RelationSHIP

Gusty Ayu Puspagathy
Chapter #10

RESONANSI

Getar getir 

Masalah hati 

Bertalu-talu 

Kudengar, “Benalu. Benalu.” 

 

Kai memblokir nomorku. Aku baru sadar itu ketika ingin minta bantuannya. Aku memang keterlaluan karena dua bulan terakhir sering mengabaikan panggilan teleponnya dan membalas pesannya saat tengah malam, kalau ingat. Bukan tanpa sebab aku melakukan itu. Tiga kali sudah aku menerima telepon dari Kai tapi Wirya yang bicara. Bisa jadi yang mengirim pesan padaku juga Wirya kan? Tapi ... apa mungkin Wirya terus bersama Kai? Atau jangan-jangan Wirya sengaja mengambil nomor Kai biar bisa menghubungiku? Terus kenapa sekarang diblokir? 

Perasaanku ada yang janggal. Makin janggal waktu aku meratapi saldo di e-bankingku. Sebelum gaji pertama keluar, aku sudah terlilit utang. Setelah gajian kedua, aku kembali melilitkan diriku dengan utang di salah satu teman kos yang bekerja di koperasi simpan pinjam. Hasilnya, gajiku habis membayar cicilan. Janggal kan? Kerja tapi terasa tak terima upah. 

Semua karena berita buruk yang disampaikan adikku tiga minggu lalu. Mama terserempet kendaraan lain waktu pulang dari menjemput adik. Lengan kanannya bergeser. Aku terpaksa mengirimkan hasil utangan jilid dua untuk pengobatan mama, membayar orang untuk merawat mama, papa, juga urusan membersihkan rumah dan membayar tukang ojek buat antar jemput adikku. Aku beralasan tak bisa pulang dulu. Sudah bisa kutebak, pengeluaranku dan kepalaku makin membengkak kalau aku pulang. 

“Lihat saldo terus bisa bikin kenyang ya?” 

Radite tiba-tiba duduk di sampingku. Suara kakinya sama sekali tak kudengar, padahal ruangan DE hening sebab semua sedang keluar cari makan siang, kecuali aku. 

Nyoh nasi kotak. Belum beli makan kan?” 

“Ngrampok di mana lagi, Bang?” 

Aku tak langsung mengambil nasi kotak itu meskipun dalam hati bersyukur sekali karena sejak semalam perut ini hanya terisi sepotong roti. 

“Tenang. Halal itu, pokoknya stiker halal di kardus nggak dicabut.” 

Radite tak menggubris nasi kotak itu. Dia langsung membuka komputernya dan sibuk lagi dengan gambarnya. Di antara kami, hanya dia yang sering melewatkan waktu istirahat. 

“Bang Dit wes makan?” 

“Makan aja. Gampang kalau aku. Tadi pagi kamu nggak sarapan kan?” 

Aku curiga Radite melekatkan kamera pengawas di tubuhku. Dia hampir selalu tahu apa yang kulakukan. 

“Nggak ah. Ini jatah maksinya Bang Dit.” 

“Ya wes. Bagi dua. Suapin.” 

“Punya tangan sendiri buat apa?” 

“Buat pegang mouse sama ngetik. Habis. Daripada tanganmu cuma buat scroll saldo yang tetap 67.750. Nggak bakal nambah juga.” 

Sengaja kuembuskan napas sampai poniku berkibar. Radite sepertinya sudah lama di belakangku sampai tahu jumlah pasti saldoku yang diisi perusahaan ini. Aku mau menolak permintaan Radite tapi mulutnya terlanjur menganga. Kembali aku berjalan di mode perintah. Satu tanganku menyuapinya, satu tangan lagi mengangkat panggilan telepon dari dosen waliku. 

Dalam panggilan singkat itu, aku kembali diingatkan untuk segera melunasi sisa tanggungan, maksimal tiga hari lagi supaya bisa wisuda. Mudah menghitung waktu, tapi sulit menghitung langkah ke mana harus kucari rupiah untuk pelunasan yang melebihi sisa saldoku. 

Ketika Bu Eko dan Liana lewat di depan ruanganku menuju pantry, otakku memberi ide. Kudengar Bu Eko bisa memberi pinjaman khusus karyawan kantor ini. Dia akan jadi jalan keluar lain kalau Kai tak bisa meminjamiku, meskipun berurusan dengan Bu Eko berarti siap untuk diinterogasi. Apalagi saat dia dan Liana melihat aku menyuapi Radite. Semoga Radite tak melihat bagaimana Liana mengajari Bu Eko menggunakan ibu jari dan telunjuknya membentuk gestur love yang diarahkan padaku dan pada Radite. 

*** 

Lihat selengkapnya