Ready stock
Suplemen palsu
Skincare palsu
Kenyataan palsu
Aku mengiyakan tawaran Wirya dengan imbalan kedatanganku. Padahal rencana awal misalnya gagal meminjam dari Kai adalah pinjam ke Bu Eko. Setelah kupikir ulang, rasanya urat maluku bakal putus kalau ada omongan yang muncul soal karyawan baru yang sudah berani utang. Sore ini begitu jam pulang memanggil, aku langsung meninggalkan ruangan. Anehnya, satu pun temanku tak minat mengolok-olok atau sekadar basa-basi bertanya kenapa aku pulang lebih awal. Janggal rasanya.
Menyambangi penjara berwujud kontrakan kecil setelah dua bulan lebih kutinggalkan rasanya seperti menginjak beling. Luka di kakiku belum kering untuk benar-benar bisa berlari pergi. Sekarang pasti akan berdarah lagi. Aku punya pilihan, tapi aku pilih melukai diri. Di sini, saat petang mulai mengalir.
“Aku di depan kontrakan.” Hanya itu yang kukatakan dalam sambungan telepon.
Tak lama Wirya membukakan pintu. Dia tersenyum tapi tidak penuh, hanya satu sudut bibirnya saja yang melengkung ke atas.
“Pakai alasan apa pun, kamu pasti bakal balik ke aku.”
Wirya merangkulku dan nyaris mencium puncak kepalaku, tapi aku lebih dulu menjauh.
“Kenapa, Sahya?”
“Nggak apa-apa.”
Aku langsung duduk di karpet ruang tamu, meringkuk di pojok.
“Kata Kai, kamu wes kerja? Kurang gajimu?”
“Tahu kan karena siapa?” jawabku ketus.
Wirya menertawakanku. “Enak ikut aku kan? Paling nggak, bisa nyukupi maunya mamamu. Ada untungnya ternyata dari kecil nggak ngerasain punya mak.”
Aku memandangi Wirya. Ada kesedihan yang ditutupi topeng rasa syukur di matanya. Memang sejak kecil dia ditinggalkan ibunya. Orang tuanya bercerai saat Wirya masih umur empat tahun. Dia ikut ayahnya hanya setahun. Di umur lima tahun, Wirya dititipkan di rumah kakek dari ayahnya yang tak jauh dari rumah mbahku.
Meskipun semasa kecil aku sering melihatnya di sekolah maupun di kampung, kami tak pernah saling sapa. Hanya gara-gara Anggit saja semuanya berubah.
Wirya jarang membicarakan soal orang tuanya padaku. Bahkan foto mereka saja dia tak punya. Ayahnya yang merantau ke ibukota, masih mau menjenguknya walau cuma 3 tahun sekali. Sedangkan ibunya sama sekali tak pernah hadir. Mungkin sudah mati, kata Wirya saat menyahuti pertanyaanku dulu, di awal kami dekat. Wirya tak peduli, asal kebutuhannya dicukupi. Katanya dia lebih bebas tanpa pengawasan orang tua.
Dia benar. Dulu aku juga merasa seperti itu sebelum papa membawaku. Kadang aku merasa terikat dengan Wirya bukan hanya karena keadaan, tapi kesamaan sebab tak pernah benar-benar merasa jadi anak. Alasan kami melakukan pekerjaan pemalsuan obat dan kosmetik pun sama, ayah dan kakek Wirya meninggal dalam waktu berdekatan jadi segala kebutuhan hidup, dia tanggung sendiri. Wirya baru kuliah semester tiga waktu takdir menyematkan gelar sebatang kara padanya. Menurutku dia lebih beruntung dari aku yang harus menanggung tiga beban lagi selain diriku.
“Mungkin gajian bulan depan uangmu tak ganti separo dulu, Mas Wirya.”
“Sejak kapan aku itung-itungan sama kamu? Kalo kamu yang perhitungan ke aku, emang iya. Sampek kamu pindah, semua orang nggak boleh tahu biar aku nggak ngerti.”
Aku tertunduk. Wirya selalu tahu cara mengunci mulutku.
“Kamu pernah terikat janji sama orang terdekatmu, Sahya? Ah iya, aku lupa kamu nggak punya temen dekat.”
“Kamu lupa sama Kai, Mas?”
“Emang sekarang masih temen? Padahal asyik si Kai itu.”
Dikunci mati sudah mulutku. Aku juga tak tahu apa Kai masih menganggapku teman.
Wirya menjajariku tanpa menyentuh. Aku merasa sikapnya tidak seagresif biasanya. Dia mengisap vapenya sambil memandangi jarum jam yang bergerak lambat.
“Sebenarnya Anggit itu nitip kamu ke aku. Aku sudah janji ke dia bakal jaga kamu. Kalau kamu ngilang, aku bakal jadi orang yang nggak pernah dipercaya siapa pun. Bayangkan kamu yang ngalami itu.”
Aku tahu kedekatan Wirya dan Anggit. Aku juga tahu bagaimana rasanya tidak lagi dipercaya orang terdekat. Kai sudah seperti itu padaku.
“Aku nggak bakal ngomong Anggit di mana, karena aku tahu kamu masih benci sama dia. Mungkin kalo dia modar, baru ilang bencimu. Tapi kamu harus tahu, dia peduli sama hidupmu dengan caranya.”
Gantian aku yang tertawa sinis. Anggit peduli? Oh ya ... saking pedulinya sampai yang kualami sekarang pasti tak pernah terjadi kalau dia diam saja.