RelationSHIP

Gusty Ayu Puspagathy
Chapter #13

RUJAK RASA

Manis, asin 

Pedas, asam 

Gurih, pahit 

Diulek dalam satu cobek 

 

Mata begitu jujur mengatakan pada semua yang melihatku kalau aku kurang tidur semalam. Dari sepuluh sampel tablet dan kapsul lunak, sudah tiga desain produk yang kuselesaikan labelnya semirip mungkin dengan aslinya. Tinggal cetak dan pesan wadah yang menyerupainya. Andai bisa kulembur semuanya dalam semalam, akan kulakukan. Aku tak mau terlalu lama terjebak di kontrakan Wirya. 

Jam tiga pagi saat Wirya sudah pulas tertidur di ruang tamu bersama tumpukan kertas tugas laporan dan desainnya, aku menyelinap pulang. Aku masih menyimpan kunci cadangan pintu depan. Aku tak tahu apa rencana Wirya besok kalau tahu dini hari aku kabur. Bisa jadi saat aku di kontrakan lagi, dia berjaga sampai pagi biar aku tetap di sana. Jalan keluarnya, aku kirimkan saja semua hasil kerjaku padanya, tanpa perlu datang. Poin pentingnya, aku masih tanggung jawab dengan pekerjaanku. 

Aku nyaris terlambat masuk kantor karena ketiduran di kos. Tiga bulan masa percobaan, semua kinerjaku masih dalam pengawasan. Sebisa mungkin kuhindari kata terlambat. 

Semua temanku sudah fokus ke layar komputer masing-masing saat aku menyapa mereka. 

“Tumben nggak bareng Bandit? Ciye ... berantem beneran ini ceritanya?” Mas Genta membalas sapaanku dengan ledekan. 

“Emang Bang Dit hari ini masuk?” 

Komputer Radite masih mati dan belum tampak tanda kehadirannya. 

“Langsung ke lapangan tadi sama pimpro kapal perintis,” sahut Acok. 

Begitu aku duduk, Genta langsung memutar kursiku berhadapan dengannya. “Kamu semalaman nggak tidur? Nangis? Atau nge-drakor? Ah ... ngerti aku. Perang flash sale yo?” 

“Itu kan kerjaanmu, Mas.” Aku memutar balik kursiku menghadap komputer lagi. 

“Eh, Sahya. Kamu biasanya kalau belanja skincare di mana? Berburu yuk.” 

“Tumben nggak beli online, Mas.” 

“Mau cari produk baru. Nggak srek kalau belum liat bentukan aslinya.” 

Genta, dia kesempatan besarku buat riset calon barang yang bakal kutiru. 

“Nanti sore gimana Mas? Teng plas.” 

Acok tiba-tiba ikutan nimbrung di antara obrolanku dan Genta. “Nyari perkara sama Bang Dit? Disunat honor desainmu, gagal glowing tahu rasa.” 

“Iiih ... Mas Acok ngapain nguping? Kerja sana. Urusan anak muda ini. Lha wong Sahya juga belum resmi jadian sama Bandit. Suka-suka dia dong kalau mau jalan-jalan sama siapa. Iya kan Sahya?” 

“Bukan masalah itu. Sahya jelas masih normal, lebih milih Bang Dit daripada prejenganmu. Lupa ta semalam Bang Dit bilang apa di grup? Nanti kita persiapan tender buat proyek pembangunan kapal ferry 750 GT di galangan ini. Nggak ada yang boleh pulang dulu.” 

Semalaman memang aku membatasi buka ponsel. Fokusku sudah teralihkan dengan pekerjaan sampingan lamaku. Rentetan pesan di grup CDMA belum kubuka sama sekali. Baru pagi ini kubaca. 

“Ini ... lanjutan proyek kapal yang desainnya kita kerjakan itu kan?” tanyaku. 

“Yuppy. Yang pembayarannya alot tapi udah mau buka tender lagi. Padahal Bandit bolak-balik nagih nggak cair juga. Nunggu Bandit nekat ngrampok kali ya.” 

Mulutku nyaris menanyakan pada Genta apa maksud perkataannya. Pembayaran belum ada? Tapi semalam Radite transfer sejumlah uang dengan keterangan DP desain. Aku simpan pertanyaan itu. Genta bukan orang yang bisa menjawabnya. Radite yang harus menjelaskan. 

*** 

Lima menit sebelum istirahat siang, Radite baru masuk ruangan dengan membawa dua bungkusan. Dia lebih dulu menghampiri meja Pak Manu, Pak Mul kemudian Pak Syaqar untuk diskusi. Samar kudengar trio bapak itu mengatakan nggak apa-apa, rezeki ada waktunya.  

Radite bergeser di antara meja Acok dan Genta. Dia mendaratkan bungkusan bawaannya. 

Lihat selengkapnya