kasih. Tapi itu dulu kan? Papa masih kerja dan sanggup membiayai. Sekarang siapa? Aku lagi ujung-ujungnya.
Sekarang mama tahunya aku belum dapat pekerjaan mapan, sudah seperti itu pertimbangannya. Bagaimana nanti kalau mama tahu aku sudah resmi jadi karyawan? Berapa banyak lagi rincian yang didongkrak demi adik?
Dulu papa, yang apa-apa harus mendahulukan kepentingan Anggit. Hanya karena dia anak pertama dan laki-laki. Misalnya aku yang ditakdirkan jadi anak pertama mungkin papa tidak mengistimewakan aku. Anggit les apa pun dibolehkan, padahal itu cuma alasannya Anggit. Pulang dini hari paling cuma dapat omelan dua menit. Sedangkan aku les selalu ditentukan dan dapat pengawasan seperti narapidana. Pulang lewat jam sembilan malam lebih lima menit saja, omelan panjang akan terus diungkit sepanjang minggu. Kadang aku berharap orang tuaku memberiku kebebasan. Aku tahu itu tidak pernah terjadi.
Getar ponsel di mejaku menambah lancip lekuk mulutku. Panggilan dari nomor asing. Otakku langsung berkata biarkan, itu pasti Wirya. Untungnya mata dan tanganku tak teralihkan, masih fokus membenahi detail perencanaan pipa dan pompa-pompa kapal perintis sesuai kiriman file terbaru yang sudah disetujui pihak BKI[1]. Aku baru menoleh saat Radite menyenggol-nyenggol kakiku.
“Apaan sih, Bang?”
“Dicari cowoknya tuh,” ucap Radite lirih sambil cengar-cengir melirik ponselku. “Si Rahadian.”
Jantungku rasanya lepas dari tempatnya. Seluruh sendiku kaku hanya karena Radite menyebut nama itu. Rahadian Wiryanata Nagari, nama itu masih bertengger di antara ratusan kotak masuk surel yang kini kubuka. Pesan dari Wirya sebulan lalu masih tercetak tebal karena belum kubaca. Mulut ini ingin sekali mengucap kok tahu namanya? Namun kutahan saat ingat obrolan Ubed beberapa malam lalu soal kemiripan Wirya dengan Reza Rahadian. Radite dapat umpan baru untuk meledekku.
Di saat pikiran dan hati ini sumpek dihantui masalah orang rumah dan bayang-bayang Wirya, Genta justru mengendus-endus di antara mejaku dan meja Radite.
“Heh, Bandit, bau-bau aneh nggak? Kayak ... aroma gaji pertama tapi masih dipendam gitu.”
“Irung asu!” Radite tiba-tiba memukulkan map kosong tepat di moncong Genta. “Makanya lelang itu koleksi action figure-nya One Piece terus kurangi 99++ keranjang skincare. Biar bisa sering-sering nraktir.”
“Lah kok aku? Nggak peka ih Bandit.” Genta balas menampar beberapa lembar gambar ke pipi Radite. “Si ayang noh.”
“Kalo niat nggibahin ya jangan di belakang kepala orangnya dong, Mas Genta,” sahutku. “Pulang kantor deh. Di Mak Atika ya.”
“Nah ... cewek memang selalu peka. Bandit mana pernah peka? Hati aja nggak punya.” Genta mencebik ke arah Radite sambil menyerahkan gulungan gambar. “Tuh working drawing blok kamar mesin yang kamu minta. Kalau kurang berarti perubahan terbaru disimpan di komputernya Sahya.”